Mendambakan Dunia Kerja Bebas Eksploitasi
Konvensi ILO 190 secara spesifik mengatur perlindungan pekerja, mulai dari rumah, di tempat kerja, hingga kembali lagi ke rumah. Ratifikasi dibutuhkan karena tempat kerja masih dibayangi risiko kekerasan dan eksploitasi.

Ilustrasi Perempuan Buruh
Lebih dari dua tahun berlalu sejak Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja disahkan. Namun, Indonesia tak kunjung meratifikasi perjanjian tersebut. Sementara itu, pekerja, umumnya perempuan buruh, terus menghadapi beragam bentuk eksploitasi, diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan di dunia kerja.
Seseorang menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di tempat kerja, menuju tempat kerja, atau pulang dari tempat kerja. Penulis Jessica Pryce-Jones dalam bukunya Happiness at Work mengalkulasi bahwa seseorang dapat menghabiskan rata-rata 90.000 jam untuk bekerja selama hidup, atau sekitar sepertiga hidupnya.
Terkait itu, bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) pada Minggu (1/5/2022) lalu, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang terdiri dari 25 organisasi serikat buruh dan kelompok masyarakat sipil kembali menyuarakan pentingnya pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 190 yang telah disahkan sejak 21 Juni 2019.
Baca juga: Buruh Perempuan Menanggung Beban Ganda
Ratifikasi ini mendesak dibutuhkan karena tempat kerja, di mana pekerja menghabiskan sebagian besar waktunya, masih dibayangi risiko kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan terhadap buruh, khususnya perempuan buruh.
”Ratifikasi ini mendesak dibutuhkan karena tempat kerja, di mana pekerja menghabiskan sebagian besar waktunya, masih dibayangi risiko kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan terhadap buruh, khususnya perempuan buruh,” kata Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan perwakilan aliansi Dian Septi Trisnanti, Selasa (3/5/2022).
Konvensi ILO 190 secara spesifik mengatur tentang perlindungan pekerja, mulai dari rumah, di tempat kerja, hingga kembali lagi ke rumah. Pada dasarnya konvensi ini ditujukan untuk melindungi semua buruh dari risiko kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi, tetapi secara khusus terfokus pada isu kekerasan berbasis jender di dunia kerja.

Sejumlah perempuan buruh menyortir biji kopi kering jenis robusta di gudang pengolahan kopi di kawasan Way Laga, Bandar Lampung, Lampung. Upah menyortir kopi saat ini Rp 1.000 per kilogram. Foto diambil tahun 2018.
Perjanjian itu dapat menjadi landasan kerangka regulasi penghapusan kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Cakupan yang diatur mulai dari langkah pencegahan, mekanisme pelaporan, penegakan hukum, dukungan kepada korban dan penyintas, hingga kewajiban bagi pemberi kerja atau perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang bebas eksploitasi dan kekerasan.
Pekerja yang dilindungi pun tidak sebatas pekerja formal dengan status kerja tetap, tetapi semua pekerja, dari yang berstatus kontrak, alih daya, sampai pekerja magang dan informal. Pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja lepas/freelanceyang selama ini tak tersentuh hukum ketenagakerjaan juga tidak luput dari cakupan perlindungan.
Menurut Dian, upaya mendorong ratifikasi Konvensi ILO 190 sudah dilakukan sejak lama. Aliansi sudah menyusun naskah akademik, melakukan kampanye, aksi dan pertemuan dengan pemerintah, DPR, dan pengusaha, tetapi gayung belum bersambut. ”Pemerintah belum menunjukkan keseriusan untuk menganalisis, apalagi meratifikasinya, sementara kekerasan di dunia kerja terus terjadi,” kata Dian.
Terus terjadi
Sementara itu, berdasarkan kajian dan riset aliansi terhadap perempuan pekerja di sejumlah sektor, kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi di dunia kerja masih sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Di industri manufaktur/garmen, selama pandemi, perempuan pekerja garmen mengalami pemotongan upah berdalih no work no pay dengan tambahan jam kerja yang semakin panjang.
Baca juga: Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan Mendorong Produktivitas
Asia Floor Wage Alliance (AFWA), organisasi buruh yang mengadvokasi upah layak bagi buruh garmen, mencatat, selama pandemi, 21 persen pekerja garmen mengalami pemotongan atau pencurian upah yang berakibat pada menurunnya upah hingga 37 persen dan jatuhnya daya beli pekerja selama pandemi.

