Investasi Semakin Berimbang, Efek Penggandanya Dinanti
Kendati realisasi investasi kini lebih berimbang, masih ada pekerjaan rumah penting untuk mendorong investasi berkualitas yang berdampak pada kesejahteraan perekonomian di daerah.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja investasi pada triwulan I-2022 menunjukkan perbaikan signifikan. Selain realisasi investasi yang tumbuh hingga 28,5 persen secara tahunan, pemerataan investasi juga tampak semakin berimbang antara daerah Jawa-luar Jawa serta sektor tersier dan sekunder. Walakin, efek pengganda dari investasi yang besar itu terhadap kesejahteraan masyarakat masih dinanti.
Kementerian Investasi mencatat, realisasi investasi triwulan I-2022 mencapai Rp 282,4 triliun, tumbuh 28,5 persen secara tahunan dan 16,9 persen secara triwulanan. Capaian itu merupakan rekor pertumbuhan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Dibandingkan total target investasi sepanjang tahun 2022 yang dipatok Rp 1.200 triliun, capaian pada triwulan I tahun ini sudah mencapai 23,5 persen.
Sepanjang periode tersebut, pemerataan investasi antara daerah Jawa dan luar Jawa tampak semakin berimbang. Investasi di luar Jawa tercatat Rp 148,7 triliun atau mencakup 52,7 persen dari total investasi (naik 30 persen secara tahunan). Sementara, investasi di Jawa mencapai Rp 133,7 triliun atau 47,3 persen dari total investasi (naik 26,9 persen secara tahunan).
Berdasarkan lokasinya, investasi paling banyak tersebar di DKI Jakarta senilai Rp 40,4 triliun (14,3 persen), Jawa Barat Rp 39,5 triliun (14 persen), Riau Rp 23,7 triliun (8,4 persen), Jawa Timur Rp 23,6 triliun (8,4 persen), dan Sulawesi Tengah Rp 20 triliun (7,1 persen). Peta investasi perlahan mulai bergeser, dari yang beberapa tahun terakhir ini lebih banyak terpusat di Jawa, menuju ke luar Jawa.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Rabu (27/4/2022), di Jakarta, mengatakan, sejak triwulan III tahun 2020, realisasi investasi semakin stabil menyebar merata ke luar Jawa. ”Ini yang diharapkan bahwa dalam rangka membangun Indonesia, kita tidak bisa hanya berpatok pada satu wilayah saja. Tidak ada artinya investasi yang besar, tetapi tidak tersebar,” katanya dalam konferensi pers daring.
Investasi yang masuk pada triwulan I-2022 juga mulai tampak berimbang dari segi sektor. Jika selama ini investor lebih tertarik menanamkan modalnya di sektor tersier (jasa/padat modal), kali ini komposisinya semakin berimbang antara investasi di sektor tersier dengan sekunder (manufaktur/padat karya) yang sifatnya menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Pada triwulan I-2022, komposisi investasi berdasarkan sektor terdiri dari sektor primer (19,3 persen), sekunder (36,7 persen), dan tersier (44 persen). Investasi sekunder paling banyak berasal dari penanaman modal asing (PMA). Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, komposisi investasi terdiri atas sektor primer (15,8 persen), sekunder (22,7 persen), dan tersier (61,5 persen).
Bahlil mengatakan, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mencatat investasi tertinggi senilai Rp 39,7 triliun pada triwulan I-2022. Itu menunjukkan geliat sektor manufaktur dan hilirisasi yang mulai bangkit di tengah kekhawatiran akan ancaman deindustrialisasi beberapa tahun terakhir ini. ”Dulu, di tahun 2019, sektor ini hanya masuk peringkat keempat, sekarang sudah menjadi sektor nomor satu,” katanya.
Ia pun meyakini target investasi yang ambisius dari Presiden Joko Widodo di tahun 2022 ini bisa tercapai. Hal itu terlihat dari kinerja investasi pada triwulan I yang tinggi meski kinerja investasi di awal tahun biasanya cenderung rendah. ”Kami yakin kinerja di triwulan II nanti akan jauh lebih tinggi, target Rp 1.200 triliun bisa tercapai,” ujar Bahlil.
Dinamika global belakangan ini dinilai tidak akan banyak berpengaruh pada kinerja investasi sepanjang tahun 2022. Dampak ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina, misalnya, tidak menjadi masalah karena kedua negara itu bukan negara investor utama Indonesia. Sebaliknya, kondisi itu bisa menjadi peluang untuk menampung potensi realokasi investasi dari negara-negara yang sedang bersitegang. ”Di dunia usaha, setiap ada kondisi rumit, di situ ada peluang yang harus dengan cerdik kita mainkan,” katanya.
Efek pengganda
Peneliti Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, menilai, pekerjaan rumah untuk mendorong investasi yang berkualitas masih banyak. Selain perlu mendorong investasi di kawasan luar Jawa lainnya, hal terpenting adalah menakar dampak pemerataan investasi itu ke sejumlah indikator kesejahteraan ekonomi di daerah.
Hal itu bisa terlihat dari dampak investasi terhadap tingkat inflasi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, serta indikator kondisi keuangan daerah yang tampak dari pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD).
Sebagai contoh, meski mencatat rapor hijau, capaian nilai investasi yang tinggi dan berimbang itu belum berdampak signifikan pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di beberapa daerah. Disandingkan dengan data Badan Pusat Statistik, sejumlah provinsi dengan realisasi investasi tertinggi masih mencatat tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi.
Meski mencatat rapor hijau, capaian nilai investasi yang tinggi dan mulai berimbang itu belum berdampak signifikan pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di beberapa daerah.
Jawa Barat sebagai provinsi dengan investasi tertinggi kedua dan selama tiga tahun terakhir ini selalu bertengger di lima besar tujuan investor, masih mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) kedua tertinggi nasional pada Agustus 2021, yaitu 9,82 persen. Sulawesi Tengah dengan investasi tertinggi kelima juga masih masuk dalam 10 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi pada September 2021.
”Jadi banyak indikator yang harus diperhatikan dalam jangka menengah-panjang, khususnya untuk investasi di sektor pertambangan dan pengolahan hasil tambang yang membutuhkan modal besar, yang multiplier effect-nya biasanya butuh waktu lama untuk dilihat,” katanya.
Terkait hal ini, Bahlil mengatakan, realisasi investasi dan penyerapan tenaga kerja masih menjadi tantangan yang terus diperbaiki ke depan. Strategi investasi akan didorong agar tidak sekadar mendahulukan teknologi atau modal, tetapi harus berbasis padat karya untuk menciptakan banyak lapangan kerja.
Upaya itu dilakukan sejalan dengan berbagai kebijakan larangan ekspor bahan mentah produk pertambangan, seperti larangan ekspor bijih nikel, batubara, serta larangan ekspor mineral mentah jenis timah, tembaga, dan bauksit yang saat ini sedang dikaji.
”Kita harus ciptakan nilai tambah, jangan menjual Tanah Air terus. Bisa dilihat sekarang sudahon the track meski tahun 2019 investasi kita masih lebih berat di sektor jasa, sekarang ini mulai banyak bergeser ke sektor manufaktur,” katanya.