Fasilitas kepabeanan berupa kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor yang tepat sasaran dapat meningkatkan nilai ekspor produk bernilai tambah sekaligus menjaga stabilitas neraca perdagangan nasional.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah dalam mengurangi beban bea masuk untuk industri bernilai tambah mulai menunjukkan dampak terhadap penguatan daya saing ekspor nasional. Penyaluran fasilitas kepabeanan berupa kawasan berikat serta kemudahan impor tujuan ekspor atau KITE kepada industri berorientasi ekspor diharapkan dapat semakin tepat sasaran.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat, sepanjang 2021 pemerintah telah mengucurkan insentif sebesar Rp 47,03 triliun untuk fasilitas kepabeanan, terdiri dari Rp 44,71 triliun untuk fasilitas kawasan berikat serta Rp 2,32 triliun untuk fasilitas KITE.
Dalam pemaparan media yang berlangsung secara daring, Kamis (2/6/2022), Direktur Fasilitas Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Untung Basuki menyampaikan, sepanjang 2021, nilai ekspor yang dihasilkan industri pengolahan penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE mencapai 88,29 miliar dollar AS (Rp 1.278 triliun). Capaian ini tumbuh 43,56 persen dibandingkan tahun 2020.
Sepanjang 2021, nilai ekspor yang dihasilkan industri pengolahan penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE mencapai 88,29 miliar dollar AS (Rp 1.278 triliun). Capaian ini tumbuh 43,56 persen dibandingkan tahun 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sektor nonmigas mengalami surplus hingga 48,6 miliar dollar AS (Rp 702,92 triliun). Ekspor nonmigas secara kumulatif pada Januari-Desember 2021 mencapai 219,27 miliar dollar AS (Rp 3.171,42 triliun).
”Untuk mempertahankan kinerja ekspor, Direktorat Bea dan Cukai terus berupaya menggali potensi ekspor industri pengolahan, terutama untuk industri kecil dan menengah,” ujarnya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani menambahkan, fasilitas kawasan berikat diberikan untuk setiap pemasukan barang ke kawasan industri. Setiap barang masuk mendapat fasilitas fiskal berupa penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, pembebasan Pajak Penghasilan (PPh), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) impor, serta pembebasan PPN atas barang dalam negeri.
”Hingga 22 April 2022, terdapat 1.394 perusahaan manufaktur berorientasi ekspor yang terdaftar sebagai penerima fasilitas kawasan berikat,” kata Askolani.
Askolani mengatakan, pemberian fasilitas KITE bertujuan untuk memangkas biaya produksi dan biaya logistik dari industri manufaktur agar lebih efisien sehingga nilai ekspor produk dengan nilai tambah bisa meningkat. Fasilitas KITE terdiri dari KITE industri kecil menengah (IKM), KITE pembebasan, dan KITE pengembalian.
Fasilitas KITE-IKM diberikan kepada industri manufaktur skala kecil dan menengah dengan batas nilai investasi maksimal Rp 15 miliar dan hasil penjualan maksimal Rp 50 miliar. Fasilitas ini membebaskan bea masuk, PPN, serta PPnBM impor untuk bahan baku, bahan penolong, bahan pengemas, barang contoh, dan mesin.
Adapun fasilitas KITE pembebasan diberikan untuk semua industri manufaktur tanpa batasan nilai investasi dan penjualan maksimal. Namun, fasilitas ini hanya membebaskan bea masuk, PPN, serta PPnBM impor untuk bahan baku, bahan penolong, bahan pengemas, dan barang contoh.
Sementara itu, fasilitas KITE pengembalian memberikan fasilitas pengembalian pembayaran bea masuk hanya untuk bahan baku, bahan penolong, dan bahan pengemas kepada industri manufaktur, tanpa batasan nilai investasi dan penjualan maksimal. ”Jadi, bea masuk akan dibayar terlebih dahulu, lalu kemudian dikembalikan,” ujarnya.
Askolani mengakui, di satu sisi, pemberian fasilitas KITE memangkas potensi penerimaan negara dari pajak ekspor ataupun bea masuk. Namun, di sisi lain, fasilitas yang mempermudah alur impor bahan baku ini turut menggenjot produktivitas industri manufaktur berorientasi ekspor sehingga dapat mendorong peningkatan ekspor dengan nilai tambah yang tinggi.
”Meningkatnya nilai ekspor produk bernilai tambah akan menjaga stabilitas neraca ekspor-impor dan secara otomatis akan meningkatkan penerimaan negara,” ucapnya.
Untuk mendapatkan fasilitas KITE, pelaku industri manufaktur perlu mengajukan surat permohonan kepada kantor wilayah atau kantor pelayanan utama (KPU) bea dan cukai yang mengawasi lokasi kegiatan usaha. Hingga 22 April 2022 tercatat sebanyak 355 perusahaan penerima fasilitas KITE.
Rasio ekspor
Untung mencatat, kontribusi ekspor dari perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE terhadap ekspor nonmigas nasional meningkat secara konsisten dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017, kontribusi ekspor kawasan berikat dan KITE terhadap ekspor nonmigas nasional mencapai 37,9 persen, lalu tahun 2018 sebesar 41,51 persen, tahun 2019 sebesar 41,06 persen, tahun 2020 sebesar 40,24 persen, serta tahun 2021 sebesar 41,27 persen.
Selain kontribusi fasilitas kepabeanan terhadap ekspor nasional terus meningkat, Untung menambahkan bahwa rasio ekspor terhadap impor penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE juga mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir, kecuali pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 terjadi.
Rasio ekspor terhadap impor industri penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE tercatat sebesar 2,4 pada 2017; lalu 2,7 pada 2018; 3,14 pada 2019; 2,86 pada 2020; serta 3,09 pada 2021. Rasio ini menunjukkan besarnya nilai tambah dari produk ekspor. Sebagai contoh, pada tahun 2021, bahan baku yang bernilai 1 saat diimpor kemudian nilainya bertambah menjadi 3,09 ketika diekspor.
”Salah satu upaya yang dilakukan Bea Cukai untuk terus meningkatkan rasio ekspor adalah melalui program klinik ekspor. Lewat program ini, direktorat memberikan edukasi, literasi, asistensi kepada perusahaan, baik yang sudah ekspor maupun yang baru akan memulai ekspor,” ujarnya.
Bea Cukai juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan instansi daerah terkait untuk penggalian dan pengembangan potensi ekspor. Untung berharap, beragam fasilitas kepabeanan yang diberikan dapat meningkatkan daya saing industri dan devisa dalam negeri. ”Perusahaan juga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat koordinasi yang disertai pedoman sehingga pemberian fasilitas kepabeanan bisa tepat sasaran. Selain memberikan fasilitas, pemerintah juga diminta lebih aktif menjalin kerja sama internasional untuk mengurangi beban bea masuk.