Infografik riset kekerasan terhadap perempuan
Sementara, riset oleh Serikat Sindikasi dan Indonesian Cinematographers Society di tahun 2022 mencatat adanya eksploitasi kerja terhadap pekerja film. Pekerja film masih dituntut bekerja 16-20 jam dalam satu hari syuting. Dengan jam kerja yang panjang itu, kesehatan fisik dan mental pekerja terancam. ”Bekerja 16-20 jam ini dianggap lazim, sudah berlangsung lama, dan terus-terusan dinormalisasi,” kata Dian.
Kondisi bekerja yang buruk juga dirasakan perempuan jurnalis. Survei upah layak oleh Aliansi Jurnalis Independen Jakarta pada tahun 2021 masih menemukan perempuan jurnalis yang diupah lebih rendah dibandingkan laki-laki jurnalis. Survei lain oleh lembaga PR2Media pada tahun 2021 juga mengungkap sebanyak 85,7 persen perempuan jurnalis pernah mengalami kekerasan fisik, seksual, psikis, dan kekerasan digital.
Fleksibilitas pasar kerja yang diperburuk oleh dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian serta kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ikut memperburuk kondisi bekerja. Informalisasi dunia kerja semakin tinggi dengan maraknya sistem kontrak danoutsourcing(mempekerjakan buruh alih daya).
Buruh pun bekerja di tengah situasi yang penuh ketidakpastian dan minim perlindungan. ”Dengan dalih efisiensi, buruh yang awalnya berstatus tetap bisa dijadikan kontrak, outsourcing, bahkan magang,” ujarnya.
Koalisi Buruh Sawit juga menyoroti masih maraknya eksploitasi terhadap buruh harian lepas di perkebunan sawit, khususnya perempuan buruh. Semasa Lebaran ini, misalnya, status hubungan kerja yang tidak permanen itu dijadikan alasan sejumlah perusahaan tidak memberikan THR bagi para buruh harian lepas. Hal ini terpantau terjadi di Kalimantan Tengah, Bengkulu, dan Kalimantan Utara.

Kumpulan massa dari berbagai serikat buruh dan mahasiswa berorasi di samping Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Rabu (1/5/2019), untuk memperingati Hari Buruh Internasional 2019. Mereka menuntut penghapusan PP No 78 Tahun 2015.
Buruh harian lepas bekerja setara dengan buruh tetap untuk kepentingan perusahaan, tetapi mereka tidak menerima THR sebagaimana ketentuan pemerintah. ”Mereka hanya diberi bingkisan ala kadarnya saja berisi sirup, roti kaleng, gula, teh, yang nominalnya tidak lebih dari Rp 300.000,” kata spesialis perburuhan Sawit Watch, Zidane.
Semua pihak diuntungkan
Dian mengatakan, dengan meratifikasi Konvensi ILO 190, semua pihak akan diuntungkan. Pemerintah akan dipandang baik di mata internasional karena memiliki kebijakan penghapusan kekerasan kerja, perempuan pekerja ataupun laki-laki akan lebih terlindungi karena memiliki landasan hukum perlindungan, dan pengusaha juga akan terbantu dengan terciptanya suasana kondusif di tempat kerja.
”Kami harap pengusaha bisa ikut mendukung ratifikasi ini, karena bagi pemberi kerja, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tentu akan berdampak negatif terhadap reputasi perusahaan dan produktivitas kerja,” kata Dian.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan dan melindungi pekerja perempuan. Hal itu antara lain mengadakan Gerakan Nasional Non-diskriminasi di Tempat Kerja melalui pembuatan sistem perlindungan berbasis IT, penyusunan pedoman pencegahan pelecehan seksual, serta penyusunan panduan kesetaraan di tempat kerja.
”Komitmen perusahaan juga ikut didorong dengan harus mencantumkan kesepakatan nondiskriminasi bagi pekerja ke dalam peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB),” katanya.
Pada momen Hari Buruh Internasional, Ida pun mengajak serikat pekerja dan pengusaha mengubah cara pandang terhadap hubungan industrial yang selama ini sarat konflik menjadi lebih dialogis dan kondusif. Saat ini, ujarnya, pemerintah sedang menyusun konsepsi hubungan industrial ”Pancasila” agar sesuai dengan kondisi hubungan kerja di era industri 4.0.
”Dukungan dari semua pihak, terutama buruh dan pengusaha, dibutuhkan dalam proses penyusunan. Supaya kita bisa menghasilkan konsep hubungan industrial yang harmonis, mendukung kesejahteraan, dan produktivitas,” kata Ida.
Baca juga: Berantai, Dampak Kekerasan di Dunia Kerja