Menilik Bus Wisata yang Diintai Maut
Peningkatan sopir bus wisata menjadi pengemudi profesional masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Menjadi pengemudi itu pekerjaan yang memanggul risiko tinggi, membawa nyawa manusia.
Pelonggaran pembatasan kegiatan setelah meredanya pandemi Covid-19 disambut dengan penuh euforia oleh masyarakat. Warga berombongan bergegas bepergian bersama selama liburan. Rehat sejenak dari kepenatan. Minat berwisata melonjak di tengah terbatasnya ketersediaan bus wisata yang selama pandemi sebagian besar mandek beroperasi.
Akan tetapi, dalam sekejap, kegembiraan bisa terkubur duka. Tawa riang tergantikan tangis ketika bus wisata yang ditumpangi mengalami kecelakaan. Korban jiwa kembali berjatuhan.
Dua tahun sebelum pandemi, kecelakaan bus wisata terjadi di jalur Tanjakan Emen, Ciater, Subang, Jawa Barat, pada 10 Februari 2018. Korban tewas 27 orang dan lebih dari 30 orang terluka. Berikutnya, bus wisata lainnya terjun ke jurang, menewaskan 21 karyawan dealer Honda di Desa Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat, pada 8 September 2018.
Pada Maret 2021, bus wisata juga terperosok ke jurang menewaskan 27 penumpang serta 39 korban luka-luka di Desa Sukajadi, Sumedang, Jabar. Masih pada bulan yang sama, sebuah bus wisata lainnya menabrak bagian belakang truk di Tol Surabaya-Mojokerto, Jawa Timur, 18 Maret 2021.
Berikutnya, kecelakaan bus wisata terjadi di tanjakan Bego, Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, 6 Februari 2022. Sedikitnya, 13 penumpang tewas. Lalu, berselang tiga bulan, pada 16 Mei 2022, bus wisata menabrak tiang VMS di Tol Surabaya-Mojokerto. Sebanyak 16 orang meninggal dan 17 orang luka-luka.
Terakhir, 21 Mei 2022, bus wisata melaju tak terkendali menabrak rumah warga di Desa Payungsari, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menewaskan 4 orang dan 24 orang luka-luka. Bus ini mengangkut rombongan peziarah.
Tak sekadar persoalan teknis kendaraan, kesalahan manusia atau human error kerap disebut sebagai penyebab kecelakaan bus wisata. Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Ahmad Wildan, dalam webinar bertema ”Ada Apa dengan Angkutan Wisata?”, Rabu (25/5/2022), mengatakan, ”Hasil investigasi kecelakaan di Tol Mojokerto sebenarnya menunjukkan kegiatan perjalanan wisata ini sedang menantang Tuhan. Waktu sudah diberikan selama 24 jam, di antara waktu itu, kita harus beristirahat.”
Hasil studi kasus kecelakaan bus wisata di Tol Surabaya-Mojokerto diawali dengan perjalanan bus dari Surabaya, Sabtu (14/5/2022) pukul 20.00, menuju Kawasan Wisata Dieng, Jawa Tengah. Selepas berwisata, Minggu pukul 16.00, bus menuju Yogyakarta. Pukul 24.00, bus kembali menuju Surabaya.
Sempat mampir rest area di Wilangan pukul 04.30. Pengemudi kecapekan, tidur di bagasi belakang. Kernet tidak tega membangunkan dan berinisiatif mengemudikan bus itu. Sekalipun tidak punya SIM, pembantu pengemudi ini sudah bisa mengemudi sejak tahun 2018.
Hasil investigasi menunjukkan, sebelum menabrak, pengemudi ini ngantuk dan tertidur. Saat menyerempet pembatas jalan, ia tidak merasakan apa-apa karena belum juga tersadar. Bahkan, ketika menabrak pembatas yang tingginya 20 sentimeter hingga ban pecah, pengemudi ini belum juga terbangun. Ia baru sadar penuh saat menabrak tiang VMS.
”Bukan lagi tidur sesaat, tetapi sudah masuk tidur lelap. Sebab, menabrak pagar pengaman 100 meter dan batu pembatas tidak bangun juga,” kata Wildan.
Beberapa faktor menunjukkan, tidak ada masalah teknis pada kendaraan, termasuk sistem rem. Badan jalan juga lurus. Penyebab kecelakaan disimpulkan murni human error, yaitu lepas kendali saat mengemudi.
Dalam waktu 24 jam, tubuh manusia memang menuntut beristirahat. Kalau pengemudi mampu mengemudi bus selama 24 jam, justru patut dicurigai ia menggunakan narkoba.
Dari kasus-kasus kecelakaan bus wisata, KNKT memberikan catatan bahwa operasional bus tidak dikelola dengan cukup baik. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang cukup bagi pengemudi diabaikan oleh pemilik kendaraan.
Tak terkendali
Dari kasus-kasus kecelakaan bus wisata, KNKT memberikan catatan bahwa operasional bus tidak dikelola dengan cukup baik. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang cukup bagi pengemudi diabaikan oleh pemilik kendaraan.
KNKT merekomendasikan, Kementerian Perhubungan perlu membuat pengaturan dan pengawasan terhadap waktu kerja, istirahat, dan libur agar ditetapkan secara jelas dan tegas. Selama ini, kata Wildan, belum ada pengaturan yang jelas, tegas, dan diawasi.
