Hadapi Inflasi dan Gejolak Pasar Keuangan, Kebijakan Harus Sinkron dan Sinergis
Perekonomian Indonesia menghadapi tekanan dari dalam negeri berupa kenaikan inflasi dan luar negeri berupa kenaikan tingkat suku bunga bank sentral AS. Perlu kebijakan moneter dan makro yang sinkron untuk meresponsnya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya tekanan eksternal dan internal yang memicu lonjakan inflasi dan gejolak pasar keuangan domestik perlu direspons dengan kebijakan berbagi beban antara otoritas moneter, otoritas fiskal, dan masyarakat. Dengan langkah ini, kebijakan untuk meredam inflasi dan gejolak pasar keuangan tidak akan menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi yang kini tengah berlangsung.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tekanan internal yang tecermin dari lonjakan inflasi serta tekanan eksternal akibat kenaikan tingkat suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) dan ketidakpastian konflik Rusia-Ukraina harus diantisipasi dengan tepat oleh pemangku kebijakan ekonomi di Indonesia. Tekanan tersebut telah berdampak pada jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, melemahnya kurs rupiah, dan naiknya imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara.
Pada penutupan perdagangan Selasa (10/5/2022), IHSG melorot 1,3 persen atau 89,96 poin menjadi 6.819,79 dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Kurs rupiah juga melemah ke level Rp 14.546 per dollar AS dan yield SBN 10 tahun meningkat menjadi 7,34 persen
”Untuk mengantisipasi hal ini, kebijakan fiskal dan moneter ini harus sinkron dan saling mendukung,” ujar Faisal saat dihubungi, Selasa (10/5/2022).
Ia menjelaskan, inflasi April 2022 yang mencapai 0,95 persen secara bulanan atau 3,47 persen secara tahunan sebaiknya tidak hanya diredam oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter berupa kenaikan suku bunga acuan. Kalaupun BI terpaksa menaikkan suku bunga, peningkatannya diharapkan tidak terlampau tinggi. Kenaikan suku bunga yang terlampau tinggi justru akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi.
Fiskal dan inflasi
Agar kenaikan suku bunga bisa diminimalisir, menurut Faisal, maka kebijakan moneter perlu dibarengi dengan kebijakan fiskal yang sinergis. Ia mengatakan, pemerintah tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong kenaikan harga terkait bahan bakar binyak (BBM), elpiji 3 kilogram, dan tarif dasar listrik. Sebab, kebijakan-kebijakan itu akan memicu lonjakan inflasi.
Menurut perhitungannya, apabila pemerintah kembali menaikkan harga barang yang diatur pemerintah, maka inflasi sampai akhir tahun bisa mencapai 5 persen. Ini berada di atas target BI dan pemerintah dalam APBN 2022, yakni 2-4 persen. Namun, apabila pemerintah tidak menaikkan harga barang, inflasi sampai akhir tahun bisa berada pada 4 persen atau masih dalam rentang target pemerintah dan BI.
”Kalau di masa mendatang terjadi lagi pengaturan berupa kenaikan harga barang oleh pemerintah, inflasi bisa makin tinggi. BI pun akhirnya terpaksa merespons dengan menaikkan tingkat suku bunga untuk mengerem laju inflasi. Padahal, di sisi lain, kita masih memerlukan insentif kelonggaran moneter dan suku bunga murah untuk pemulihan ekonomi,” ujar Faisal.
Ia menjelaskan, kondisi fiskal saat ini sebenarnya sedang mendapat keuntungan dari masih positifnya kinerja ekspor yang dipicu tingginya harga komoditas. Tambahan pemasukan dari kinerja ekspor tersebut, lanjut Faisal, membuat ruang fiskal bisa sedikit melebar. Ruang fiskal itulah yang perlu dialokasikan pemerintah untuk memberikan subsidi dan bantuan sosial bagi kalangan menengah ke bawah yang daya belinya tergerus akibat kenaikan inflasi.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, mengatakan, inflasi ke depan masih akan terus naik karena terdorong dua faktor, yakni permintaan yang naik (demand pull inflation) dan harga barang yang naik (cost push inflation). Kenaikan permintaan dipicu oleh makin bergairahnya aktivitas ekonomi masyarakat seiring dengan makin menurunnya jumlah kasus Covid-19. Sampai akhir tahun pihaknya memperkirakan inflasi akan mencapai 4,6 persen.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, inflasi April dipicu oleh semua kelompok, yakni harga pangan bergejolak (volatile food), harga barang yang diatur pemerintah (administered price), dan inflasi inti. Meski demikian, pihaknya yakin tetap bisa menjaga inflasi sesuai target, yakni di kisaran 2-4 persen pada tahun ini.
“Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna menjaga inflasi berada dalam kisaran sasaran 2022,” ujar Erwin.
Pasar modal
Kenaikan suku bunga acuan The Fed mulai merembet ke lantai bursa. Indeks Harga Saham Gabungan selama dua hari berturut-turut mengalami penurunan. Pada perdagangan Senin (9/5/2022), IHSG ditutup menurun 4,42 persen pada level 6.909, sedangkan pada Selasa perdagangan juga turun 1,3 persen menjadi 6.819.
Guru Besar Pasar Modal Universitas Bhayangkara Jaya Adler Haymans Manurung menjelaskan, penyebab terjadi penurunan IHSG itu lantaran aksi jual dari investor pasar modal. Adapun kebanyakan investor yang menjual itu adalah investor dari luar negeri yang merespons kebijakan kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed. Dengan adanya kenaikan suku bunga The Fed, investor asing berpikir lebih baik memarkirkan uangnya di Amerika Serikat saja ketimbang di Indonesia sehingga munculah aksi jual.
Adler mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, dan Kementerian Keuangan seharusnya tampil memberikan keterangan kepada publik untuk menenangkan kegelisahan pasar. Sampaikan dengan jelas bagaimana sikap dalam merespons kondisi ini.
”Jangan didiamkan saja. Ini harus direspons dengan tepat karena ini bisa merembet kepada larinya modal, memberi guncangan nilai tukar mata uang, dan lain-lain,” ujar Adler.