Berdayakan Petani Sawit, Tata Kelola Industri Sawit Perlu Pembenahan
Presiden, juga para menteri, beberapa kali menyampaikan larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya demi tersedianya minyak goreng curah, sesuai HET. Rakyat jadi prioritas. Namun, petani pun perlu diperhatikan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F27%2Fc8dea698-338d-4249-8d77-8af43e60d981_jpg.jpg)
Petani mengumpulkan kelapa sawit yang telah dipetik di salah satu perkebunan kelapa sawit Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, beberapa waktu lalu.
Pasokan tersedia secara merata dan dijual dengan harga terjangkau. Demikian target yang diusung pemerintah dalam mengintervensi minyak goreng di tengah lonjakan harga minyak sawit mentah atau CPO internasional. Namun, memasuki Mei 2022, hal itu belum juga tercapai. Yang ada, di tingkat hulu, kini justru petani sawit terdampak.
Sejak Januari 2022, gonta-ganti kebijakan dilakukan Kementerian Perdagangan dalam rangka menstabilkan stok dan harga minyak goreng dalam negeri. Di antaranya minyak goreng bersubsidi, minyak goreng satu harga, kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) CPO dan olein yang disertai harga eceran tertinggi (HET).
Masalah tak kunjung teratasi, pemerintah mengerucutkan intervensi pada minyak goreng curah dengan skema subsidi. HET ditetapkan Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram (kg). Sistem informasi di bawah Kementerian Perindustrian pun dibangun. Adapun HET minyak goreng kemasan dilepas ke mekanisme pasar, yang membuat pasokan yang tadinya langka, seketika ”banjir”.
Di tengah upaya penyediaan minyak goreng curah terjangkau, situasi kembali riuh. Pada Jumat (22/4/2022), Presiden Joko Widodo mengumumkan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang akan berlaku mulai Kamis (28/4/2022). Namun, pengumuman itu tanpa penjelasan rinci produk mana yang dilarang diekspor.
Baca juga: Kemelut Petani Sawit Menyambut Hari Raya

Situasi yang serba tak pasti memicu gejolak di tingkat petani sawit. Harga tandan buah segar (TBS), di berbagai sentra perkebunan sawit di Indonesia, anjlok hingga 60 persen. Di Kalimantan Timur, misalnya, harga TBS, khususnya pada petani swadaya, jatuh dari semula Rp 3.100 per kg menjadi kisaran Rp 1.600 per kg (Kompas.id, 27/4/2022).
Hingga Selasa (26/4/2022) sore, pemerintah belum juga mengumumkan rincian pelarangan ekspor. Di tengah suasana serba spekulatif, pada Senin (25/4/2022), pemerintah pusat menyurati 21 gubernur provinsi penghasil sawit untuk mengirim surat edaran kepada bupati/wali kota sentra-sentra sawit guna memastikan tidak ada penetapan harga sepihak oleh pabrik sawit.
Barulah pada Selasa (26/4/2022) malam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan hanya refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang dilarang ekspor. Namun, keesokan harinya, Rabu (27/4/2022), kebijakan diralat. Yang dilarang diekspor ialah CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, dan minyak jelantah, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, dalam keterangannya, Kamis (28/4/2022), mengatakan, kebijakan itu akan memberikan dampak bagi para petani sawit skala kecil, yang mengelola kurang dari 4 hektar. Mereka juga tidak memiliki sumber pendapatan lain selain harga komoditas kelapa sawit.
Mereka pun tidak terhubung dengan pabrik pengolahan kelapa sawit. ”Setiap hari menjual ke tengkulak atau pengumpul buah sawit. Sejak dulu, selalu ada perbedaan sekitar 20 persen bagi mereka, dari harga penetapan harga sawit,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F04%2F29%2F44944225-f6c7-404a-9bb3-7c2290b610b6_jpg.jpg)
Pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021).
Jangka panjang
Menurut Mansuetus Darto, yang utama adalah soal pembenahan tata kelola industri sawit untuk jangka panjang. Sejumlah hal yang disorotinya antara lain persaingan usaha tak sehat, penguasaan rantai pasok hulu-hilir yang menyingkirkan koperasi dan pelibatan petani sawit, serta pengaturan harga sepihak yang merugikan petani sawit.
Yang juga perlu didorong saat ini adalah pendataan petani sawit yang real (nama, alamat, dan luas lahan) guna memastikan perlindungan petani kecil yang terdampak gejolak harga sawit. ”Semestinya program BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dapat digunakan untuk ini, tetapi (selama ini) hanya sibuk urus alokasi dana untuk biodiesel,” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, rata-rata penurunan harga TBS sejak pengumuman pertama larangan ekspor mencapai 30-70 persen dari yang tertulis di kertas kesepakatan. Ia pun menuntut penegakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Pekebun.
Anjloknya harga TBS kembali menjadi entakan bagi para petani sawit. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan mereka juga menuntut keberpihakan pemerintah. Gulat menuturkan, selama ini, program peremajaan sawit rakyat (PSR) lambat. Salah satunya karena petani yang mengajukan tak bisa ikut lantaran ada dalam kawasan hutan.
