Perekonomian Global Tak Menentu, Manufaktur Tetap Tumbuh Ekspansif
Meski mencatat kinerja ekspansif, pertumbuhan sektor manufaktur masih dibayangi ketidakpastian iklim ekonomi global dalam bentuk kendala pasokan bahan baku dan tingkat inflasi yang terus naik.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketegangan geopolitik yang berdampak pada perekonomian global, kinerja industri manufaktur nasional tetap tumbuh ekspansif. Hal itu dibantu menguatnya konsumsi domestik serta meningkatnya permintaan ekspor. Meski demikian, pertumbuhan itu masih dibayangi isu keterbatasan pasokan bahan baku dan tekanan inflasi akibat gangguan rantai pasok dunia.
Lembaga pemeringkat S&P Global pada Kamis (5/5/2022) mencatat, Purchasing Managers’ Index Manufaktur Indonesia pada April 2022 berada di level 51,9. Ini merupakan peningkatan dari PMI Manufaktur Maret 2022 di angka 51,3. Meski di tengah kondisi perekonomian global yang tak pasti, kinerja manufaktur masih mencatatkan kinerja ekspansif (di atas level 50).
Kajian itu menunjukkan kondisi ekonomi yang membaik mendorong aktivitas pembelian di dalam negeri. Output produksi naik pada kisaran lebih cepat dari sebelumnya karena didorong oleh kenaikan permintaan atau konsumsi. Permintaan ekspor juga tetap meningkat, meski beberapa perusahaan melaporkan bahwa perang Rusia-Ukraina sedikit banyak mulai memengaruhi dinamika bisnis dari luar negeri.
Seiring dengan kenaikan permintaan itu, perusahaan manufaktur juga mencatat tingkat ketenagakerjaan yang tinggi. Penciptaan lapangan kerja pada April 2022 merupakan yang tercepat dalam sejarah survei PMI Manufaktur, berhubung perusahaan berusaha untuk memenuhi kebutuhan produksi yang lebih tinggi.
Kendati demikian, pertumbuhan sektor manufaktur itu masih dibayangi ketidakpastian global dalam bentuk kendala pasokan bahan baku dan tingkat inflasi yang terus naik. Kurangnya bahan baku dan proses pengiriman yang tertunda membuat waktu pemenuhan pesanan dari pemasok semakin panjang.
”Masalah pasokan masih ada, dengan laporan waktu pemenuhan pesanan yang lebih lama, meskipun gangguan Covid-19 sebenarnya sudah berkurang. Tekanan harga juga memburuk, yang bisa menghambat pergerakan produksi,” kata Direktur Asosiasi Ekonomi IHS Markit Jingyi Pan dalam keterangan persnya, Kamis.
Tekanan harga semakin intensif karena inflasi biaya input dan harga output produksi yang semakin cepat di bulan April. Perusahaan melaporkan kenaikan biaya input berupa harga bahan baku dan bahan bakar. Untuk saat ini, pelaku industri masih bertahan dengan membagi beban biaya itu dengan klien. Berbagai kendala tersebut pun membuat tingkat kepercayaan bisnis menurun dari bulan sebelumnya meski secara umum industri tetap mencatat kinerja ekspansif.
Berbagai kendala bahan baku dan tekanan biaya input itu membuat tingkat kepercayaan bisnis menurun dari bulan sebelumnya, meski secara umum industri tetap mencatat kinerja ekspansif.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, peningkatan kapasitas industri manufaktur pada April itu banyak ditopang menguatnya permintaan selama bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, sejalan dengan dikembalikannya kebijakan cuti bersama dan mudik Lebaran setelah dua tahun sebelumnya dibatasi akibat pandemi.
Untuk memastikan permintaan tetap terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi global, penyerapan produk dalam negeri lewat belanja barang/jasa akan ditingkatkan. Potensi belanja barang dan modal serta jasa di pemerintah pusat diestimasi senilai Rp 526 triliun, sementara di pemerintah daerah Rp 535 triliun dan di BUMN sekitar Rp 420 triliun.
”Artinya, total lebih dari Rp 1.000 triliun. Itu angka yang sangat besar, yang perlu terus dipacu lewat pembelian produk dalam negeri supaya industri kita dapat tumbuh dan berkembang. Kurangi sebanyak-banyaknya pembelian produk impor,” ujar Agus.
Selain itu, upaya hilirisasi industri di sektor perkebunan dan pertambangan juga terus digenjot untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya mineral dan perkebunan didorong untuk segera membangun fasilitas smelter.
Upaya hilirisasi industri di sektor perkebunan dan pertambangan juga terus digenjot untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
”Daerah yang memproduksi cokelat atau kopi, misalnya, bisa meningkatkan nilai tambahnya melalui hilirisasi industri, sekaligus membuka lapangan kerja lebih banyak,” katanya.
Menopang pemulihan
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menilai indeks PMI Manufaktur yang kembali menguat bisa menopang keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional. Menurut dia, peningkatan kinerja sektor pengolahan itu tidak lepas dari efektivitas penanganan pandemi dan kecepatan vaksinasi dalam beberapa bulan terakhir.
Kondisi yang membaik itu mampu memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk kembali beraktivitas dan berbelanja, terutama pada bulan Ramadhan dan Lebaran. ”Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Bersama dengan penguatan ekspor, pertumbuhan sektor manufaktur ini diharapkan dapat mendukung semakin solidnya pertumbuhan ekonomi di triwulan II tahun 2022 ini,” katanya.
Ia juga berharap tren pembukaan lapangan kerja di sektor manufaktur bisa berlanjut untuk memberikan efek pengganda bagi masyarakat dan mendorong perbaikan ekonomi yang lebih inklusif. Pemerintah pun akan ikut mengantisipasi tren tekanan harga input yang saat ini menjadi salah satu beban bagi industri manufaktur.
”Agar keberlanjutan penguatan konsumsi dan produksi tetap terjaga di tengah tekanan harga, pemerintah akan hadir melalui intervensi harga ataupun non-harga, seperti lewat program-program perlindungan sosial,” kata Febrio.