Aduan THR Terus Meningkat, Pemerintah Diminta Aktif Sikapi Laporan
Tujuh hari jelang Lebaran, Posko THR Kemenaker menerima 3.304 laporan seputar pembayaran THR. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, pelanggaran hak normatif pekerja seperti tunggakan pembayaran THR akan terus berulang.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Laporan seputar pembayaran tunjangan hari raya atau THR keagamaan mengalami tren meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah diminta lebih gesit dan proaktif menangani pengaduan yang masuk demi memastikan hak normatif pekerja terpenuhi. Selama ini, pelanggaran terus berulang karena pemerintah dinilai terlalu pasif dan tidak tegas terhadap perusahaan yang melanggar.
Tujuh hari menjelang Lebaran atau tenggat pembayaran THR keagamaan, jumlah laporan yang masuk ke Posko THR selama 8-25 April 2022 telah mencapai 3.304 laporan, terdiri dari 2.063 konsultasi THR dan 1.241 pengaduan THR. Laporan yang masuk berupa perhitungan THR yang tidak sesuai ketentuan, THR yang belum dibayarkan, serta THR yang tidak dibayarkan sama sekali.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, tahun lalu, pada periode 20 April-6 Mei 2021, Posko THR mencatat 1.569 laporan yang terdiri dari 607 konsultasi THR dan 899 pengaduan THR. Sementara, menjelang H-7 Lebaran tahun 2020, selama 11-18 Mei 2020, Posko THR menerima 735 laporan yang terdiri dari 313 konsultasi THR dan 422 pengaduan THR.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Senin (25/4/2022) mengatakan, belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas ketenagakerjaan di daerah seharusnya dapat merespons laporan yang masuk secara lebih proaktif.
Ia menyoroti langkah pemerintah yang memilih menindaklanjuti pengaduan setelah batas waktu pembayaran THR berakhir pada 25 April 2022. Menurutnya, respons itu terlalu pasif serta membuat pengawasan dan penegakan sanksi tidak efektif. Dengan menunggu sampai H-7 Lebaran, potensi pekerja tidak mendapat THR sebelum hari raya semakin besar.
Masa kerja pengawasan menjadi terlalu pendek karena terbentur cuti bersama dan hari libur Lebaran yang kembali berlaku. “Jangan sampai pengawas ketenagakerjaan berpikir bahwa laporan itu masih bisa ditindaklanjuti pasca hari raya. Maksimalkan fungsi pengawas ketenagakerjaan supaya pekerja mendapat THR sebelum hari raya,” kata Timboel.
Menurutnya, pemerintah seharusnya telah mengantongi data laporan pengaduan THR yang berulang kali dari tahun ke tahun. Dari pola tersebut, seharusnya Kemenaker dan disnaker bisa merespons dengan ‘menjemput bola’ untuk memastikan tidak ada pembayaran THR yang terkendala. “Sampai sekarang belum tampak ada terobosan sistemik atau strategi preventif untuk menangani problem THR,” ujarnya.
Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Jaweng mengatakan, sistem pengawasan ketenagakerjaan menghadapi tantangan besar dari segi kuantitas, kualitas, dan integritas. Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang kuat, berbagai problem ketenagakerjaan klasik seperti pembayaran THR akan terus berulang.
Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang kuat, berbagai problem ketenagakerjaan klasik seperti pembayaran THR akan terus berulang.
Hingga 2021, jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya 1.686 orang dan terpusat di ibukota provinsi. Sementara, idealnya, diperlukan sebanyak 6.000 pengawas yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah pengawas tersebut sangat timpang dibandingkan jumlah perusahaan yang terdaftar di Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) per tahun 2021, yaitu 343.000 perusahaan.
“Di sini letak krusialnya agar pengawasan diperkuat secara kuantitas, kualitas, dan juga integritas. Karena kalau lemah secara integritas, dia bisa dengan mudah berkongkalikong dengan pengusaha. Kami sudah suarakan kekhawatiran ini ke menteri ketenagakerjaan agar segera dicarikan solusi,” kata Robert.
Posisi tawar timpang
Hal penting lainnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah tidak menyerahkan nasib penentuan pembayaran THR pada dialog bipartit atau mekanisme internal perusahaan. Menurut Robert, hal tersebut hanya ‘indah’ di atas kertas, tetapi pelaksanaannya manipulatif. Pasalnya, posisi tawar dan relasi kuasa antara pekerja dan pengusaha pada kenyataannya timpang.
Seperti diketahui, dialog bipartit selama dua tahun terakhir ini menjadi solusi yang ditawarkan pemerintah dalam surat edaran THR untuk mencari jalan tengah antara pekerja dan pengusaha. “Jangan sedikit-sedikit dikembalikan ke mekanisme internal. Kalau itu dijadikan solusi, seperti halnya tahun-tahun lalu, ujung-ujungnya tindak lanjut penegakan aturan THR ini terus terbengkalai,” ujarnya.
Di sini letak krusialnya agar pengawasan diperkuat secara kuantitas, kualitas, dan juga integritas. Karena kalau lemah secara integritas, petugas bisa dengan mudah berkongkalikong dengan pengusaha.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Tim Substansi VI Ombudsman Ahmad Sobirin menambahkan, Ombudsman akan mengawasi pelaksanaan Posko THR yang dibuat pemerintah tahun ini. Masyarakat yang sudah mengadu tetapi tidak ditindaklanjuti pemerintah dapat melapor ke Ombudsman. “Kalau posko dianggap tidak menindaklanjuti pengaduan sesuai prosedur dan kalau terdapat dugaan maladministrasi, akan kami tindaklanjuti,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap mengatakan, pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah tindak lanjut atas konsultasi dan pengaduan yang masuk seputar THR. Pemerintah telah menempatkan petugas mediator hubungan industrial melalui kolom konsultasi daring di situs poskothr.kemnaker.go.id untuk melayani para pelapor yang hendak berkonsultasi.
Sementara, pengaduan akan ditindaklanjuti oleh petugas pengawas ketenagakerjaan dengan melakukan pemeriksaan ke perusahaan dan memastikan THR dibayar sesuai ketentuan. “Tentu pengaduan baru akan ditindaklanjuti setelah batas waktu pembayaran THR berakhir. Pengawas ketenagakerjaan dari pusat nantinya akan berkoordinasi dengan pengawas di daerah,” katanya.