Visi kemaritiman yang digaungkan pemerintah tahun 2014 dinilai semakin redup dan tenggelam. Sejumlah pihak berharap pengembangan sektor kemaritiman diperkuat agar menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan Indonesia.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Visi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dinilai seolah kian tenggelam. Padahal, peluang pemanfaatan potensi ekonomi kemaritiman Indonesia masih terbuka lebar.
Indonesia memiliki 11 sektor ekonomi kelautan, yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi, dan sumber daya mineral. Selain itu, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, hutan pantai, sumber daya wilayah pulau kecil, dan sumber daya nonkonvensional. Potensi nilai ekonomi sektor ekonomi kelautan itu ditaksir mencapai 1,4 triliun dollar AS.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Arif Satria mengemukakan, pemerintah telah memiliki visi besar menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun, visi kemaritiman yang begitu digaungkan pemerintah pada tahun 2014 kini seolah terbenam. Pihaknya berharap kemaritiman yang menjadi perhatian besar pemerintah di era Presiden Joko Widodo agar diperkuat dan tidak justru menjadi beban.
”Kemaritiman begitu menggaung pada 2014, tetapi sekarang seperti tenggelam lagi. Kami berharap perhatian besar kepada kemaritiman terus diperkuat dengan ilmu pengetahuan dan pendekatan inovatif sehingga sektor kemaritiman menjadi sumber kemakmuran, maju, dan berkeadilan,” kata Arif Satria yang juga Rektor IPB University dalam Webinar Ramadhan ICMI: Reorientasi Indonesia menuju Negeri Maritim, Indonesia Emas 2045, Rabu (27/4/2022).
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Rokhmin Dahuri mengemukakan, sektor kemaritiman sangat potesial menjadi keunggulan kompetitif dan penggerak perekonomian. Potensi pembangunan ekonomi kemaritiman mencapai 1,4 triliun dollar AS per tahun atau setara 7 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Sektor itu juga mampu menyerap lapangan kerja sekitar 45 juta orang atau sepertiga angkatan kerja RI.
Dari potensi besar itu, lanjut Rokhmin, hingga saat ini baru dimanfaatkan 15 persen. Pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan terhadap produk domestik bruto nasional hanya 10,4 persen. Adapun negara-negara lain dengan potensi kelautan, seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan Norwegia, kontribusi ekonomi kelautan sudah lebih dari 30 persen.
Rokhmin mengutip hasil riset McKinsey yang memproyeksikan sektor pertanian dan perikanan akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi utama pada tahun 2030. Sektor pertanian dan perikanan rata-rata tumbuh 6 persen selama tahun 2010 sampai 2030. Adapun peluang pasar pertanian dan perikanan diproyeksikan sekitar 450 miliar dollar AS atau kedua setelah barang konsumsi senilai 1.070 miliar dollar AS.
”Ruang bagi ekonomi kelautan masih terbuka lebar. Seiring dengan jumlah penduduk dunia yang bertambah, sedangkan sumber daya alam serta jasa lingkungan di wilayah darat semakin menipis, kebutuhan terhadap sumber daya alam dan jasa lingkungan dari wilayah pesisir dan lautan akan semakin meningkat,” ujarnya.
Permodalan
Rokhmin menambahkan, tantangan pengembangan ekonomi kemaritiman Indonesia, antara lain, skala bisnis yang masih mikro dan kecil. Dia mencontohkan, sebagian besar usaha kelautan dan perikanan bersifat tradisional, banyak yang tidak mematuhi standar keahlian sehingga hasil dan keuntungannya rendah.
Di subsektor perikanan tangkap, misalnya, dari total 936.249 kapal perikanan, jumlah kapal ikan besar (berukuran di atas 30 gros ton) hanya 1,36 persen. Di subsektor perikanan budidaya, luas tambak udang modern atau intensif dan superintensif hanya 4,4 persen dari total luas tambak udang di Indonesia mencapai 679.448 ha.
Ia menilai, pemerintah perlu mendorong keberpihakan terhadap akses permodalan dengan biaya dana murah. Saat ini suku bunga kredit masih sangat tinggi rata-rata 9,5 persen. Kondisi itu jauh di atas negara-negara tetangga, seperti Vietnam dengan bunga kredit 7,6 persen, Filipina 7,1 persen, Singapura 5,3 persen, dan Thailand 3,3 persen. Akibatnya, pelaku usaha sulit berkompetisi.
Sementara itu, pembiayaan untuk sektor kelautan dan perikanan dari perbankan juga masih rendah. Alokasi kredit untuk lapangan usaha perikanan pada tahun 2020 mencapai Rp 16,03 triliun atau 0,41 persen terhadap total kredit. Penyaluran terbesar pun cenderung pada usaha perdagangan.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP-KKP) Artati Widiarti mengklaim upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendorong penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mulai membuahkan hasil.
Pada triwulan I-2022, misalnya, realisasi KUR sektor kelautan dan perikanan Rp 2,46 triliun atau meningkat 35,71 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang Rp 1,81 triliun. Dari sisi nilai, penerima KUR di triwulan I-2022 juga meningkat 14,14 persen secara tahunan, yakni dari 53.460 debitur menjadi 61.019 debitur.
”Semakin banyak pelaku usaha yang mengakses pembiayaan dari negara. Ini menunjukkan kehadiran negara dalam menjaga dan meningkatkan daya saing UMKM perikanan di masa pandemi," ujar Artati dalam keterangan tertulis.
Berdasarkan bidang usaha, penyaluran KUR terbesar pada usaha perikanan budidaya sebesar Rp 871,38 miliar, usaha pengolahan dan pemasaran sebesar Rp 870,99 miliar, dan usaha penangkapan sebesar Rp 547,56 miliar. Sebaran penyaluran KUR didominasi Provinsi Jawa Tengah, yakni sebesar Rp 362,3 miliar, Jawa Timur Rp 354,8 miliar, Sulawesi Selatan Rp 239,4 miliar, dan Jawa Barat Rp 230,9 miliar.
Artati menambahkan, dari skema KUR yang disalurkan, sebanyak 85,1 persen mengakses kredit dengan plafon maksimal Rp100 juta, dan sisanya sebanyak 14,9 persen mengakses kredit dengan plafon maksimal Rp 500 juta.