Masalah Iklim dan Inflasi Global Menjadi Perhatian
Dampak perubahan iklim dan kenaikan harga komoditas global yang turut mendongkrak inflasi menjadi perhatian para pemimpin negara dalam World Economic Forum 2022 di Swiss.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
DAVOS, KOMPAS — Inflasi yang meningkat secara global dan masalah perubahan iklim menjadi topik utama, di samping masalah kesehatan, pembahasan selama penyelenggaraan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF 2022) yang berlangsung di Davos, Swiss. Sektor swasta diajak berinvestasi dalam jumlah besar untuk pengembangan teknologi yang ramah lingkungan.
Forum yang dihadiri lebih dari 50 kepala negara atau pemerintahan itu ditutup pada Kamis (26/5/2022) waktu setempat dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz menjadi salah satu pembicara utama. WEF 2022 mengusung tema ”Working Together, Restoring Trust”. Isu yang dibahas meliputi kebijakan pemerintah dan strategi bisnis dengan latar belakang pandemi global, konflik Ukraina-Rusia, serta tantangan geoekonomi.
Dalam pidatonya, Scholz mengungkapkan rencana Jerman untuk menjadi netral karbon pada tahun 2045 telah menjadi ”lebih penting” sebagai akibat dari perang (konflik Rusia-Ukraina). Menurut dia, meski konflik tersebut bukanlah satu-satunya pemicu titik balik untuk mengatasi dampak perubahan iklim, konflik justru meningkatkan tekanan untuk bertindak. Ia menyebutkan, jika target Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim tak terpenuhi, dunia akan menuju bencana.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden WEF Børge Brende mengingatkan betapa pentingnya forum itu. WEF 2022 merupakan pertemuan setelah COP26 di Glasgow dan pertemuan pertama kali setelah terjadi konflik Rusia-Ukraina.
Dari isu lingkungan dan perubahan iklim, Brende mencontohkan telah terjadi komitmen 54 perusahaan terkemuka di dunia untuk memenuhi kebutuhan suplai barang mereka dengan sebisa mungkin mengurangi jejak karbon. Dari sisi kesehatan, perusahaan farmasi Pfizer berkomitmen akan menyediakan produk vaksin dan pengobatan Covid-19 dengan harga nirlaba di beberapa negara termiskin di dunia.
”Sementara dari sisi ekonomi, muncul keinginan kuat berkoneksi untuk mengatasi kenaikan inflasi, memulihkan perekonomian, dan mengatasi masalah rantai pasok. Lalu, keinginan untuk menciptakan pekerjaan masa depan dengan upah lebih baik,” ujar Brende.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menambahkan, di tengah tingginya risiko ekonomi, resesi global tidak akan terjadi kendati hal itu berarti tidak mungkin (untuk terjadi). IMF mengharapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,6 persen untuk tahun ini, yang merupakan ”jalan panjang menuju resesi global”. Namun, dia mengakui bahwa ini akan menjadi tahun yang sulit dan salah satu masalah besar adalah melonjaknya harga pangan, yang sebagian dipicu oleh perang Rusia-Ukraina.
”Kecemasan seputar akses ke pangan dengan harga yang wajar secara global sedang melanda,” katanya.
Kerja sama bilateral
Indonesia ikut menekankan isu pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dalam keikutsertaannya di pertemuan WEF 2022. Salah satu upaya pemulihan yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan peran teknologi untuk menggerakkan ekonomi digital.
Perwakilan Indonesia yang turut hadir dalam WEF 2022, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Perdagangan Indonesia Muhammad Lutfi, serta Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo. Hadir pula Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid serta Duta Besar RI untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman D Hadad.
Indonesia juga menandatangani perjanjian investasi bilateral dengan Swiss. Kerja sama itu mulai dari sisi investasi, perdagangan, hingga aksi inovasi lingkungan berkelanjutan. Kamar dagang dan industri kedua negara siap membentuk gugus tugas sebagai tindak lanjut kerja sama tersebut.
Bahlil mengatakan, Swiss masuk dalam 10 besar negara yang memiliki realisasi investasi tertinggi di Indonesia. Swiss juga telah menjadi salah satu negara tujuan investasi besar di dunia.
”Indonesia dan Swiss sebenarnya telah memiliki perjanjian kerja sama investasi bilateral sejak 1974, tetapi berakhir 2016. Pembaruan perjanjian sempat alot sebelum akhirnya bisa ditandatangani sekarang. Beberapa poin yang menyebabkan pembahasan lama mencakup, antara lain, tanggung jawab apabila terjadi kejadian luar biasa saat penanaman investasi dan perlakuan investor,” tutur Bahlil.
Pada saat bersamaan juga ditandatangani nota kesepahaman antara Kadin Indonesia dan Economiesuisse Swiss (Kadin Swiss) serta penandatanganan letter of intent antara Kadin Indonesia dan Innosuisse (Swiss Innovation Agency). Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menjadi perwakilan yang menandatangani nota kesepahaman tersebut.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta W Kamdani menjelaskan bahwa aksi tersebut merupakan kelanjutan eksekusi perjanjian perdagangan bebas The European Free Trade Association-Comprehensive Economic Partnership Agreement (EFTA-CEPA) yang telah diratifikasi oleh Swiss dan Indonesia. Kedua negara bahkan telah memiliki regulasi perundang-undangan pascaratifikasi.
”Kami akan segera membuat Indonesia-Swiss Council. Ini semacam task force untuk mempercepat tindak lanjut penandatanganan nota kesepahaman,” ujar Shinta.
Shinta menambahkan, kedua negara tidak hanya akan fokus pada isu perdagangan dan investasi. Swiss juga menaruh perhatian terhadap aksi lingkungan berkelanjutan sehingga kerja sama terkait inovasi lingkungan berkelanjutan berpeluang besar dikerjakan dengan Indonesia. (AP/AFP)