Fleksibilitas Bekerja Kini Jadi Pertimbangan Bertahan
Upah layak, kecocokan budaya dan nilai perusahaan, serta fleksibilitas cara bekerja menjadi faktor pendorong utama pekerja tetap bertahan bekerja di suatu perusahaan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain upah layak, faktor teratas yang memengaruhi pekerja Indonesia untuk tetap bertahan bekerja di suatu perusahaan adalah budaya dan nilai perusahaan. Ada kecenderungan pekerja menjadikan pengalaman fleksibilitas cara bekerja di tengah pandemi Covid-19 sebagai pertimbangan utama.
”Gaji selalu menjadi motivasi terkuat seseorang untuk masuk ke sebuah perusahaan. Namun, gaji saja tidak cukup. Organisasi harus menciptakan budaya perusahaan dan pengalaman karyawan yang positif atau penuh makna untuk mempertahankan karyawan yang terbaik dan brilian,” ujar Direktur Michael Page Indonesia (agensi perekrutan karyawan), Imeiniar Chandra, di sela-sela diskusi Krisis Edukasi dan Peluang Kerja Baru, di Jakarta, Selasa (31/5/2022).
Dalam 24 bulan terakhir, sesuai survei dan pengamatan Michael Page Indonesia terhadap kandidat pekerja di jaringan Michael Page Indonesia, terdapat keinginan pekerja akan fleksibilitas dan kemandirian cara bekerja. Lonjakan pengunduran diri yang disebut-sebut telah terjadi di Amerika Serikat, kata Imeiniar, juga terjadi di Indonesia.
Faktor fleksibilibitas dan kemandirian cara bekerja melengkapi alasan lain pengunduran diri tahun ini, seperti pencarian pekerjaan di perusahaan yang memiliki kecocokan nilai dan budaya. Pendorong tersebut menjangkiti pekerja di negara mana pun.
Lebih jauh, menurut dia, hampir setengah dari responden pekerja yang berada dalam data jaringan Michael Page Indonesia menyatakan akan mencari prospek baru. Lebih dari 80 persen di antaranya ingin memburu karier baru selama enam bulan mendatang.
Kalau dilihat dari lama kerja, kata dia, mereka yang menyatakan akan mencari prospek karier baru tersebut baru bekerja 0–2 tahun. Mereka ini umumnya bekerja di perusahaan rintisan (startup) dan berusia muda. ”Meski demikian, sisi positif mereka adalah berani berinovasi menggali peluang berwirausaha sebagai prospek karier lain di luar bekerja di perusahaan kembali,” katanya.
Porsi besar pengunduran diri tahun ini diperkirakan terjadi di kelompok pekerja yang telah bekerja 3-4 tahun (30 persen), masa bekerja 5-6 tahun (13 persen), masa bekerja lebih dari 10 tahun (13 persen), dan masa bekerja 7-9 tahun (10 persen).
Sejak pandemi Covid-19, kesehatan mental menjadi sorotan pekerja. Oleh karena itu, fleksibilitas cara bekerja, seperti bekerja dari mana pun, cenderung jadi perhatian utama sejumlah pekerja. Kemudian, menurut Imeiniar, 68 persen kandidat yang pernah disurvei Michael Page Indonesia menyatakan rela melepas gaji, bonus, atau promosi demi kesejahteraan, kesehatan mental, dan kebahagiaan yang lebih besar.
”Talenta terbaik/brilian akan memberikan dampak lebih terhadap bisnis perusahaan. Talenta yang memiliki kinerja yang stabil juga sama pentingnya. Kedua kelompok orang ini harus berperingkat tinggi dalam daftar retensi untuk organisasi mana pun sehingga perusahaan mengidentifikasi dan fokus pada aspek manusia,” kata Imeiniar.
Industri digital
Branding and Ecommerce Lead Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ignatius Untung berpendapat, kondisi makroekonomi secara global sedang bergejolak. Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, berpotensi mendorong investor menggeser perburuan investasi ke saham defensif atau saham -saham yang tidak terpengaruh oleh kinerja atau kondisi ekonomi, termasuk saham komoditas. Hal ini berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan rintisan bidang teknologi.
Menurut dia, perusahaan rintisan bidang teknologi umumnya mengandalkan dana dari investor untuk menarik pengguna. Mereka kerap memakai berbagai cara, seperti diskon dan promosi, agar pengguna datang. Cara itu dilakukan memakai uang investor. Ketika dana habis, mereka kembali butuh suntikan dana dari investor.
”Mereka tumbuh, meskipun belum meraup untung. Saat terjadi gejolak makroekonomi, seperti sekarang, investor cenderung menahan dana. Perusahaan rintisan bidang teknologi yang tidak memiliki fundamental bisnis yang kuat akan paling terdampak,” ujar Ignatius.
Memahami isu lonjakan pengunduran diri pekerja usia muda atau pemutusan hubungan kerja di sektor industri teknologi digital tidak bisa tunggal.
Suasana seperti itu berakibat pada kemampuan perusahaan rintisan bidang teknologi mempertahankan karyawan. Pemutusan hubungan kerja tidak terhindarkan, seperti rumor sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi di Tanah Air telah melakukan aksi itu.
”Di industri rintisan bidang teknologi digital, harus dipahami bahwa pelaku industri butuh tenaga kerja berkompetensi tinggi, tetapi suplainya terbatas. Budaya kerjanya pun berbeda dengan perusahaan konvensional. Maka, memahami isu lonjakan pengunduran diri pekerja usia muda atau pemutusan hubungan kerja di sektor industri itu tidak bisa tunggal,” tegasnya.