Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan telah masuk tahap harmonisasi di DPR RI, tetapi secara substansi dinilai tidak sejalan dengan semangat menjunjung energi terbarukan yang berkelanjutan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menilai Rancangan Undang-Undang atau RUU Energi Baru dan Terbarukan yang digodok DPR bertentangan dengan semangat pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan. Pasalnya, rancangan tersebut memasukkan energi fosil dan energi nuklir.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil tersebut meliputi, antara lain, Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Draf RUU Energi Baru dan Terbarukan versi 17 Maret 2022 memiliki 14 bab dan 62 pasal. Substansi mengenai nuklir muncul pada Pasal 10-15. Nuklir, sesuai Pasal 9 RUU tersebut, termasuk cakupan sumber energi baru bersama hidrogen, gas metana batubara, batubara tercairkan, dan batubara tergaskan (gasifikasi batubara).
Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar mengatakan, Indonesia telah memiliki UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Oleh karena itu, DPR seharusnya memperkaya UU itu ketimbang memasukkan nuklir ke dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan.
”Indonesia seharusnya menganut energi terbarukan karena istilah ini berlaku internasional. Jika Indonesia bisa fokus membuat RUU Energi Terbarukan, Indonesia bisa menggaet investasi dan mencapai target karbon netral,” kata Paul dalam diskusi pernyataan bersama untuk RUU Energi Baru dan Terbarukan, Kamis (19/5/2022), di Jakarta.
Ketua YLKI Tulus Abadi menyampaikan, berdasarkan survei YLKI terhadap sejumlah masyarakat di Jawa Tengah, sekitar 90 persen warga belum mengerti pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Akan tetapi, mereka mau berpindah menggunakan energi terbarukan asalkan harga terjangkau dan berkualitas.
”Pada dasarnya masyarakat menginginkan ketersediaan energi yang mudah diakses dengan harga terjangkau. Energi terbarukan seharusnya diberikan insentif fiskal dan nonfiskal, bukan energi fosil. Energi fosil, kan, merusak lingkungan, tetapi mengapa masih diberikan subsidi,” ujar Tulus.
Pakar lingkungan hidup sekaligus pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya, Sonny Keraf, yang hadir saat bersamaan, berpendapat, inisiatif DPR mengupayakan adanya regulasi perundang-undangan khusus terkait energi terbarukan merupakan suatu kemajuan. Akan tetapi, perwujudannya melalui RUU tersebut merupakan kemunduran. Dia menilai, sejumlah substansi yang tercantum dalam RUU ini terkesan ada lobi kuat pemain industri energi fosil.
Sementara itu, menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, dalam naskah tanggapan terhadap masukan para organisasi masyarakat sipil tersebut menjelaskan, RUU ini merupakan inisiatif DPR sejak 2016. Sejak awal, RUU mencantumkan konsep energi baru dan energi nuklir untuk dimasukkan. Latar belakang disusunnya RUU tersebut, katanya, adalah Indonesia memiliki potensi sumber energi fosil dan nonfosil yang melimpah, tetapi belum tertata dengan baik.
”Di dalam RUU tersebut, kami membuatkan satu bab khusus terkait partisipasi masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan, mengajukan keberatan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” ucap Sugeng.
Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, saat ini RUU Energi Baru dan Terbarukan telah masuk tahap harmonisasi. Baleg menargetkan RUU ini bisa disahkan dalam masa sidang terdekat. ”Proses penjelasan dari pengusul (Komisi VII DPR) dan mendengarkan paparan dari tim ahli juga sudah kami lakukan,” katanya.
Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Status hingga 2021, porsi energi baru dan terbarukan masih 11,5 persen dalam bauran energi nasional.