Pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran kapal perikanan dinilai perlu transparan. Perhitungan denda terhadap pelanggaran perlu dibuka ke publik.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran kapal perikanan diminta transaparan. Transparansi proses pengenaan sanksi dan besaran denda administratif terhadap pelaku pelanggaran dinilai perlu guna memberikan kepastian iklim berusaha.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilai, pemerintah menerapkan asas ultimum remedium dengan mengedepankan sanksi administratif terhadap pelanggaran kapal perikanan. Namun, rasa keadilan dipertanyakan jika pengenaan sanksi dilakukan secara sepihak, tanpa meminta keterangan dan fakta dari pelaku pelanggaran.
“Perlu ada transparansi terkait rujukan aturan pengenaan dan besaran sanksi agar (denda) tidak membuat terkejut pelaku usaha,” ujarnya saat dihubungi, Senin (16/5/2022).
Di sisi lain, Abdi menilai penerapan sanksi administratif tidak menjamin akan mencegah tindakan pidana perikanan, serta menyelamatkan sumber daya ikan dan ekosistem. Dampak kebijakan itu masih perlu dibuktikan apakah mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Selama Januari-April 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangani pelanggaran terhadap 60 kapal perikanan, meliputi peringatan atau teguran tertulis untuk enam kapal, dan pengenaan denda administratif terhadap 47 kapal. Selain itu, pembekuan perizinan berusaha untuk dua kapal, pencabutan perizinan berusaha terhadap empat kapal, dan proses pidana untuk satu kapal.
Awal April 2022, salah satu kapal perikanan yang tersangkut kasus pelanggaran dikenakan denda oleh KKP sebesar Rp 772 juta. Kapal perikanan itu ditenggarai melanggar wilayah pengelolaan perikanan. Besaran denda tersebut sempat menuai protes dari kalangan pelaku usaha perikanan.
Secara terpisah, Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Bilahmar, meminta agar pemerintah mengumumkan dan menyosialisasikan hitungan denda sanksi administratif kepada seluruh pelaku usaha perikanan. Seperti halnya pengenaan denda terhadap pelanggaran lalu lintas, maka tarif denda terkait pelanggaran kapal perikanan perlu dirinci agar tidak menimbulkan keresahan bagi pelaku usaha.
“Hitungan denda sanksi adminsitratif yang jelas dan rinci perlu diumumkan ke pelaku usaha. Tarif denda perlu dibuka agar transparan,” ujar Bilahmar.
Unsur pembinaan
Bilahmar meminta pemerintah mengedepankan unsur pembinaan dan teguran tertulis sebelum menetapkan denda kepada pelaku pelanggaran. Tahapan pemberian teguran lisan dan tertulis diperlukan sebagai bentuk pembinaan sekaligus peringatan. “Apabila kapal melakukan pelanggaran dan dibiarkan, lalu saat pulang langsung dikenakan sanksi, di mana unsur pembinaan (kepada pelaku usaha),” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, mengemukakan, penerapan sanksi administratif dipandang merupakan amanat Undang-Undang Cipta Kerja yang mengedepankan pendekatan ultimum remedium. Penerapan sanksi administratif telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 31 Tahun 2021.
Menurut Adin, keberatan pelaku usaha terkait pengenaan denda administratif dinilai wajar. Namun, pengenaan denda administratif kepada pelaku pelanggaran bertujuan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan dan lingkungan.
Pelaku pelanggaran yang menyebabkan kerugian ataupun kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan wajib melakukan penggantian atau membayar denda sebagai bentuk prinsip keadilan restoratif. Pengenaan besaran denda administratif disesuaikan dengan jenis pelanggaran, ukuran kapal, dan jumlah hari pelanggaran guna lebih memenuhi rasa keadilan dan efek jera.
“(Sanksi administratif) Ini semangat Undang-Undang Cipta Kerja yang ada di semua sektor. Dengan penerapan sanksi administratif, pemerintah berharap iklim usaha tetap kondusif,” ujar Adin, dalam keterangan pers, akhir pekan lalu.
Ia juga menilai sanksi administratif lebih efektif karena waktu penyelesaian relatif cepat, yaitu paling lambat 21 hari. Sedangkan, penerapan sanksi pidana dinilai memakan waktu penyidikan sampai 30 hari, belum termasuk proses penuntutan sampai dengan putusan berkekuatan tetap (inkracht). Di sisi lain, sanksi pidana hanya menjaring pekerja, sehingga dinilai tidak adil.
“Sanksi pidana kemungkinan dapat berbentuk hukuman penjara dan penyitaan kapal, sehingga dampak pengenaan sanksi pidana sangat signifikan, yaitu dapat membuat tutupnya usaha yang dilakukan. Sementara, pengenaan sanksi administratif cenderung lebih memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk tetap melanjutkan usaha,” lanjut Adin.
Adin menambahkan, bahwa tata cara pengenaan sanksi administratif berupa teguran telah diatur di Pasal 9 Permen KP Nomor 31 Tahun 2021, di mana hanya diberikan apabila (1) baru pertama kali melakukan pelanggaran, (2) belum menimbulkan dampak berupa kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan dan/atau keselamatan dan/atau kesehatan manusia; dan/atau (3) sudah ada dampak yang ditimbulkan namun dapat diperbaiki dengan mudah.