Realisasi Skema Penerima Bantuan Iuran Jamsostek Didesak Lebih Cepat
Pemerintah dinilai tidak perlu menunggu sampai 1 Januari 2024 untuk merealisasikan skema penerima bantuan iuran (PBI) Jamsostek bagi pekerja miskin dan tidak mampu. Keberpihakan politik anggaran pemerintah dinanti.
Oleh
AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja informal rentan dibutuhkan untuk memutus rantai kemiskinan dan melindungi pekerja ketika mengalami kecelakaan kerja. Implementasi skema penerima bantuan iuran Jamsostek bagi pekerja miskin dan tidak mampu pun didesak lebih cepat, antara akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Selama ini, skema penerima bantuan iuran (PBI) baru tersedia untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada total 43,83 juta pekerja miskin dan tidak mampu yang sudah terdaftar sebagai peserta PBI JKN, tetapi belum terlindungi dalam program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).
Sejak 2021, pemerintah mulai menggodok revisi Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang PBI JKN agar kebijakan PBI turut diperluas ke skema Jamsostek lewat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Subiyanto mengatakan, revisi PP Nomor 76 Tahun 2015 tersebut sudah rampung dan kini sudah mencapai tahap harmonisasi regulasi. Kendati demikian, masih ada beberapa hal yang perlu diluruskan lintas kementerian/lembaga.
Pertama, mengenai jadwal implementasi. Awalnya, pemerintah berencana merealisasikan skema PBI Jamsostek pada 1 Januari 2024. Namun, belakangan muncul desakan agar implementasinya bisa dipercepat menjadi paling cepat akhir 2022 atau selambatnya awal 2023.
”Kalau bisa dimulai lebih cepat, kenapa tidak? Setidaknya dicoba dulu secara bertahap. Hal ini yang masih perlu dibahas lagi di rapat tingkat menteri karena sekarang ada dua pemikiran, antara tahun 2024 atau lebih cepat,” kata Subiyanto saat dihubungi, Senin (23/5/2022).
Rapat tingkat menteri itu seharusnya digelar pada awal Mei 2022. Namun, karena kendala lain, rapat ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
Kedua, mengenai politik anggaran pemerintah. Subiyanto mengatakan, selain membahas jadwal implementasi, rapat tingkat menteri yang tertunda itu seharusnya juga membahas tentang kesiapan dukungan anggaran dari pemerintah.
Ada total 43,83 juta pekerja miskin dan tidak mampu yang sudah terdaftar sebagai peserta PBI JKN, tetapi belum terlindungi dalam program Jamsostek.
Berdasarkan kajian opsi skenario dan dampak fiskal yang disusun DJSN, mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada 20 juta pekerja miskin dan tidak mampu yang ditargetkan mendapat PBI. Dengan besaran iuran bulanan JKK dan JKM sebesar Rp 16.800 per orang, anggaran yang harus disiapkan untuk membayarkan iuran peserta PBI selama satu tahun adalah Rp 4,032 triliun.
Agar tidak terlalu memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), muncul opsi untuk merealisasikan PBI Jamsostek secara bertahap. Untuk tahap awal, PBI dapat diberikan kepada 5 juta peserta, disusul 15 juta orang sisanya pada 2024.
Subiyanto menilai, anggaran sebesar Rp 4 triliun seharusnya tidak terlalu membebani kas negara. Oleh karena itu, semua kembali berpulang pada niat politik pemerintah. ”Dalam hal ini, amanat Presiden sudah clear, tinggal kuncinya ada di politik anggaran Kementerian Keuangan,” katanya.
Tak perlu menunggu
Senada, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, pemerintah seharusnya tidak perlu menunggu sampai 1 Januari 2024 untuk menerapkan skema PBI Jamsostek. Pengalaman selama ini menunjukkan, skema PBI JKN saja tidak cukup untuk melindungi para pekerja informal rentan yang jatuh sakit atau mengalami kecelakaan saat bekerja.
Dalam hal ini, amanat Presiden sudah clear, tinggal kuncinya ada di politik anggaran Kementerian Keuangan.
BPJS Kesehatan kerap menolak menanggung biaya pengobatan atau operasi untuk kecelakaan yang terjadi saat jam kerja karena menilai itu seharusnya menjadi urusan BP Jamsostek. ”Jangan sampai perdebatan yang sama selalu berulang. BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan terus saling melempar tanggung jawab, sementara pekerja rentan jadi sulit berobat,” ujarnya.
Manfaat yang bisa diterima pekerja informal lewat skema PBI bukan hanya kuratif dalam bentuk layanan pengobatan gratis, tetapi juga santunan ekonomi untuk menjaga daya beli mereka selama dalam proses pemulihan dan tidak bisa bekerja. Apalagi, pekerja informal rentan umumnya dibayar secara harian.
”PBI Jamsostek juga bisa memutus rantai kemiskinan struktural dan mendorong perbaikan taraf hidup. Untuk pekerja yang meninggal karena kecelakaan saat bekerja, santunan upah dan beasiswa pendidikan akan diberikan kepada anaknya,” kata Timboel.
Dia menilai, ini saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada pekerja informal rentan. Perlindungan bagi mereka semakin dibutuhkan di tengah timpangnya pemulihan sektor ketenagakerjaan pascapandemi.
Badan Pusat Statistik mencatat, setelah pandemi, jumlah pekerja informal terus bertambah. Per Februari 2022, jumlah pekerja informal meningkat menjadi 81,33 juta orang (59,97 persen dari total angkatan kerja).
”Sekarang tinggal berpulang pada political will pemerintah karena dari segi data dan anggaran seharusnya tidak masalah. Rp 4 triliun relatif kecil dibandingkan dengan anggaran untuk PBI JKN. Kalaupun mau dibuat bertahap untuk 5 juta orang dulu, anggaran yang dibutuhkan hanya Rp 1 triliun,” tuturnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, program PBI Jamsostek telah dicantumkan dalam target rencana strategis Kemenaker periode 2020-2024. Dengan rentang waktu itu, penerapan PBI Jamsostek tidak harus menunggu sampai 2024.
”Artinya memang bisa lebih cepat. Namun, hal ini tentu bergantung pada kesiapan pemerintah, baik dari sisi regulasi, data, maupun anggarannya,” kata Anwar.
Kemenaker sampai saat ini terus berkoordinasi dengan Kementerian Sosial dan BP Jamsostek untuk menyiapkan data peserta PBI Jamsostek. Sedangkan untuk kesiapan anggaran, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. ”Ini semua tentu masih berproses dan butuh kehati-hatian,” ujarnya.