Mengajak Konsumen Memaknai Gerakan Keberlanjutan
Agar pesan gerakan keberlanjutan tersampaikan kepada konsumen, para pengelola jenama perlu sungguh memahami persoalan keberlanjutan yang menjadi ketertarikan konsumen.
Beragam jenama nasional ataupun internasional gencar mengklaim dukungan bagi gerakan keberlanjutan sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Menarik untuk melihat, sejauh mana konsumen merespons, terlibat, hingga kemudian membuahkan perubahan perilaku dan dampak.
Berdasarkan laporan Kantar Sustainability Foundational Study 2021, konsumen Indonesia sebenarnya bukan lagi berada di fase awal atau fase ketika masih harus dibangun kesadaran mengenai gerakan keberlanjutan. Konsumen di Indonesia telah berada pada satu fase di atas itu, yakni fase tertarik.
”Posisi konsumen Indonesia sejajar dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan China,” ujar Sustainable Transformation Practice Lead Asia Pacific Kantar Trezelene Chan, di sela-sela diskusi Meaningful Sustainability in Indonesia, Jumat (22/4/2022), di Jakarta. Diskusi ini digelar untuk memperingati Hari Bumi Internasional.
Kantar membagi perjalanan keberlanjutan konsumen ke lima fase. Fase pertama adalah tahap perlu dibangun kesadaran, lalu tertarik, teredukasi, beraksi, dan terakhir konsumen yang mampu mendorong diferensiasi langkah nyata.
Konsumen Indonesia sampai sekarang masih amat menaruh perhatian pada isu mengatasi kemiskinan dan kelaparan, diikuti isu deforestasi, dan polusi air.
Ketertarikan terhadap isu keberlanjutan pada konsumen di Indonesia tidak sepenuhnya sama dengan konsumen di negara Asia berbeda. Dari tujuan-tujuan SDGs, hasil riset Kantar menemukan, konsumen Indonesia sampai sekarang masih amat menaruh perhatian pada isu mengatasi kemiskinan dan kelaparan, diikuti isu deforestasi, dan polusi air. Sementara perhatian utama konsumen Asia lainnya adalah pada soal polusi udara, diikuti polusi air, dan perubahan iklim yang ekstrem.
Head of Client Engagement and Sustainability Practice Lead, Insights Division Kantar Indonesia, Nadya Ardianti, menyampaikan, konsumen generasi X cenderung prihatin terhadap masalah polusi udara, air, dan pertanian yang berlebihan memakai pupuk kimia. Sementara konsumen generasi milenial cenderung fokus pada masalah ketidaksetaraan akses pendidikan, pola bekerja tidak seimbang, dan eksploitasi jam kerja.
Generasi di atas keduanya, yakni generasi baby boomers, lebih peduli terhadap masalah perubahan cuaca ekstrem, kelaparan, dan kemiskinan. Nadya menduga, generasi baby boomers memiliki pengetahuan terkait kearifan lokal yang lebih mengakar dan nilai-nilai budaya yang sebenarnya mendukung keberlanjutan.
”Mereka umumnya terbiasa dengan makanan berbahan tanaman beserta cara memasak dan pengolahan alami. Kebiasaan seperti itu ada jauh sebelum kemunculan inovasi produk ‘daging nabati’,” ujar Nadya.
Generasi baby boomers memiliki pengetahuan terkait kearifan lokal yang lebih mengakar dan nilai-nilai budaya yang sebenarnya mendukung keberlanjutan.
Terlepas dari kesadaran dan ketertarikan terhadap pentingnya SDGs, hasil riset Kantar menunjukkan konsumen belum mempratikkan kesadaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sisi lingkungan, misalnya. Sekitar 69 persen konsumen Indonesia masih suka membeli produk dengan kemasan plastik berlapis-lapis. Sekitar 68 persen konsumen Indonesia juga mengaku memilih menggunakan kantong plastik ketika berbelanja.
Dari temuan ini bisa diartikan, jika suatu jenama ingin visi keberlanjutan diterima oleh konsumen Indonesia, para pengelola jenama tersebut semestinya fokus terlibat dalam pengentasan kemiskinan dan kelaparan, penanganan deforestasi, dan mencegah polusi air.
Di samping itu, jenama perlu menelaah karakteristik generasi setiap konsumen. Sebab, setiap generasi konsumen bisa jadi memiliki keprihatinan yang tak sama.
”Mereka sadar dan tertarik, tetapi belum punya cukup banyak informasi menerapkan perilaku yang sejalan dengan gerakan berkelanjutan. Atau, sebagian besar dari konsumen masih punya persepsi lebih baik hemat uang dibanding menjaga kelestarian lingkungan saat berbelanja kebutuhan sehari-hari,” kata Nadya.
