Pascapandemi Covid-19, kalangan generasi pekerja memandang perekonomian mulai menggeliat. Peluang karier baru yang menjanjikan bermunculan dan optimisme pun menguat.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pencari kerja berburu lowongan pekerjaan dalam Topkarir Expo, bursa kerja yang diadakan situs penyedia lowongan pekerjaan Topkarir di Gedung Smesco, Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Seiring dengan melandainya kasus positif Covid-19 di Indonesia, harapan pun bertumbuh pada sejumlah generasi angkatan kerja bahwa kondisi perekonomian akan membaik. Ini berarti akan bertambah pula peluang karier baru.
Optimisme pekerja kerah putih ini setidaknya relatif tergambar dalam survei kecil Headhunter Indonesia yang diselenggarakan pada 9-13 Mei 2022. Pada survei ini, kuesioner ini disebarluaskan secara daring dan terkumpul jawaban 192 pekerja kerah putih. Mereka berasal dari latar generasi berbeda, yakni generasi X (64 orang), generasi Y (69 orang), dan generasi Z (55 orang). Para responden bekerja di berbagai sektor, antara lain perbankan, barang lekas habis, serta bisnis jasa.
Sebanyak 72,9 persen responden menjawab optimistis terhadap prospek karier jangka panjang setelah dua tahun pandemi Covid-19. Sebanyak 22,9 persen menjawab netral dan hanya 4,2 persen yang pesimis. Headhunter Indonesia meminta responden yang menjawab pesimistis untuk memberikan alasan.
Rupanya pesimisme ini bersumber dari faktor eksternal dan internal responden. Faktor-faktor eksternal yang mengakibatkan pesimisme ini mereka sebutkan adalah kondisi performa perusahaan yang sedang turun, perekonomian belum normal, dan pandangan ketatnya pasar kerja. Sementara faktor internal meliputi perasaan bersalah memilih jalur karier serta ketidaknyamanan melanjutkan pekerjaan yang tengah mereka geluti.
Sebanyak 72,9 persen responden menjawab optimistis terhadap prospek karier jangka panjang setelah dua tahun pandemi Covid-19. Sebanyak 22,9 persen menjawab netral dan hanya 4,2 persen yang pesimistis.
”Kondisi pekerja di Indonesia dengan di negara lain, seperti Amerika Serikat, berbeda. Mungkin, kondisi pekerja di negara lain relatif pesimistis menghadapi karier setelah dua tahun pandemi Covid-19. Barangkali, karakter orang Indonesia yang selalu cenderung memilih mantap ’menjalani lebih dulu’ kondisi yang serba tidak pasti,” ujar Pendiri dan Managing Director Headhunter Indonesia Haryo Utomo Suryosumarto, Minggu (15/5/2022), di Jakarta.
Lebih jauh, Haryo menduga, karena jawaban optimistis terhadap prospek karier disampaikan oleh pekerja kerah putih lintas generasi, ini berarti mereka meyakini di tengah kondisi tidak pasti akan selalu ada peluang terbuka. Mereka ingin menangkap berbagai peluang baru, walaupun mereka menyadari bahwa persaingan jangka panjang lebih ketat.
Salah seorang karyawan membuka komputer jinjing saat mengikuti pertemuan di ruang kerja bersama (coworking space) Impact Hub di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (25/11/2021).
Retno Mayasari, konsultan industri kecantikan, berpendapat, sikap optimistis dalam bekerja dipengaruhi karakter individu. Karakter itu dibentuk pula oleh dukungan keluarga.
”Ketika individu sudah optimistis, kemudahan karier akan diperoleh. Sikap ini yang saya terapkan selama lebih dari 20 tahun bekerja, mulai dari sektor industri jasa ke teknologi informasi, dan terakhir di perusahaan kecantikan. Kalau saya belum diterima kerja oleh satu perusahaan, saya berusaha mencari tahu apa kekurangan sebagai bekal melamar berikutnya,” ujar Retno, Sabtu (14/5/2022), di Jakarta. Sejak April 2020, dia menjadi konsultan industri kecantikan sambil mencari peruntungan pekerjaan tetap yang baru.
Ditempa perubahan
Riesyael Barlev, karyawan sebuah perusahaan manufaktur nasional, juga optimistis memandang prospek kariernya pascapandemi. Riesyael yang memulai karier sejak 1993 ini berpendapat, pandemi melahirkan cara kerja baru, seperti bekerja dari mana pun asalkan terkoneksi internet. Dia berusaha menikmati hal baru itu.
”Generasi X seperti saya ditempa berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Karena ditempa pengalaman perubahan panjang, kami mungkin jadi tangguh menghadapi pandemi,” katanya.
Karakteristik industri atau bidang kerja juga turut mempengaruhi pola pikir pekerja. Imam Nurhadi, pekerja pemasaran di salah satu operator telekomunikasi seluler, menceritakan, di lingkungan kerjanya selalu terjadi perubahan yang cepat. Perencanaan yang dibuat kerap tidak terlaksana karena selalu melihat kompetitor dan inovasi teknologi.
Imam telah bekerja di sektor itu sekitar 10 tahun. Terbiasa dengan perubahan cepat di dalam kantor, membuat Imam lebih menikmati ketidakpastian di masa depan. ”Layanan telekomunikasi juga telah menjadi kebutuhan pokok. Makanya, saya masih optimistis terhadap karier saya.”
Internet memudahkan kami mencari fasilitas pelatihan kompetensi sampai memburu peluang baru demi memperluas zona nyaman. Pilihan bekerja sesuai hasrat atau perencanaan pribadi semakin jadi opsi utama dalam kehidupan.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Suasana kerja di CoHive di kawasan Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan, Jumat (28/5/2021). CoHive yang bergerak di penyediaan jasa ruang kantor bersama ini merespons tren dan permintaan pasar bagi para pekerja muda.
Menurut Rochmah Sri Lestari, peneliti pada perusahaan rekrutmen tenaga kerja di Jakarta, di lingkungan sesama generasi Z, dia mendapati teman-temannya sangat optimistis. Mereka bahkan menyusun perencanaan karier jangka pendek hingga panjang. Mereka cenderung lincah menghadapi dinamika pasar kerja.
”Internet memudahkan kami mencari fasilitas pelatihan kompetensi sampai memburu peluang baru demi memperluas zona nyaman. Pilihan bekerja sesuai hasrat atau perencanaan pribadi semakin jadi opsi utama dalam kehidupan. Walaupun, ada kelompok masyarakat suka mengecap ’kutu loncat’,” imbuh Rochmah.
Disrupsi
Direktur Eksekutif Deloitte Asia Tenggara Asia Tenggara Indranil Roy berpandangan, pasar kerja sedang terdisrupsi oleh faktor eksternal. Misalnya, teknologi digital, kondisi ekonomi, dan perubahan sosial yang tidak dapat diprediksi atau dikendalikan. Pandemi juga merupakan disrupsi. Situasi seperti itu berpotensi menyebabkan kecemasan, rasa lelah luar biasa, dan pesimisme di kalangan pekerja kerah putih.
Deloitte menawarkan 10 tips bekerja di era modern kepada pekerja dalam menyikapi disrupsi eksternal. Di antaranya adalah pekerja harus memiliki motivasi kuat dalam diri sendiri serta memasang target rencana jangka pendek dan jangka panjang.