Meski Investasi Meningkat, Deindustrialisasi Dini Masih Mengancam
Kenaikan investasi di sektor manufaktur tidak serta-merta menunjukkan Indonesia sudah lepas dari bayang-bayang ancaman deindustrialisasi dini. Dampak investasi pada penciptaan lapangan kerja harus dimaksimalkan.
Oleh
AGNES THEODORA,
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi investasi di sektor manufaktur pada triwulan I tahun 2022 meningkat cukup signifikan seiring dengan upaya hilirisasi industri dan membaiknya kondisi penanganan pandemi Covid-19. Namun, kekhawatiran akan ancaman deindustrialisasi dini masih membayangi struktur perekonomian nasional. Terlebih, jika investasi yang masuk tidak diarahkan dengan tepat.
Sepanjang Januari-Maret 2022, realisasi investasi sektor industri pengolahan mencapai Rp 103,5 triliun, berkontribusi 36,7 persen terhadap total nilai investasi sepanjang triwulan I tahun 2022 sebesar Rp 282,4 triliun. Secara tahunan, investasi sektor manufaktur itu meningkat 17 persen. Industri pengolahan mengalami pertumbuhan sejak dua tahun lalu, meski di tengah pandemi.
Berdasarkan data Kementerian Investasi, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di industri manufaktur sebesar Rp 25,6 triliun atau berkontribusi 18,9 persen terhadap total capaian PMDN yang menembus Rp 135,2 triliun.
Investasi paling besar terdapat pada industri makanan dan minuman dengan nilai Rp 9,7 triliun melalui 2.181 proyek, disusul industri kimia dan farmasi senilai Rp 4,6 triliun (846 proyek), serta industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya Rp 2,6 triliun (432 proyek).
Sementara, realisasi penanaman modal asing (PMA) di sektor manufaktur senilai 5,4 miliar dollar AS atau setara Rp 78,2 juta triliun (kurs Rp 14.498 per dollar AS). Investasi itu menyumbang 52,9 persen dari total capaian PMA sepanjang triwulan I-2022 yang nilainya 10,3 miliar dollar AS atau setara Rp 149,3 triliun.
Penyumbang terbesar adalah investasi di industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya sebesar 2,5 miliar dollar AS atau Rp 36,2 triliun dengan total 443 proyek, disusul industri kimia dan farmasi senilai 854 juta dollar AS atau Rp 12,3 triliun (650 proyek), industri makanan dan minuman senilai 686 juta dollar AS atau Rp 9,9 triliun (951 proyek), dan industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain senilai 542 juta dolla AS atau Rp 7,8 triliun (468 proyek).
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho menilai, kenaikan investasi di sektor manufaktur itu tidak serta-merta menunjukkan Indonesia sudah lepas dari bayang-bayang ancaman deindustrialisasi dini. Pasalnya, penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih terjadi.
Pada tahun 2021, industri pengolahan berkontribusi 19,25 persen terhadap PDB, dengan kontribusi industri pengolahan nonmigas sebanyak 17,3 persen terhadap PDB. Hal itu tetap menurun jika dibandingkan dengan capaian tahun 2011, ketika kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sebesar 21,76 persen dan kontribusi industri pengolahan nonmigas sebanyak 18,3 persen.
Kenaikan investasi di sektor manufaktur tidak serta-merta menunjukkan Indonesia sudah lepas dari bayang-bayang ancaman deindustrialisasi dini.
”Artinya, deindustrialisasi dini di Indonesia sebenarnya sudah terjadi. Kita belum mencapai peakatau puncak dari kinerja industri manufaktur, tetapi kontribusinya terus menurun,” kata Andry, Sabtu (7/5/2022).
Ada beberapa faktor yang menurut dia membuat hal itu terjadi. Pertama, kinerja industri manufaktur yang tidak maksimal di tengah dampak pandemi Covid-19 dan problem rantai pasok yang masih terjadi. Kedua, terjadi loncatan peralihan dari sektor pertanian ke perdagangan tanpa melalui pematangan sektor pengolahan terlebih dahulu.
”Idealnya, transformasi ekonomi itu dari industri yang mengandalkan sektor pertanian, switchke industri manufaktur, dan ketika manufaktur performanya sudah peak, beralih ke sektor jasa atau perdagangan. Yang sekarang terjadi, sektor pengolahan dilangkahi,” ujar Andry.
Menurut dia, realisasi investasi di sektor manufaktur yang meningkat dapat menjadi salah satu momentum untuk kembali meningkatkan geliat industri. Namun, tantangannya bukan hanya pada menambah komposisi investasi sektor sekunder dibandingkan tersier, melainkan harus berdampak pada penciptaan lapangan kerja.
Saat ini, jumlah tenaga kerja masih lebih banyak terserap di sektor pertanian, bukan di industri pengolahan. Penciptaan lapangan kerja melalui investasi di sektor manufaktur masih mengalami tren menurun. Meski akhir-akhir ini ada peningkatan, terhitung tipis.
”Yang harus digarisbawahi adalah penyerapan tenaga kerjanya. Kalau ditelisik, investasi PMA yang tinggi itu kebanyakan masih bersifat padat modal dan padat teknologi,” kata Andry.
Tantangannya tidak hanya menambah komposisi investasi sektor sekunder dibandingkan tersier, tetapi seperti apa dampaknya pada penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, kinerja investasi di sektor manufaktur yang terus meningkat menunjukkan bahwa di tengah gejolak ekonomi global dan dampak pandemi, kepercayaan dari investor, khususnya di sektor industri, masih sangat tinggi.
Menurut Agus, capaian investasi industri ini tidak lepas dari kebijakan hilirisasi industri di sektor tambang yang kini sedang dikebut pemerintah. Salah satunya, upaya hilirisasi nikel untuk mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik dan pembangunan pabrik baterai.
Berbagai upaya akan terus dilakukan untuk menarik minat investor luar dan dalam negeri untuk berinvestasi, misalnya melalui menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberi berbagai insentif fiskal dan nonfiskal. ”Kebijakan pemerintah masihon the track untuk memperkuat struktur manufaktur industri kita supaya bisa lebih berdaya saing secara global,” kata Menperin.
Pemerintah juga akan mengoptimalkan momentum presidensi Forum G20 dan ajang pertemuan Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) di forum tersebut untuk menggaet lebih banyak investasi di sektor manufaktur. “Untuk mencapai sasaran ini, diperlukan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan yang terkait,” ujarnya.