Lebih jauh, Trezelene menjelaskan, di Asia, 63 persen konsumen menginginkan jenama semakin mendukung gerakan keberlanjutan. Ini adalah momentum bagi manufaktur untuk mengarahkan proses produksi serta pemasaran yang sejalan dengan SDGs.
“Kami menyarankan agar jenama lebih perhatian terhadap isu keberlanjutan yang jadi keprihatinan konsumen mereka. Para CEO semestinya segera mempunyai visi yang terarah. Narasi yang mereka harus otentik dan sesuai dengan kearifan lokal,” ujar Trezelene.
Ia mencontohkan susu nabati merek Oatly. Meski tergolong jenama baru di Indonesia, Oatly membawa narasi alternatif susu yang mudah diterima oleh pasar kedai kopi lokal ataupun konsumen Indonesia.
Baca juga: Ekonomi Sirkular yang Melestarikan Lingkungan
Turun langsung
Reza Andreanto, Sustainability Manager Tetra Pak, menjelaskan, konsumen Indonesia mau bergerak aktif mendukung gerakan keberlanjutan jika jenama turun langsung. Tetra Pak, misalnya, membangun infrastruktur manajemen sampah kemasan untuk daur ulang. Dalam melakukan edukasi, Tetra Pak menggandeng komunitas yang berhubungan dekat dengan konsumen.
Mengutip Laporan Keberlanjutan Tetra Pak tahun 2021, Tetra Pak telah menggandeng lebih dari 100 unit bank sampah dan memasang 160 titik daur ulang di sejumlah sekolah, hotel, restoran, dan kafe di seluruh Indonesia. Semua unit difungsikan untuk membantu pemisahan dan pengumpulan sampah kemasan karton bekas minum.
Tetra Pak juga telah menambah enam mitra pengumpulan karton bekas minum di tujuh provinsi di Jawa dan Bali serta bekerja sama dengan Rapel, sebuah aplikasi yang memudahkan karton bekas minuman dikumpulkan secara langsung dari konsumen di Yogyakarta.
”Kami mengajak para konsumen minuman kemasan karton untuk melakukan gerakan 3L (lipat, letak, dan lepas) atas karton bekas minuman mereka,” ujar Reza.
Secara terpisah, CEO PT Eigerindo Multi Produk Industri (Eiger) Christian H Sarsono menyebutkan beberapa aksi korporasi keberlanjutan yang tercangkup di Eiger Environment, Social, and Governance (ESG) Report 2021. Hingga akhir 2021, sekitar 3,5 persen penggunaan bahan baku produk pakaian jadi telah berasal dari material ramah lingkungan. Proses produksi melibatkan 52 pemasok lokal dari 103 total pemasok.
Pada tahun 2021, jumlah karyawan yang keluar menurun 50 persen dari tahun sebelumnya. Tingkat pergantian karyawan di tahun 2021 berada pada angka 7,46 persen dari sebelumnya 10,29 persen. Eiger berharap bisa menurunkan menjadi 5 persen pada tahun 2022.
”Selama pandemi Covid-19, kami berupaya tetap melatih tenaga kerja lokal agar mereka tetap berdaya,” kata Christian.
Adapun Co-Founder sekaligus Chief Operation Officer Jangjo (perusahaan rintisan di bidang manajemen sampah) Eki Setijadi berpendapat, gerakan keberlanjutan merupakan isu semua generasi konsumen, meskipun setiap generasi memiliki kecenderungan keprihatinan berbeda.
Oleh karena itu, Eki berpandangan, tidak ada salahnya edukasi seputar keberlanjutan diajarkan sejak usia anak-anak. Artinya, tugas menumbuhkan fase kesadaran sampai aksi nyata bukan semata-mata tugas jenama.
”Kami bahkan telah bekerja sama dengan sejumlah sekolah menengah lanjutan untuk mengedukasi manajemen sampah. Jadi, anak-anak yang juga konsumen barang menjadi lebih cepat tanggap, beraksi, dan ambil bagian dalam kelestarian lingkungan,” tutur Eki.
Melalui bentuk-bentuk peran aktif jenama tersebut, konsumen pun menjadi lebih terlibat dalam gerakan keberlanjutan. Dengan begitu, perubahan perilaku yang berdampak nyata setahap demi setahap dapat diwujudkan.
Baca juga: Investasi Sirkular Ekonomi Beri Manfaat 10 Miliar Dollar AS