Investor Akan Lebih Selektif Memilih Saham Teknologi
Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat baru-baru ini dikhawatirkan memengaruhi saham perusahan teknologi yang sudah melantai di bursa saham, baik perusahaan skala besar maupun rintisan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan (fed fund rate)bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserves atau The Fed, berpotensi mendorong investor menggeser perburuan investasi ke saham defensif. Namun, bukan berarti saham teknologi tidak lagi diminati. Investor diperkirakan masih akan memburu saham perusahaan teknologi yang memiliki fundamental kinerja kuat dan harganya tidak terlalu mahal.
”Siklus di pasar saham sedang berpindah. Pasar (investor) cenderung akan lebih memburu saham-saham defensif atau saham yang tidak terpengaruh oleh kinerja atau kondisi ekonomi, termasuk saham komoditas. Harga saham sejumlah perusahaan teknologi yang semula tinggi karena ekspektasi berlebihan, kini terpukul,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David E Sumual saat dihubungi, Jumat (6/5/2022), di Jakarta.
Namun, kondisi tersebut tidak lantas membuat saham perusahaan teknologi akan ditinggalkan. Hanya, menurut David, investor akhirnya akan melakukan seleksi. Mereka diperkirakan bakal semakin ketat memperhatikan kinerja perusahaan teknologi sebelum memutuskan berinvestasi.
”Misalnya di sektor perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Perusahaan teknologi yang berkecimpung di sektor itu tidak hanya satu. Dengan kondisi sekarang, investor akan menekankan mana yang memiliki fundamental kinerja yang bagus,” kata David.
David menerangkan, pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020, harga saham teknologi meroket karena dipicu oleh likuiditas melimpah. Ini dikarenakan pasar saham jatuh dan sejumlah bank sentral melakukan intervensi, seperti pelonggaran kuantitatif dan menurunkan suku bunga. Kemudian, orang dan investor mengalihkan dananya ke instrumen investasi yang relatif berisiko tinggi, tetapi memiliki potensi untung yang besar pula. Pilihan mereka jatuh kepada saham perusahaan teknologi. Pada saat itu, saham perusahaan teknologi raksasa, seperti Facebook, Amazon, Netflix, dan Google, banyak diburu.
Valuasi sejumlah perusahaan teknologi, tidak terkecuali perusahaan rintisan bidang teknologi, ikut melejit. Kendati demikian, belum semua perusahaan rintisan membukukan keuntungan.
Situasinya sekarang berbalik. Karena pandemi Covid-19 mereda, pemerintah di sejumlah negara memutuskan masuk ke endemi. Sejumlah bank sentral melakukan pengetatan kebijakan moneter, seperti The Fed yang telah menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpendapat, The Fed diprediksi menaikkan tingkat suku bunga acuan tiga sampai empat kali lagi sampai akhir tahun karena melihat tren inflasi yang bersifat persisten. Total fed fund rate bisa menjadi 1,5 persen pada akhir 2022, dari saat ini sebesar 0,75 persen.
Kondisi itu akan berefek pada saat bursa saham di Indonesia dibuka. ”Ada kecenderungan perburuan di saham teknologi tetap terjadi. Akan tetapi, investor akan selektif. Jika harga saham perusahaan teknologi terlalu mahal, investor belum tentu akan membeli,” kata Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, perburuan saham teknologi di tengah kenaikan suku bunga acuan The Fed tergantung lokasi pasar di mana perusahaan teknologi mencatatkan saham. Permasalahannya sekarang adalah saham perusahaan teknologi di Indonesia masuk kategori lokasi pasar berkembang. Volatilitas pasarnya lebih tinggi.
Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin pada Rabu (4/5/2022) waktu setempat. Merespon kebijakan itu, mengutip Reuterspada Jumat pagi, Dow Jones Industrial Average turun 1.063,09 poin atau 3,12 persen menjadi 32.997,97, kemudian S&P 500 kehilangan 153,3 poin atau 3,56 persen menjadi 4.146,87. Adapun Nasdaq Composite turun 647,17 poin atau 4,99 persen menjadi 12.317,69.
Harga saham dengan pertumbuhan tinggi yang di antaranya adalah perusahaan teknologi besar ikut merosot. Harga saham Induk Google, Alphabet Inc, Apple Inc, Microsoft Corp, Meta Platform, Tesla Inc, dan Amazon.com turun antara 4,3 persen dan 8,3 persen.
Harga saham Grab yang telah melantai di Nasdaq, saat penutupan pasar Kamis (5/5/2022), turun 4,19 persen menuju 3,03 dollar AS per lembar saham.
Kepala Investasi di Verdence Capital Advisor Megan Horneman mengatakan, bukan hanya saham dengan pertumbuhan tinggi yang mengalami kesulitan pada 2022. Karena masih ada potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed, investor mempertanyakan potensi pendapatan perusahaan di masa depan.