Pemerintah Kawal Distribusi BLT Minyak Goreng
Seiring larangan ekspor bahan baku minyak goreng, pemerintah mendistribusikan BLT minyak goreng guna menekan lonjakan inflasi. Bagi ahli ekonomi, larangan itu tak selesaikan masalah karena bisa menyebabkan aksi balasan.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, Kantor Staf Kepresidenan atau KSP menegaskan akan tetap mengawal bantuan langsung tunai minyak goreng bagi masyarakat. Di sisi lain, desakan agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan stop ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng juga terus disuarakan.
”Dari hasil monitoring KSP di lapangan, ada masyarakat yang sedikit bingung dengan sosialisasi penyaluran BLT Minyak Goreng karena di beberapa daerah pelaksanaannya bersamaan dengan penyaluran bansos (bantuan sosial) rutin lainnya,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Abraham Wirotomo di Jakarta, Minggu (24/4/2022).
BLT minyak goreng itu senilai Rp 100.000. Selain itu, pemerintah juga mendistribusikan bantuan subsidi upah (BSU) senilai Rp 1 juta untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp 3 juta, dan Bantuan Presiden untuk Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Banpres UMKM) senilai Rp 600.000 per penerima.
Untuk BLT minyak goreng, berdasarkan pemantauan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terhadap PT Pos, Himpunan Bank Negara (Himbara), dan Bank Syariah Indonesia (BSI) selaku pendistribusi bantuan, per 22 April 2022, sudah tersalur kepada 17,2 juta keluarga penerima manfaat.
Pemerintah akan terus memperkuat bantalan sosial bagi masyarakat melalui skema bantuan sosial, seperti program sembako, keluarga harapan, termasuk BLT minyak goreng. Upaya ini dilakukan untuk menekan lonjakan inflasi akibat kenaikan harga barang-barang sebagai imbas krisis ekonomi dunia. Dalam pelaksanaannya, secara teknis, penyaluran berbagai bantuan sosial dinilai sudah berjalan lancar di lapangan.
Untuk memastikan program bantuan sosial pemerintah agar tidak hanya terkirim, tetapi benar-benar diterima oleh masyarakat, KSP bersama Tim dari Kemenko PMK, Kementerian Sosial, dan Kementerian Dalam Negeri akan terus memonitor pelaksanaannya di lapangan hingga Mei mendatang. ”Semoga masyarakat yang menerima bantuan terutama BLT minyak goreng bisa diringankan bebannya dan betul-betul dimanfaatkan dengan baik,” kata Abraham.
Baca juga: Pemerintah Larang Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng dan Minyak Goreng
Kurang tepat
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menegaskan bahwa kebijakan BLT minyak goreng kurang tepat untuk terus dilakukan karena tidak menyasar semua kalangan. Dalam kondisi saat ini, Rusli meminta agar subsidi dari pemerintah yang diberikan untuk biodiesel juga perlu dilakuan untuk minyak goreng. ”Lebih baik subsidi di hulu, baru perketat pengawasan distribusinya,” ucapnya.
Subsidi ini memungkinkan untuk dilakukan karena pemerintah sudah mempunyai Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.05/2022. Lewat kebijakan PMK ini, pemerintah telah menaikkan tarif ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). ”Dengan PMK ini, pemerintah punya uang untuk melakukan kebijakan subsidi,” ujar Rusli.
Terkait kebijakan pelarangan ekspor, Rusli menyebut bahwa kebijakan ini ibarat memburu satu penjahat, tetapi yang terkena dampak satu kampung. Larangan ekspor ini tidak tepat karena akan mendorong kenaikan harga CPO global. Larangan ekspor juga berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani karena barang yang sebelumnya dilempar ke luar negeri, akhirnya dilempar ke domestik.
