BI Masih Memiliki Ruang Pertahankan Suku Bunga Acuan
Kenaikan tingkat suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserves, diperkirakan tidak akan berdampak luas bagi Indonesia.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia (BI) dinilai masih memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga acuan meskipun Bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserves (The Fed) memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 50 basis poins atau 0,5 persen pada Rabu (4/5/2022) waktu setempat. Kenaikan suku bunga The Fed tersebut diprediksi tidak akan memicu terjadinya aliran modal keluar atau capital outflow dari dalam negeri secara signifikan meskipun BI tidak segera merespons langkah The Fed tersebut.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalan menjelaskan, sebelum pandemi Covid-19, kenaikan tingkat suku bunga The Fed biasanya akan memicu capital outflow yang cukup signifikan bila BI tidak melakukan langkah yang sama dengan juga menaikkan suku bunga. Para investor asing yang memiliki aset dalam denominasi rupiah, seperti saham dan surat berharga negara (SBN), akan mengalihkan dananya ke pasar keuangan Amerika Serikat (AS) yang dinilai lebih menguntungkan. Hal itu terjadi karena sebelum pandemi Covid-19, banyak dana asing yang bersifat hot money karena investornya hanya memegang aset secara jangka pendek. Capital outflow akan menyebabkan kurs rupiah terhadap dollar AS akan terdepresiasi.
Namun, setelah pandemi, porsi kepemilikan asing pada SBN dan saham terus menurun sehingga kekhawatiran terjadinya aliran modal ke luar negeri secara signifikan menjadi berkurang. Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, total kepemilikan asing pada SBN sampai dengan 27 April 2022 adalah sebesar Rp 831,87 triliun atau setara dengan 17,11 persen dari total SBN yang sebesar Rp 4.860 triliun. Sebelum pandemi, porsi kepemilikan asing terhadap total SBN mencapai hampir 40 persen.
Dengan demikian, meskipun terjadi capital outflow, jumlahnya tidak akan signifikan sehingga tidak akan mengganggu kestabilan sistem keuangan di dalam negeri.
”Tidak perlu terlalu khawatir karena dampaknya tidak akan terlalu luas,” ujar Piter dihubungi Kamis (5/5/2022).
Selain itu, cadangan devisa Indonesia dalam posisi kuat untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar rupiah. Sampai dengan 31 Maret 2022, nilai cadangan devisa Indonesia sebesar 139,12 miliar dollar AS.
Piter mengatakan, dengan berbagai indikator itu, faktor global bukan lagi hal utama yang menjadi bahan pertimbangan Bank Indonesia (BI) untuk mengatur tingkat suku bunga acuan. Kini, BI bisa lebih fokus melihat indikator dalam negeri, yakni tingkat inflasi.
Ia menjelaskan, berbagai kenaikan harga, seperti bahan bakar minyak (BBM) dan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai awal April ditambah periode bulan puasa yang secara historis mendongkrak kenaikan harga akan mendorong inflasi. Tingkat inflasi yang terus merambat naik ini, menurut dia, akan mendorong BI cepat atau lambat menaikkan tingkat suku bunga acuan.
”Sampai akhir tahun, saya memperkirakan tingkat suku bunga acuan BI adalah sebesar 4–4,25 persen. Akan ada kenaikan sekitar 50-75 basis poins atau 0,5–0,75 persen,” ujar Piter.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, berpendapat, BI tidak perlu ikut terburu-buru menaikkan suku bunga acuannya mengikuti kenaikan suku bunga The Fed. Faisal memperkirakan, BI akan menaikkan suku bunga acuan pada semester II-2022.
”BI masih memiliki ruang bagi suku bunga acuan BI untuk tetap di 3,50 persen selama beberapa waktu ke depan,” ujar Faisal.
Faisal mengungkapkan, ruang bagi BI untuk mempertahankan suku bunga rendah seperti ini seiring dengan kondisi neraca transaksi berjalan yang mendukung sehingga bank sentral tetap bisa menjaga pergerakan nilai tukar rupiah di level fundamentalnya.
Menurut dia, neraca transaksi berjalan yang cukup solid tersebut berkat kinerja ekspor yang bagus seiring melonjaknya harga komoditas-komoditas andalan ekspor Indonesia seperti batubara, karet, dan minyak sawit mentah.
Langkah BI menaikkan suku bunga sebaiknya tidak melihat kondisi eksternal, melainkan kondisi inflasi di dalam negeri. Menurut Faisal, inflasi yang mengindikasikan terjadinya pemanasan ekonomi di dalam negeri diperkirakan baru akan terjadi pada paruh kedua tahun ini. Ia memperkirakan suku bunga acuan BI akan meningkat beberapa kali dengan total 75 basis poins atau 0,75 persen. Dengan demikian, suku bunga acuan pada akhir tahun 2022 akan berada di level 4,25 persen.