Perusahaan Teknologi Tak Perlu Ragu Melantai di Bursa Saham
Meski tren penurunan harga saham sejumlah perusahaan teknologi masih terjadi, ekonomi digital tetap menjadi sektor industri yang dinilai punya prospek cerah jangka panjang.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih terjadi tren penurunan harga saham sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi nasional di Bursa Efek Indonesia. Meski demikian, kondisi ini seharusnya tidak menghentikan langkah perusahaan teknologi lainnya yang telah berencana melakukan penawaran saham perdana. Mereka tetap dapat mengembangkan produk dan layanan digital yang akan selalu dibutuhkan warga jangka panjang.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (26/4/2022), agen stabilisasi saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo), PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, menyatakan, saham jatah greenshoe sudah terpakai 98,76 persen. Skema greenshoe merupakan upaya untuk menstabilkan harga saham agar tidak berada di bawah harga perdananya. GoTo resmi tercatat sebagai perusahaan publik pada 11 April 2022.
Pada Selasa (26/4/2022), PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia telah membeli 16.817.200 saham GoTo pada harga rata-rata Rp 310 per lembar saham. Jumlah akumulasi saham GoTo yang telah dibeli 6.016.827.200 atau 98,76 persen jatah saham greenshoe.
Adapun total alokasi greenshoe adalah 6.092.258.400 saham. Nilai akumulasi saham yang telah dibeli hingga tanggal pelaporan, Selasa (26/4/2022), kata Direktur PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia Sugiharto Widjaja, sebesar Rp 2.027.208.461.800.
Harga saham GoTo pada perdagangan Rabu (27/4/2022) ditutup melemah 6,45 persen menuju Rp 290 per lembar saham. Harga saham ini di bawah harga penawaran umum saham perdana telah ditetapkan GoTo, yaitu Rp 338 per lembar.
Sementara dari papan pengembangan Bursa Efek Indonesia, harga saham perusahaan teknologi metaverse PT WIR Asia Tbk (WIR Group) sempat menyentuh batas auto rejection bawah (ARB) 7 persen sebanyak empat kali sejak pekan lalu. Terkait harga saham PT Bukalapak.com Tbk, pada penutupan perdagangan Rabu (27/4/2022), harga sahamnya Rp 372 per lembar saham, naik 2,2 persen dari perdagangan sebelumnya, yaitu Rp 362 per lembar saham.
Menanggapi kondisi pergerakan saham GoTo, analis pasar modal dari Nusantara Investama, Kuntho Priyambodo, memandang, apabila jatah saham greenshoe telah terpakai semuanya, agen stabilisasi saham GoTo tidak ada kewajiban menambah pembelian saham GoTo. Selanjutnya, pergerakan harga saham GoTo dan volume yang terdistribusi dilepaskan kepada mekanisme pasar.
”Turunnya harga saham perusahaan teknologi yang besar memang akan memberikan sentimen negatif ke pasar. Namun, kondisi ini seharusnya tidak menghalangi perusahaan rintisan bidang teknologi lainnya yang telah berencana melantai di bursa saham,” ujar Kuntho saat dihubungi Rabu.
Secara terpisah, Co-Founder Jarvis Asset Management Kartika Sutandi berpendapat, situasi makro perekonomian global sebenarnya tidak mendukung perusahaan rintisan bidang teknologi atau start up yang sudah atau akan melantai di bursa saham. Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dikabarkan menaikkan suku bunga, lalu harga komoditas masih tinggi.
”Kebanyakan perusahaan rintisan bidang teknologi belum untung. Mereka yang sudah tercatat sebagai perusahaan publik di bursa efek juga demikian. Dengan adanya situasi makro perekonomian global seperti sekarang, harga saham mereka akan jatuh,” ujarnya.
Menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David E Sumual, harga saham perusahaan teknologi di tingkat global masih ada kecenderungan turun. Sensasi (hype) harga tinggi saham perusahaan teknologi telah terjadi pada awal pandemi Covid-19. Investor cenderung melirik ke harga saham sektor lain, seperti komoditas.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada investor yang tidak memercayai perusahaan teknologi. Sebab, bagaimanapun, dia menilai, teknologi digital merupakan sektor industri digital masa depan. Dia meyakini masih ada berbagai peluang inovasi digarap menjadi bisnis jangka panjang. Metaverse yang sekarang sedang jadi sensasi bisa jadi akan tumbuh menjadi industri yang matang lima-sepuluh tahun lagi.
Di tingkat Indonesia, David menganggap, ekonomi digital baru mulai tumbuh. Warga terbiasa bertransaksi jual-beli barang/jasa beberapa tahun terakhir. Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan kebiasaan itu semakin terakselerasi. Jika pandemi usai, warga yang sebelumnya sudah nyaman berbelanja daring juga akan tetap melakukannya.
”Situasi sekarang (harga saham teknologi yang turun) semestinya menjadi momen bagi perusahaan rintisan bidang teknologi yang akan ataupun sudah tercatat di bursa saham, tetapi belum profit, untuk mengembangkan produk/model bisnis yang bisa mendatangkan untung. Meniadakan aksi ’bakar uang’ (dana modal untuk pemasaran) harus dilanjutkan. Mereka juga tetap harus cermat juga mengatur biaya operasional, seperti investasi teknologi dan ekspansi,” ujarnya.