Selain itu, hal ini juga berpotensi pada adanya black market atau ekspor gelap bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Rusli juga menyarankan pemerintah agar kembali ke kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri (DMO/DPO) dan atau subsidi. DMO/DPO terbukti menurunkan harga minyak goreng pada Februari 2022. ”Tapi, perlu didorong untuk implementasinya. Adanya tersangka oleh Kejaksaan menunjukkan sebenarnya jika DMO/DPO dilakukan dengan benar, bisa mengatasi persoalan minyak goreng,” ujarnya.
Larangan ekspor ini tidak tepat karena akan mendorong kenaikan harga CPO global. Larangan ekspor juga berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan bahwa tidak ada relevansi antara BLT dan larangan ekspor. ”Yang mengalami tekanan adalah petani sawit karena harga TBS-nya anjlok. Apa sudah disiapkan mitigasinya? Mau dikasih BLT ke 2,7 juta keluarga petani sebagai kompensasi anjloknya harga sawit, butuh berapa triliun APBN? Sudah hilang devisa 43 triliun ditambah menanggung efek berantai kerugian masyarakat,” kata Bhima.
Bhima juga meminta Presiden Joko Widodo agar memikirkan kembali kebijakan pelarangan ekspor yang dinilai tidak solutif. ”Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang menyesatkan,” ujarnya.
Jika kebijakan yang jelas bukan solusi ini dipaksakan, harga minyak goreng justru akan tetap mahal. ”Yang perlu diberi BLT bukan hanya orang miskin, melainkan juga 115 juta orang kelas menengah rentan karena semua terdampak harga minyak goreng yang mahal,” kata Bhima.
Baca juga: Penyaluran BLT Minyak Goreng Sudah 83 Persen
Sebelumnya, Presideh Jokowi menegaskan bahwa pemerintah telah memutuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022). Kepala Negara memastikan dirinya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau.
Keputusan tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (22/4/2022). ”Hari ini, saya telah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Dalam rapat tersebut telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022, sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian,” kata Presiden.
Kebijakan DMO
Bhima mengatakan bahwa sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop ekspor. ”Ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada Januari 2022. Apakah masalah selesai? Kan, tidak,” ujar Bhima.
Kebijakan pelarangan ekspor ini justru akan diprotes oleh calon pembeli di luar negeri, seperti India, China, dan Pakistan, yang akan memberikan respons karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini. Biaya produksi manufaktur dan harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan dan Indonesia yang disalahkan.
Dalam kondisi terburuk, menurut Bhima, bisa timbul retaliasi atau pembalasan, yakni negara yang merasa dirugikan lantas menyetop pengiriman bahan baku yang dibutuhkan Indonesia. Hal ini dinilai merupakan dampak yang fatal.
Di sisi lain, pelarangan ekspor juga akan menguntungkan negara lain, seperti Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia. Selain itu, juga menguntungkan negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapseed oil, dan sunflower oil, yakni Amerika Serikat dan negara di Eropa. ”Yang harusnya dilakukan ialah cukup kembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen,” katanya.
Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan DMO, permasalahan yang terjadi lebih pada kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng dinilai lebih dari cukup. Estimasi produksi CPO setahun adalah sebesar 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya.
”Sisanya mau disalurkan ke mana kalau stop ekspor? Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasannya lemah,” kata Bhima.
Apalagi, kebijakan pelarangan ekspor ini juga tidak otomatis menurunkan harga minyak goreng. ”Apakah harga minyak goreng akan turun? Belum tentu harga akan otomatis turun kalau tidak dibarengi dengan kebijakan HET (harga eceran tertinggi) di minyak goreng kemasan. Produsen juga bisa mengurangi kapasitas produksi minyak goreng karena permintaan berkurang. Yang dirugikan harga TBS di level petani akan anjlok,” ucapnya.
Selama Maret 2022 saja, nilai ekspor CPO mencapai 3 miliar dolar AS. ”Jadi estimasinya bulan Mei. Apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku satu bulan penuh, kehilangan devisa sebesar 3 miliar dolar AS setara Rp 43 triliun akan terjadi dan angka itu setara 12 persen total ekspor nonmigas. Ini bisa mengganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu,” ujarnya.