Perang Rusia-Ukraina Jadi Sumber Risiko Tertinggi bagi Sistem Keuangan
Survei Bank Indonesia Maret-April 2022 menempatkan ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina menduduki posisi pertama sumber risiko yang rentan mengguncang stabilitas sistem keuangan menggeser jumlah kasus Covid-19.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina menjadi sumber risiko tertinggi yang berpotensi menimbulkan guncangan stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Konflik antarnegara itu bisa memengaruhi beragam aspek ekonomi mulai dari perdagangan, tingkat inflasi, hingga berujung guncangan sistem keuangan yang melemahkan pemulihan ekonomi.
Dalam diskusi bertajuk ”Bauran Kebijakan Nasional di Tengah Dinamika Ekonomi Global, Dampak Ketegangan Geopolitik dan Tantangan Scarring Effect”, Jakarta, Jumat (13/5/2022), Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Yati Kurniati menjelaskan, ada tiga sumber risiko utama yang berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan.
Ia menuturkan, survei yang dilakukan BI pada Maret-April 2022 menempatkan aspek konflik geopolitik pada posisi nomor satu sebagai sumber risiko utama yang rentan mengguncang sistem keuangan. Berikutnya, inflasi dan kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) berada di posisi kedua dan ketiga sumber risiko.
Konflik geopolitik menggeser penyebaran kasus Covid-19 sebagai sumber risiko utama bagi stabilitas sistem keuangan.
Disampaikan Yati, survei serupa pada semester sebelumnya menempatkan jumlah kasus Covid-19 sebagai sumber risiko nomor satu bagi stabilitas sistem keuangan, diikuti oleh aspek pertumbuhan ekonomi yang rendah serta kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed. Kini, konflik geopolitik menggeser penyebaran kasus Covid-19 sebagai sumber risiko utama.
Ketegangan geopolitik ini berdampak pada tiga jalur, yaitu perdagangan, komoditas, dan keuangan. ”Dampaknya menjalar ke berbagai hal yang bisa memengaruhi stabilitas keuangan dan ekonomi Indonesia,” ujar Yati.
Dampak konflik geopolitik ini ke jalur perdagangan adalah melemahnya permintaan global yang berpotensi menurunkan ekspor Indonesia. Penurunan ekspor bisa melambatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Konflik geopolitik ini pun memicu disrupsi rantai pasok global sehingga mendorong kenaikan harga komoditas. Harga-harga yang naik itu kemudian ikut mengerek inflasi dalam negeri. ”Kenaikan harga komoditas, khususnya sektor energi, ini bertransmisi ke inflasi yang memengaruhi daya beli masyarakat,” ujar Yati.
Sementara kenaikan tingkat suku bunga The Fed menimbulkan perubahan harga aset yang memengaruhi biaya bunga dan meningkatkan biaya dana. Bunga kredit menjadi lebih tinggi atau mahal akibat meningkatnya biaya dana.
Dampak konflik geopolitik ini ke jalur perdagangan adalah melemahnya permintaan global yang berpotensi menurunkan ekspor Indonesia. Penurunan ekspor bisa melambatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Gubernur BI Perry Warjiyo kembali menegaskan, kebijakan moneter BI tahun ini fokus pada upaya menjaga kestabilan sistem keuangan. Adapun bauran kebijakan BI lainnya diarahkan untuk mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
Ditambahkan oleh Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, BI terus berkoordinasi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. BI juga terus mengkaji potensi risiko guncangan, menyiapkan rencana antisipasi, dan merespons tekanan dengan kebijakan yang tepat.
Bantalan
Pada diskusi yang sama, Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menjelaskan, stabilitas di sektor jasa keuangan khususnya perbankan tidak lepas dari kebijakan relaksasi dunia usaha dan debitur perbankan melalui restrukturisasi kredit. Dunia usaha yang sempat tertekan pandemi diberikan ruang tambahan untuk melunasi kewajiban. Masa restrukturisasi itu berakhir pada Maret 2023.
Menurut perhitungan OJK, industri perbankan sudah memiliki bantalan cukup kuat ketika kebijakan restrukturisasi itu berakhir. Sampai dengan Maret 2022, data OJK menyebutkan rasio Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dibandingkan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) mencapai 203,8 persen dan rasio CKPN dibandingkan total kredit mencapai 6,1 persen.
”CKPN kita dalam kondisi memadai,” ujar Anung.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menambahkan, APBN merupakan instrumen pemerintah untuk menciptakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pada saat pandemi, fokus APBN banyak dialokasikan untuk menciptakan bantalan yang menjaga daya beli masyarakat melalui jaminan sosial dan bantuan sosial.