Baca juga: Larangan Ekspor RBD, Petani dan Pengusaha Sawit di Kaltim Terdampak
Sejumlah petani juga berharap dana yang diberikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dinaikkan menjadi Rp 60 juta per hektar dari saat ini Rp 30 juta per hektar. ”Kami iri dengan biodiesel (B30) yang dialokasikan Rp 51 triliun, sedangkan untuk kami Rp 3 triliun. Apabila petani diberi Rp 60 juta per hektar, kami yakin tidak akan rugi,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiono, dalam rapat dengan Komisi IV DPR RI, di Jakarta, Kamis (24/3/2022).
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Akmal Pasluddin, meminta BPDPKS dan Ditjen Perkebunan Kementan memprioritaskan perkebunan sawit yang dikelola rakyat. Dari data Kementan yang diterima DPR, realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2021 hanya 15,41 persen dari target 180.000 hektar.
”Tahun 2022 merupakan tahun terakhir pencapaian target 540.000 hektar. Hingga 24 Februari 2022, realisasi PSR baru 1.199 hektar atau 0,67 persen. Ini menunjukkan lambatnya perjalanan PSR. Saya ingin penjelasan (pemerintah) bagaimana mempercepat peremajaan sawit rakyat ini sehingga mencapai target, mengingat total kebun rakyat yang ditanam sawit hampir setara dengan areal tanam perusahaan besar swasta,” katanya dikutip dari situs DPR RI, Kamis (14/4/2022).
Perlu diserap
Dalam Analisis Ekonomi oleh Mohammad D Revindo dan Cania A Sinaga dari Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB UI) pada April 2022 disebutkan bahwa potensi dampak pada TBS menjadi salah satu tantangan terkait kebijakan larangan ekspor.
Jumlah produksi CPO nasional pada 2021 adalah 46,88 juta ton, sedangkan yang digunakan untuk kepentingan domestik hanya 18,42 juta ton. Mengingat struktur industri CPO berbentuk oligopolistik dan daya tawar korporasi lebih kuat daripada petani, maka sebagian besar efek dari menurunnya penjualan CPO akan dibebankan kepada petani.
Merujuk data Apkasindo, potensi hilangnya pendapatan petani sawit akibat anjloknya harga TBS, hingga 25 April 2022, sudah mencapai Rp 11,7 triliun. ”Dengan demikian, perlu ada mekanisme tertentu agar TBS petani tetap terserap dengan harga yang layak,” tulis laporan tersebut.
Disampaikan juga bahwa kebijakan stabilisasi pasokan minyak goreng saat ini lebih cenderung bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah dinilai perlu menerapkan beberapa kebijakan strategis lain agar tujuan lain pelarangan ekspor, yakni hilirisasi produk olahan sawit, dapat tercapai.
Menurut Dekan Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Tinjung Mary Prihtanti, Minggu (1/5/2022), pemerintah belum tegas dan berani dalam mengatasi struktur pasar oligopoli dalam industri kelapa sawit. Kelompok pedagang besar sejak dulu telah mendominasi perdagangan CPO serta mengintegrasikan diri secara vertikal. Mulai dari pemasaran produk hingga di industri pengolahan, bahkan sampai ke perkebunannya.
Ia pun mendorong pemerintah turun tangan sejak di hulu, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas petani sebagai pelaku pengelola kebun sawit yang utama agar produktivitas dan kualitas terjaga. Juga perlu memberikan akses lahan yang cukup bagi petani serta insentif berupa harga dasar bagi sawit yang dihasilkan dari perkebunan rakyat.
”Petani rakyat merupakan populasi yang beragam sehingga jika mau mengintervensi, perlu ada pendekatan yang lebih terencana sesuai kondisi petani sawit di hulu. Kebijakan menambah peran BUMN bisa menjadi alternatif dalam mengurangi struktur oligopolistik dalam industri kelapa sawit,” ujar Tinjung.
Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng bakal menekan TBS petani.
Apabila berkepanjangan, hal tersebut tak akan baik bagi industri sawit nasional. ”Apalagi, kebijakan ini diambil di tengah kondisi banyaknya kebun rakyat yang perlu diremajakan. Jika petani tertekan lalu enggan menanam sawit dan memilih menanam komoditas lain, akan berdampak untuk 5-10 tahun mendatang,” ujarnya.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi, dalam keterangannya, menuturkan, pihaknya terus berkomunikasi dengan petani kelapa sawit untuk menyampaikan situasi terbaru pascakebijakan pelarangan ekspor CPO. ”Serta mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi dampaknya bagi petani kelapa sawit,” katanya.
Ia juga menuturkan, pelarangan total ekspor CPO dan turunannya, jika berkepanjangan, akan menimbulkan dampak negatif. Tak hanya merugikan perusahaan perkebunan, refinery dan pengemasan, tetapi juga jutaan pekebun sawit kecil dan rakyat.
Presiden, juga para menteri, beberapa kali menyampaikan bahwa larangan sementara ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya bertujuan demi tersedianya minyak goreng curah yang merata serta sesuai HET. Rakyat menjadi prioritas. Namun, jangan sampai dampaknya justru menekan rakyat lainnya, yakni para petani sawit dan keluarganya.