Lintasan bus wisata tidak diatur dalam trayek tetap dan teratur. Akibatnya, bus bisa menuju lokasi wisata mana pun. Hampir sebagian besar jalan menuju destinasi wisata dalam kondisi substandar, misalnya ada turunan tajam dan radius tikungan kecil. Karakteristik jalan pun tak sepenuhnya dikenal pengemudi.
Kepala Subdit Dalops Direktorat Lalu Lintas Angkutan Jalan Kemenhub Ajie Panatagama mengatakan, kelayakan bus yang digunakan untuk angkutan umum berada dalam ranah dinas perhubungan kabupaten/kota. Tentang legalitas faktor perizinan, pihaknya selalu bekerja sama dengan Korlantas Polri.
”Dari beberapa evaluasi kami, sisi pengawasan penegakan hukum, patut diakui, kecelakaan pada umumnya terjadi pada bus pariwisata sangat menonjol. Artinya, berdasarkan hasil pemeriksaan, dokumen perizinan kelayakan teknis kendaraan rata-rata bermasalah. Kita sudah cukup terlena, yang paling utama adalah penyimpangan penggunaan kendaraan,” papar Ajie.
Hampir sebagian besar jalan menuju destinasi wisata dalam kondisi substandar, misalnya ada turunan tajam dan radius tikungan kecil. Karakteristik jalan pun tak sepenuhnya dikenal pengemudi.
Pada rata-rata kecelakaan, baik yang terjadi di Ciamis, Karawang, Garut, maupun Mojokerto, kendaraan yang terlibat kecelakaan umumnya sudah mengalami alih kepemilikan armada. Kelayakan bus yang semestinya hanya 10 tahun, ternyata bus-bus itu sudah beroperasi di atas 15 tahun.
Pemilik awal yang memiliki legalitas bus wisata tentu melakukan peremajaan setelah 10 tahun usia kendaraan. Begitu kepemilikan dialihkan, transaksi pengalihan hanya sekadar perpindahan STNK dan BPKB, tidak menyertakan aturan-aturan perizinan secara lengkap.
Eddy Suzendy, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pramuwisata Indonesia (HPPI), mengatakan, hampir 80 persen kecelakaan yang melibatkan pengemudi mengerucut pada kelalaian. Tidak pernah dilakukan evaluasi komprehensif.
Ada beberapa faktor kelalaian pengemudi, entah dari kondisi psikis, fisik, atau malah dari kondisi perusahaan operatornya. Mekanisme transportasi yang ada tidak pernah dievaluasi. Pekerjaan mengemudi adalah sebuah profesi, harus benar-benar fokus.
”Bukan hanya mengais rezeki. Tidak ada yang bercita-cita menjadi pengemudi yang penuh risiko. Sama seperti pilot dan nakhoda, semua memiliki kompetensi dan perlu edukasi. Namun, pendidikan pilot dan nakhoda bersifat linier, melalui beberapa tahapan, sementara pengemudi bus terlahir dari orang-orang yang sekadar mencari pekerjaan,” tutur Eddy menegaskan.
Peningkatan profesi pengemudi menjadi profesional masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Menjadi pengemudi itu pekerjaan yang memanggul risiko tinggi, membawa nyawa manusia.
Tak heran, lanjut Eddy, kecelakaan berkali-kali terjadi. Lalu, kelalaian dijadikan alasannya. Peningkatan profesi sopir menjadi pengemudi profesional masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Menjadi pengemudi itu pekerjaan yang memanggul risiko tinggi, membawa nyawa manusia. Bahkan, bisa seolah menjadi ”algojo” di jalan kalau tidak diedukasi. Pengemudi sendiri pun tidak terlindungi.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, kecelakaan bus wisata perlu menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak, termasuk regulator. Di masa pandemi, bisnis angkutan umum sangat terpengaruh. Banyak pengusaha tidak sanggup membayar angsuran kendaraan dan memutuskan untuk menjual armada busnya.
Menurut Djoko, pindah tangan kepemilikan ini kemungkinan tidak begitu dipahami oleh pembelinya. Akibatnya, operasionalnya dikategorikan tidak berizin atau disebut angkutan umum yang liar. Hal ini tentu tidak diketahui oleh para penyewa bus.
Dari informasi yang diperoleh MTI, ada 60 persen pengusaha angkutan yang tidak terdaftar, terutama di luar Jawa. Umumnya, mereka menggunakan bus bekas yang selama ini beroperasi di Jawa, terutama bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Hanya berganti nama perusahaan otobus.
Faktor kelelahan pengemudi menjadi penyebab terbesar, ditambah lagi akses jalan menuju daerah wisata yang kerap tidak mendukung menjadi penyebabnya. Gagal pengereman yang kerap terjadi tampaknya perlu solusi, antara lain jalur wisata berkeselamatan. Misalnya, daerah wisata Dieng, Jawa Tengah.
”Tidak boleh bus besar melaju sampai ke titik wisata di pegunungan Dieng. Bus-bus besar hanya boleh sampai pada satu titik parkir yang disediakan, lalu penumpang dialihkan ke kendaraan lain. Memang mahal, tetapi inilah wisata berkeselamatan. Masalahnya, masyarakat kita maunya murah, tetapi selamat,” ujar Djoko.
Tak terbayang, wisata tiga hari dua malam, seperti ziarah-rekreasi, pengemudi harus siap siaga. Tanpa istirahat yang cukup dan nyaman, sampai kapan pun maut akan tetap mengintai. Dan, kesalahan manusia lagi-lagi menjadi faktor tak terelakkan.