Peningkatan Produktivitas Padi Dihadang Sejumlah Tantangan
Lahan kering dan rawa, penggunaan pupuk anorganik, serta problem tata kelola stok pangan adalah sebagian tantangan yang harus diatasi untuk mendongrak produktivitas padi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tantangan menghadang upaya peningkatan produktivitas padi. Di antaranya adalah masih rendahnya produktivitas padi di lahan kering dan rawa serta masih banyaknya penggunaan pupuk anorganik. Di samping itu, tata kelola stok pangan secara menyeluruh juga perlu dibenahi agar tahan dalam menghadapi turbulensi global.
Rachmat dari Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian mengatakan, tantangan lainnya adalah laju penurunan produksi (leveling off) terkait sawah-sawah intensif dengan unsur hara yang terus tergerus. Alih fungsi lahan irigasi ke nonpertanian juga memengaruhi upaya untuk memperluas areal tanam atau mencari lahan perluasan.
”Oleh karena itu, kami berupaya memperbaiki lahan, dari sisi unsur haranya seperti dengan kegiatan Padi Sehat. Pemanfaatan pupuk organik juga kami gencarkan. Sementara terkait lahan-lahan produktif, kami berupaya melindunginya bersama pemerintah daerah,” kata Rachmat dalam webinar Rasio Swasembada (SSR) dan Tantangan Manajemen Stok Beras di Tengah Turbulensi Global, Jumat (13/5/2022).
Alih fungsi lahan irigasi ke nonpertanian juga memengaruhi upaya untuk memperluas areal tanam atau mencari lahan perluasan.
Berdasarkan data Kementan, produktivitas padi pada 2021 adalah 5,23 ton per hektar atau meningkat 1,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun luas panen padi pada 2021 mencapai 10,41 juta hektar atau menurun 2,30 persen (245.470 hektar) dibandingkan luas panen padi pada 2020 yang 10,66 juta hektar.
Upaya lainnya, kata Rachmat, juga dengan peningkatan Indeks Pertanaman (IP400), dengan tanam dan panen rata-rata 4 kali dalam setahun pada lahan yang sama, sesuai kondisi spesifik lokasi. Selain itu, juga percepatan pengolahan, penanaman, hingga panen, serta penggunaan varietas sangat genjah. Dengan demikian, di tengah turbulensi global, ketersediaan padi dan beras nasional bakal terus terjaga.
Dirjen Tanaman Pangan Kementan Suwandi menuturkan, sejak 2019, Indonesia tidak mengimpor beras umum. Jenis yang masih diimpor adalah beras khusus seperti beras untuk restoran Jepang, Pakistan, dan India. Pada 2018-2021, produksi beras surplus sekitar 2 juta ton. Oleh karena itu, ia meyakini, di tengah turbulensi global, produksi beras nasional terjaga.
Ia pun mendorong setiap daerah untuk turut memperbanyak gudang pangan, baik itu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun RT-RW. ”Dengan demikian diharapkan ada Bulog-Bulog mini di daerah untuk cadangan pangan. Juga untuk berjaga-jaga. Sebab, yang terjadi pada minyak goreng juga tak disangka. Jadi, perlu kewaspadaan,” ujar Suwandi.
Di sisi lain, perubahan iklim juga perlu diwaspadai. Menurut dia, masyarakat tak perlu panik, tetapi tetap waspada. Berbagai kearifan lokal dapat dikembangkan, seperti yang ditemukannya di Ngawi, Jawa Timur, yakni pengering padi buatan sendiri yang harganya 70 persen lebih murah dibandingkan di toko. Hal-hal seperti itu berpotensi diadopsi.
Manajemen stok
Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty mengatakan, manajemen atau tata kelola stok harus dimulai dengan menyepakati neraca pangan secara nasional oleh seluruh pemangku kepentingan. Ia mencontohkan, neraca pangan yang sudah dibuat Badan Pangan Nasional.
Menurut dia, neraca pangan harus menjadi komitmen bersama. ”Harus dijadikan keputusan politik sebelum tahun bergerak. Misal 2023, maka sebelum masuk tahun itu harus sudah diketok (diputuskan), sehingga tak ada lagi polemik impor dan tidak impor. Jadi, sudah tahu mana (komoditas) yang memang kurang,” ujar Lely.
Angka-angka di dalam neraca itu, imbuh Lely, juga harus kredibel dan akurat. Dengan demikian, saat awal tahun, semua pihak dapat memahami kondisi yang ada. Waktu dapat dimanfaatkan untuk hal produktif.
Manajemen atau tata kelola stok harus dimulai dengan menyepakati neraca pangan secara nasional oleh seluruh pemangku kepentingan.
Lely menambahkan, perlu juga ada pengembalian kebijakan pengelolaan pangan dalam satu rantai utuh. Kini, harapan besar ada pada Badan Pangan Nasional. ”Juga perlunya tata kelola cadangan berbasis korporasi dan berorientasi kesejahteraan publik. Artinya, mereka yang ada di daerah 3T tidak tertinggal,” katanya.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto mengemukakan, pihaknya melakukan integrasi dari Perum Bulog, produsen, on-farm, hingga kerja sama dengan petani atau kelompok tani. Sementara di sisi manufaktur, dengan dana penyertaan modal negara (PMN), Bulog membangun banyak Modern Rice Milling Plant (MRMP).
”Harapannya, kami bisa lebih efektif dalam melakukan stabilisasi di tingkat produsen. Selama ini, kami melakukan pengadaan di mitra kerja, tetapi dengan adanya MRMP, kami akan terintegrasi langsung dengan petani sehingga bisa menjamin bahwa petani akan dapat harga sesuai yang telah diharapkan pemerintah,” ucap Suyamto.
Hal ini juga terkait peningkatan investasi. Dengan PMN, Bulog membangun 13 unit MRMP dengan kapasitas masing-masing 6 ton perjam, 7 unit rice to rice (RTR) masing-masing 6 ton per jam, dan 6 unit corn drying center (CDC) dengan kapasitas masing-masing 120 ton per hari per unit. Ada juga 4 gudang modern dan pusat distribusi serta 20 gudang komoditas pangan.