Sekitar separuh dari responden perempuan di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai pengusaha. Ini tertinggi dibandingkan dengan 11 negara lain yang diteliti.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, saat membuka webinar ”Women in Digital Entrepreneurship”, Kamis (21/4/2022), mengatakan, tingkat partisipasi perempuan Indonesia dalam kewirausahaan adalah tertinggi di Asia Tenggara. Pernyataannya ini mengutip laporan riset Google yang bertajuk ”Advancing Women in Entrepreneurship” (November 2020).
Studi tersebut menyurvei secara daring 18.123 orang perempuan dan laki-laki di 12 negara. Selain Indonesia, 11 negara lainnya adalah Argentina, Brasil, Jepang, Kenya, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Afrika Selatan, Thailand, dan Vietnam. Mereka berasal dari beragam latar belakang pendidikan, profesi, dan lokasi geografis.
Dalam riset tersebut, sekitar separuh dari responden perempuan di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai pengusaha. Ini tertinggi dibanding 11 negara lain yang diteliti. Baik responden laki-laki maupun perempuan di Indonesia, semuanya menempatkan waktu berkualitas bersama keluarga di jajaran lima alasan teratas mengapa mereka mengejar atau tertarik menjadi wirausaha.
Kemauan kuat perempuan Indonesia menjadi wirausaha juga tecermin dalam Survei Populix bertajuk ”The Womenpreneurial Spirit in Indonesia” (2022). Sebanyak 35 persen dari 743 responden wirausaha perempuan beralasan menjadi pengusaha karena ingin membantu perekonomian keluarga. Sebanyak 67 persen di antaranya tetap ingin melanjutkan usaha. Mereka tidak segan memanfaatkan momen tertentu, seperti Ramadhan, untuk meningkatkan penjualan. Selain dari mulut ke mulut, 68 persen responden menyebut pernah memakai aplikasi pesan instan dan media sosial untuk promosi.
Literasi digital
Hanya, tidak banyak perempuan calon wirausaha percaya diri. Google, melalui studi Advancing Women in Entrepreneurship, menemukan, masih ada kesenjangan ketidakpercayaan diri yang lebar (10 persen) antara calon wirausaha perempuan dan laki-laki di Indonesia. Mereka umumnya takut gagal dan tidak yakin bagaimana berbisnis dengan teknologi digital. Sementara di kalangan perempuan yang sudah menjadi pengusaha, mereka mengakui salah satu hambatan terbesar adalah kurangnya keterampilan pemasaran, terutama pemasaran digital.
Di kalangan perempuan dari kelas menengah bawah, cerita perempuan terjun menjadi wirausaha dan memakai teknologi digital lebih kompleks lagi. Mulai dari keterbatasan kepemilikan perangkat sampai keterbatasan akses jaringan internet. Bagi rumah tangga miskin, kepemilikan gawai terletak pada suami dan anak sehingga perempuan (ibu) akan meminta pengajaran dari mereka.
Sementara di kalangan perempuan yang sudah menjadi pengusaha, mereka mengakui salah satu hambatan terbesar adalah kurangnya keterampilan pemasaran, terutama pemasaran digital.
Perjalanan kapabilitas digital wirausaha perempuan memang tidak linear. Pulse Lab Jakarta dan UN Women melalui studi Beyond Sticky Floors (2021) mengelompokkan empat perilaku wirausaha perempuan di Indonesia terhadap teknologi digital. Kelompok pertama, yaitu pencemas teknologi dan takut mengambil risiko ketika menggunakan teknologi digital. Kelompok kedua adalah tech novice. Wirausaha perempuan yang masuk kelompok kedua ini biasanya hanya mau menggunakan fitur-fitur teknologi yang sudah familiar.
Kemudian, kelompok ketiga adalah tech apprentice. Wirausaha perempuan yang tergolong kategori ini biasanya suka menjelajah fitur-fitur teknologi, tetapi masih tergantung dengan fasilitatornya. Adapun kelompok keempat, yaitu praktisi teknologi. Wirausaha perempuan yang termasuk kategori praktisi teknologi berarti sudah percaya diri menggunakan teknologi dan pandai memecahkan masalah secara mandiri.
Apabila Indonesia mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam wirausaha sampai 25 persen pada 2025, Bank Dunia memperkirakan, produk domestik bruto bisa naik hingga 2,8 persen. Perserikatan Bangsa-Bangsa menekankan, menutup kesenjangan jender dalam kewirausahaan juga penting untuk mempercepat pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19.
Jika dikaitkan dengan penggunaan teknologi digital, menutup kesenjangan jender kewirausahaan harus dimulai dari pemerataan kualitas jaringan internet sampai ke pelosok desa. Upaya tersebut lantas diikuti dengan literasi digital.
Penyedia platform digital pun semestinya ikut bertanggung jawab, bukan hanya lewat program literasi digital, tetapi juga menghadirkan fitur-fitur solusi teknologi yang ramah dan paling dibutuhkan wirausaha perempuan. Dalam konteks hubungan kemitraan bisnis, penyedia platform seharusnya mampu menciptakan kondisi yang setara, seperti skema bagi hasil yang transparan.
Tentunya, di luar konteks teknologi digital, masih banyak sisi kesenjangan jender kewirausahaan yang saling berkelindan. Sebagai contoh, ketimpangan akses kepada permodalan dan pelatihan keterampilan usaha. Akses laki-laki lebih besar ketimbang perempuan. Pemerintah perlu ambil bagian aktif memetakan serta menemukan solusi tepat mengatasi ketimpangan tersebut.