Waspadai Krisis Pangan, Indikator Kewaspadaan Dini Diperlukan
Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan, antara lain, harga gandum yang meningkat hingga 52 persen dan jagung 31,6 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring tumbuhnya kembali perekonomian dunia setelah dihantam pandemi Covid-19 memberi tekanan pada harga komoditas, termasuk pangan. Krisis pangan pun bisa mengancam. Karena itu, berbagai kebijakan terkait tata kelola pangan diperlukan, termasuk indikator kewaspadaan dini terkait ketersediaan pangan.
Peneliti dari Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Adinova Fauri, dalam CSIS Media Briefing bertajuk ”Ancaman Kenaikan Harga Pangan di Indonesia”, yang digelar secara daring, Senin (30/5/2022), mengatakan, ekonomi dunia pascapandemi Covid-19 tumbuh atau pulih dengan cepat yang menyebabkan tekanan pada harga komoditas.
Kondisi itu diperparah dengan adanya konflik Rusia-Ukraina pada 2022 yang turut membuat terhambatnya produksi dan pengiriman lintas batas sejumlah komoditas. Faktor lainnya ialah perubahan iklim yang berpengaruh pada suplai agrikultur secara global serta prioritas pemenuhan kebijakan domestik, seperti pelarangan ekspor, yang memberi tekanan ekstra.
Komoditas yang harganya terpengaruh situasi global, di antaranya, ialah gandum dan jagung. Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan, antara lain, harga gandum yang meningkat hingga 52 persen dan jagung 31,6 persen.
Kenaikan harga juga terjadi pada sejumlah bahan kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, daging, gas, dan Pertamax. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada April 2022, tingkat inflasi mencapai 0,95 persen secara bulanan, naik dari bulan sebelumnya sebesar 0,66 persen. Juga dibandingkan dengan April 2021 yang 0,3 persen secara bulanan.
Ke depan, kata Adinova, antisipasi harus dilakukan. ”Pada sisi demand, prioritaskan proteksi sosial, bukan penetapan harga. Subsidi secara langsung kepada masyarakat ekonomi kelas bawah untuk mengurangi beban masyarakat. Ini juga perlu diikuti pemberian pajak ekspor pada komoditas yang sedang booming untuk mengurangi beban fiskal negara,” ujarnya.
Sementara dari sisi suplai, ketersediaan pasokan komoditas di Indonesia harus dipastikan. Kelancaran arus produksi dan distribusi barang dan jasa antardaerah di Indonesia, terutama kebutuhan pokok, harus dijaga. Opsi impor pangan tetap perlu dan dipertimbangkan untuk menjaga stok pangan.
Oleh karena itu, perlu reformasi institusi sehingga setiap kebijakan pangan terintegrasi dengan baik. ”Pembentukan dan penetapan early warning indicators (indikator kewaspadaan dini) diperlukan. Misalnya, saat sudah ada indikator-indikator tertentu (terkait ketersediaan pangan), secara otomatis impor untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri,” kata Adinova.
Momentum
Ketua Departemen Ekonomi CSIS Fajar B Hirawan menuturkan, Indonesia saat ini telah memiliki Badan Pangan Nasional, tetapi masih dalam tahapan konsolidasi. Pasalnya, banyak irisan terkait dengan pekerjaan badan tersebut dengan institusi lain, misalnya terkait impor pangan.
Badan Pangan Nasional perlu terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog (sebagai operator). ”Badan Pangan Nasional perlu banyak lakukan konsolidasi. Saya kira saat ini momentum baik untuk memberi rekomendasi kebijakan terukur dan terarah,” ujar Fajar.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty, dalam webinar beberapa pekan lalu, mengatakan, tata kelola stok pangan harus dimulai dengan menyepakati neraca pangan secara nasional oleh semua pemangku kepentingan. Ia mencontohkan neraca pangan yang dibuat Badan Pangan Nasional.
Menurut dia, neraca pangan harus menjadi komitmen bersama. ”Serta harus dijadikan keputusan politik sebelum masuk tahun. Misalnya tahun 2023, maka sebelum masuk tahun itu harus sudah diketok (diputuskan) sehingga tak ada lagi polemik impor dan tidak impor. Jadi, sudah tahu mana (komoditas) yang memang kurang,” ujar Lely.
Angka-angka di dalam neraca itu, imbuh Lely, juga harus kredibel dan akurat. Dengan demikian, saat awal tahun, semua pihak dapat memahami kondisi yang ada. Waktu pun dapat dimanfaatkan untuk hal-hal produktif.
Sebelumnya, dalam webinar ”Membumikan Inovasi Pertanian untuk Kedaulatan Pangan”, Rabu (18/5/2022), Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengemukakan, inovasi sangat penting dalam menjaga kedaulatan pangan. Pemerintah bersama perguruan tinggi dan pemangku kepentingan lain perlu membumikan riset dan inovasi kepada petani dan pelaku usaha.
Salah satu terobosan yang sudah berjalan ialah Indeks Pertanaman (IP) Padi 400, dengan tanam dan panen rata-rata empat kali dalam setahun. Ia pun berharap perguruan tinggi turut membantu memperkuat dari sisi kajian.