Komersialisasi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Temui Tantangan
CCUS merupakan teknologi penangkapan karbon yang kemudian digunakan dan disimpan. Teknologi CCUS antara lain untuk dipasang di berbagai fasilitas, seperti pemrosesan gas, kilang minyak, dan pada PLTU.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCUS) potensial dikembangkan, meski terdapat sejumlah tantangan untuk dikomersialisasikan di sektor ketenagalistrikan. Salah satunya karena biayanya yang masih terlampau tinggi.
CCUS merupakan teknologi penangkapan karbon yang kemudian digunakan dan disimpan. Teknologi CCUS antara lain untuk dipasang di berbagai fasilitas, seperti pemrosesan gas, kilang minyak, dan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, saat ini masih banyak digunakan untuk mendorong peningkatan produksi minyak dan gas.
Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna dalam webinar “Membedah Nilai Keekonomian Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Sektor Energi” yang digelar Yayasan Indonesia Cerah dan IEEFA, Selasa (26/4/2022), mengatakan, belum ada titik terang terkait penurunan biaya pemanfaatan CCUS untuk pembangkitan listrik.
“Sebab, untuk satu proyek saja biayanya 1 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 10 triliun untuk PLTU (berkapasitas) 240 megawatt. Karena itu, orang agak berhati-hati dalam mengimplementasikan CCUS di pembangkitan listrik. Artinya, misal untuk PLTU berkapasitas 1 gigawatt, seperempatnya saja butuh Rp 10 triliun,” ujar Putra.
Putra menuturkan, IEEFA sudah mengikuti perkembangan teknologi tersebut lebih dari 10 tahun terakhir. Menurutnya, masih menjadi tanda tanya apakah teknologi ini bakal dapat dikomersialisasi. Kalaupun harga yang terjangkau nantinya dapat dicapai, teknologi energi terbarukan lain serta penyimpanan baterai, harganya juga sudah efisien.
Menurut Putra, perlu diingat juga bahwa PLTU dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) pun ada batasan usianya. “Semakin tua, akan ada tantangan-tantangan tersendiri. Namun, kami berharap itu tak dijadikan jalan untuk menunda-nunda keputusan penting. Namun, kita punya kesempatan untuk terus mempelajarinya, tetapi harus realistis,” katanya.
Negara-negara di Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan berpeluang untuk terus mempelajari aplikasi-aplikasi CCUS.
Putra menuturkan, negara-negara di Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan berpeluang untuk terus mempelajari aplikasi-aplikasi CCUS. Sebab, nantinya kemungkinan akan ada aplikasi untuk produk-produk karbon rendah, misalnya amonia. Adapun di negara lain, pendanaan publik memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan CCUS.
Manager ITB Centre of Exellence for CCS dan CCUS Muhammad Rachmat Sule menambahkan, sudah ada peta jalan terkait 10 proyek yang akan diimplementasikan teknologi CCUS sebelum 2030. Pada CCUS Gundih di Blora, Jawa Tengah, dan CCUS Tangguh di Papua Barat, misalnya, akan diterapkan mulai tahun 2026. Adapun CCS Sakakemang di Sumatera Selatan pada 2027.
Ada juga studi CCUS di Kalimantan Timur dan joint study amonia di Sulawesi Tengah. “Di sana (Sulteng), CO2 sudah tersedia, tinggal mencari tempat menyimpannya. Ini penting sekali di Indonesia karena ekspor amonia dalam waktu dekat akan dilarang kalau tidak dikurangi emisi gas rumah kacanya. Jadi, opsi utama ialah dengan CCUS,” kata Rachmat.
Sementara terkait CCUS untuk PLTU, lanjut Rachmat, pihaknya baru akan tanda tangan dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk studi yang levelnya masih terbilang awal. “Pada 2015 juga pernah studi (CCUS untuk PLTU) dibiayai Bank Dunia, yang kemudian keluar angkanya 70 dollar AS untuk injeksikan 1 ton CO2. Namun, seiring berjalan waktu, biaya tersebut akan berkurang. Sementara pada migas karena kita sudah mulai dari 2012,” kata dia.
Upaya dekarbonisasi
Koordinator Perlindungan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bayu Nugroho menambahkan, pemerintah telah menyusun rencana dekarbonisasi ke depan serta peta jalan emisi nol bersih (NZE) pada 2060. Teknologi CCUS pun menjadi salah satu pilihan alternatif yang penting. Apalagi, dengan banyaknya penduduk, konsumen listrik akan terus bertambah ke depan.
Indonesia sendiri memiliki storage sekitar 2,09 gigaton CO2 yang merupakan jumlah yang sangat besar. “Studi (CCUS) sudah dilakukan seperti di Gundih (Blora, Jawa Tengah). Nanti kami lihat bagaimana komersialnya ke depan. Kami coba pada 2026 sudah bisa operasi dan akan bisa menyerap 2-3 juta ton CO2 dalam 10 tahun ke depan,” ujar Bayu.
Bayu mengemukakan, dengan berbagai tantangannya, alternatif terbuka untuk terus dikembangkan, dalam rangka dekarbonisasi. Penerapan teknologi CCUS memiliki potensi antara lain di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
“Di sektor pembangkit, kami juga melihat potensi besar CCUS. (pemanfaatan) Batubara harus diimbangi dengan teknologi. Kami pun mulai menciptakan pembangkit yang ramah lingkungan untuk mengurangi CO2, serta adanya hilirisasi batubara. Ini harus kita awasi bersama agar nanti terimplementasi dengan baik serta memperhitungkan emisinya,” kata dia.