Indonesia Serukan Kesetaraan di Pasar Karbon Internasional
Dalam Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2022, Indonesia menyerukan usulan agar pasar perdagangan karbon di tingkat internasional setara. Adanya kesenjangan akan menyulitkan upaya mengatasi persoalan perubahan iklim.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
DAVOS, KOMPAS — Kesenjangan pasar karbon masih terjadi di tingkat internasional. Kesenjangan itu dinilai akan menyulitkan upaya memerangi dampak perubahan iklim. Indonesia menyerukan agar antarnegara memiliki solusi bersama berupa skema perdagangan karbon yang transparan dan setara.
”Ada standar ganda di pasar karbon. Harga karbon di negara maju dibandingkan negara berkembang berbeda signifikan,” ujar Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Paviliun Indonesia dalam acara Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum Annual Meeting 2022), Selasa (24/5/2022) siang, di Davos, Swiss.
Dia memberikan ilustrasi perbandingan harga karbon negara maju dan negara berkembang, yaitu 100 dollar AS banding 10 dollar AS. Padahal, belum ada data pasti jumlah karbon yang dihasilkan antara negara maju dan negara berkembang.
Konteks kondisi geografis, ekonomi, dan sosial negara maju dengan negara berkembang berbeda. Di negara berkembang, seperti Indonesia, Bahlil menyebut ada pendekatan pemeliharaan hutan berbasis kearifan lokal. Indonesia juga memiliki kebijakan restorasi gambut.
”Kami ingin tidak ada perlakuan berbeda. Kami menginginkan ada skema transparansi perdagangan karbon di tingkat internasional. Upaya-upaya lokal harus dihargai, termasuk ada skema terkait hasil perdagangan karbon bisa dinikmati oleh masyarakat, seperti masyarakat yang hidup didekat hutan atau lokasi restorasi gambut,” katanya.
Bahlil menyatakan, usulan itu terang-terangan dia sampaikan di panggung panel Unlocking Carbon Markets,bagian dari acara Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2022, Senin (23/5/2022).
Dalam panel itu hadir pula Presiden COP26 dan politisi Inggris, Alok Sharma. Mengutip blog WEF, Alok Sharma mengatakan, keberhasilan COP26 adalah persetujuan Inisiatif Integritas Pasar Karbon Sukarela (VCMI). Persetujuan itu merupakan pencapaian kolektif besar yang dihasilkan oleh komunitas internasional.
Alok menyampaikan juga bahwa pihaknya sedang memfinalisasi skema perdagangan karbon sukarela. Semua negara diharapkan bisa memberikan masukan. ”Jika kita memiliki kesepakatan tentang bagaimana pasar karbon sukarela diatur dengan cara yang sesuai dengan Perjanjian Paris, banyak keuangan mengalir ke arah itu. Pada akhirnya, hal itu (dana yang terkumpul dari pasar perdagangan karbon) akan membantu perusahaan dan negara mencapai tujuan membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat,” ujar Alok.
Hambatan dari kesetaraan praktik perdagangan karbon adalah kejelasan regulasi dari pemerintah sejumlah negara.
CEO Conservation International M Sanjayan berpendapat, hambatan dari kesetaraan praktik perdagangan karbon adalah kejelasan regulasi dari pemerintah sejumlah negara. Ada kecenderungan praktiknya diserahkan pada sektor nirlaba ataupun perusahaan membuat aturan sendiri.
Mengutip Fortune, Chief Impact Officer Salesforce Suzanne DiBianca yang turut hadir dalam panel yang sama memandang, dalam konteks pasar/perdagangan karbon terdapat perbedaan kekuatan antara perusahaan skala besar dan skala kecil sehingga semakin mendorong krisis kepercayaan dari sisi penawaran dan permintaan di pasar karbon. Salesforce mendirikan Blue Carbon Buyers Alliance untuk mengatasi permasalahan tersebut.