Fahmi Idris dan Warisan ”Dua Dunia” yang Ditinggalkannya
Semasa hidupnya, Fahmi Idris mengarungi dunia industri dan ketenagakerjaan, serta meninggalkan warisan penting bagi perkembangan kedua sektor tersebut.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia industri dan ketenagakerjaan kerap dipandang sebagai dua kutub yang saling berseberangan dalam skema hubungan industrial. Politikus senior Fahmi Idris yang berpulang pada Minggu (22/5/2022) menjejakkan kakinya di ”dua dunia” yang berbeda itu, serta meninggalkan warisan yang berharga bagi perkembangan masing-masing sektor tersebut.
Fahmi Idris mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu (22/5/2022) pukul 10.00 di Unit Perawatan Intensif (ICU) Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Berdasarkan informasi dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fahira Idris, putri Fahmi, ayahnya didiagnosis kanker darah sejak 2014. Selama delapan tahun terakhir, Fahmi menjalani perawatan intens atas penyakit yang dideritanya itu.
Fahmi dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta, di liang lahat yang yang sama dengan mendiang istrinya, Kartini Hasan Basri, yang meninggal pada 2014. Sebelum dimakamkan, jenazah Fahmi disemayamkan di Rumah Duka di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Tokoh dari berbagai latar belakang datang menyambangi untuk terakhir kalinya.
Sepanjang kariernya, Fahmi mengarungi ”dua dunia” yang selama ini kerap dipandang bertolak belakang, yaitu dunia industri dan ketenagakerjaan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Menakertrans) dua kali. Yang pertama, di era Kabinet Reformasi Pembangunan (21 Mei 1998-20 Oktober 1999), di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Kedua, di era Kabinet Indonesia Bersatu (20 Oktober 2004-5 Desember 2005) yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode yang sama, Fahmi juga menjadi Menteri Perindustrian pada 5 Desember 2005-20 Oktober 2009.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengenang Fahmi sebagai sosok yang banyak memberinya bimbingan dan masukan seputar pembangunan sektor industri nasional. ”Keluarga besar Kementerian Perindustrian kehilangan sosok yang telah memberi banyak warisan kebijakan serta secara konsisten terus memberikan saran bagi kemajuan sektor industri,” katanya, Minggu.
Semasa menjadi Menteri Perindustrian, Fahmi mengeluarkan sejumlah kebijakan monumental di sektor industri yang sampai hari ini masih dijalankan. Salah satunya, pembentukan Tim Peningkatan Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri. Kebijakan itu sampai sekarang masih dijalankan untuk mendorong lebih banyak serapan produksi dalam negeri di belanja kementerian/lembaga, dan BUMN.
Di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), Fahmi juga dikenang untuk kebijakannya mendorong peningkatan teknologi melalui bantuan pembelian mesin/peralatan industri TPT pada tahun 2007. Program itu mampu meningkatkan daya saing dan efektivitas produksi industri TPT nasional untuk bersaing di pasar domestik maupun ekspor.
”Kami akan selalu mengenangnya sebagai sosok yang penuh pengabdian konsisten, tak pernah terbatasi oleh usia,” tutur Agus, yang sama-sama berasal dari Partai Golkar seperti Fahmi.
Kebebasan berserikat
Tak hanya di sektor industri, kiprahnya di sektor ketenagakerjaan juga dikenang di mata aktivis buruh kala itu. Aktivis buruh Rekson Silaban, yang menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) ketika Fahmi menjadi Menakertrans 1998-1999, mengatakan, Fahmi adalah adalah sosok yang berkontribusi pada kebebasan berserikat yang sampai sekarang dimiliki buruh.
Saat itu, seiring dengan runtuhnya Orde Baru dan dimulainya Reformasi, pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize). Beberapa kebijakan drastis, seperti menaikkan upah minimum buruh hingga 15 persen, juga dilakukan di masa peralihan menuju reformasi kala itu.
”Hanya dalam waktu dua minggu, buruh yang sebelumnya sangat dibatasi untuk bersuara memiliki hak untuk bebas berserikat. Itu tidak bisa terlaksana kalau tidak ada komitmen politik dari departemen teknis yang dipimpin Pak Fahmi saat itu,” kenang Rekson, yang kini menjabat Pengurus Eksekutif Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Hanya dalam waktu dua minggu, buruh yang sebelumnya sangat dibatasi untuk bersuara memiliki hak untuk bebas berserikat.
Ia juga mengenang peran Fahmi yang saat itu mendorong segera dibebaskannya para aktivis buruh yang sebelumnya ditahan karena berunjuk rasa memprotes rezim Orde Baru.
”Mungkin karena Pak Fahmi juga mantan aktivis mahasiswa, ia lebih gampang mereposisi diri. Hanya beberapa bulan sebelumnya kami ’bermusuhan’, berhubung saya di oposisi dan dia di pemerintahan, tapi dalam waktu cepat, kami bisa berteman. Ketika saya mengundangnya untuk hadir di pertemuan serikat buruh, dia selalu mau hadir,” katanya.
Aktivis buruh Dita Indah Sari, yang kini menjabat Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, mengenang Fahmi sebagai sosok yang sederhana. Meski kerap harus berbeda pendapat, hal itu tidak mengganggu relasi personal. ”Mungkin karena beliau seorang politisi, berbeda pendapat baginya biasa saja,” tutur Dita.
Dita ingat masa-masa ketika Fahmi mengunjunginya di Lapas Wanita Tangerang, Banten. Saat itu, Dita ditahan karena memprotes Orde Baru. Fahmi datang menanyakan kondisi Dita, membawa oleh-oleh bola basket dan voli, sekaligus ”curhat” karena halaman kantornya jadi tempat buruh menjemur baju setelah berminggu-minggu berunjuk rasa di depan gedung Kemenakertrans.
Fahmi bertanya heran kepada Dita yang saat itu menolak grasi dan pembebasan bersyarat yang ditawarkan pemerintah. Dita menjawab, ”Saya, kan, enggak salah, Pak, enggak mau dikasih grasi,” yang dijawab oleh Fahmi, ”Nanti kamu lama, loh, bebasnya.”
Dita mengatakan, tidak masalah mendekam lama di penjara selama teman-teman buruh lainnya masih menemaninya dengan terus berunjuk rasa. ”Pak Fahmi bilang, ’Ya sudah enggak apa-apa, asal jemuran bajunya kamu suruh angkat. Pusing aku liat-nya.’ Kami ketawa ngakak bareng,” kenang Dita, yang dibebaskan tak lama setelah rezim berganti.
Tak hanya dalam aspek kebebasan buruh untuk berserikat, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga mengenang Fahmi Idris sebagai sosok yang banyak berjasa dalam upaya peningkatan kompetensi calon pekerja migran Indonesia, serta perlindungan terhadap para buruh migran.
”Saya turut berduka atas wafat beliau, yang selama ini memiliki concern besar terhadap kompetensi calon PMI dan perlindungan bagi mereka. Selamat jalan, Pak Fahmi,” ujarnya.