Kejagung Temukan Manipulasi Syarat Izin Ekspor Minyak Sawit Mentah
Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah mengatakan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardaha dipastikan tak mengecek syarat-syarat yang harus dipenuhi eksportir untuk mendapat izin ekspor CPO.
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menemukan adanya dugaan manipulasi syarat izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terhadap beberapa perusahaan di Indonesia oleh Kementerian Perdagangan. Kejaksaan Agung akan pertimbangkan pemberatan hukuman bagi para tersangka.
Berkaitan dengan kasus ini, hingga Jumat (22/4/2022), tim jaksa penyidik telah memeriksa 30 orang sebagai saksi. Mereka diperiksa atas empat tersangka yang telah ditahan Kejagung, Selasa (19/4/2022). Keempat tersangka itu ialah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA, dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah, dalam konferensi pers di kantor Kejagung, Jakarta, Jumat (22/4/2022), mengatakan, dari hasil penelusuran dan penyelidikan Kejagung, ditemukan alat bukti yang cukup bahwa persetujuan ekspor yang dikeluarkan oleh Kemendag, khususnya Dirjen Perdagangan Luar Negeri, dilakukan dengan cara melawan hukum.
Lebih jelasnya lagi, diketahui persetujuan ekspor diterbitkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri meski sejumlah perusahaan belum memenuhi syarat kewajiban distribusi dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Hal ini mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Baca juga : Penyidikan Kasus Izin Ekspor CPO Diperluas ke Perusahaan Lain
”Ketika izin ekspor yang diloloskan tersebut pada kenyataannya DMO tidak terpenuhi, dapat dipastikan bahwa semua syarat yang diajukan memang ada tindakan manipulasi,” ujar Febrie.
Aturan mengenai DMO tertera dalam Keputusan Mendag Nomor 129 Tahun 2022 yang mewajibkan DMP sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin mengekspor komoditas. Kemudian, persentase itu ditingkatkan menjadi 30 persen melalui Keputusan Mendag Nomor 170 Tahun 2022.
Kebijakan DMO CPO dan olein pertama kali diberlakukan Kemendag pada 27 Januari 2022. Kebijakan DMO dicabut pada 16 Maret 2022.
Menurut Febrie, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana ditetapkan sebagai tersangka karena membiarkan penerbitan persetujuan ekspor tersebut kepada perusahaan yang tak memenuhi DMO. Indrasari juga dipastikan tidak mengecek syarat-syarat yang harus dipenuhi eksportir untuk mendapat izin.
Selain itu, penyidik menduga terdapat sejumlah kerja sama dan komunikasi di antara Indrasari dan sejumlah perusahaan eksportir sehingga perusahaan-perusahaan tersebut tetap mendapat persetujuan ekspor meski belum memenuhi ketentuan DMO. Namun, Febrie enggan menjelaskan lebih detail mengenai bentuk kerja sama dan komunikasi tersebut karena masih dalam proses penyidikan.
Baca juga: Mafia Minyak Goreng, Antara Ada dan Tiada
“Karena, dia (Indrasari) memang pejabat yang paling punya kewenangan untuk meneliti pengajuan ekspor tersebut. Dengan syarat (ekspor) itu diizinkan apabila sudah terpenuhi (DMO) 20 persen, kemudian berubah menjadi 30 persen. Kenyataannya memang diizinkan (ekspor), tetapi faktanya (DMO) tidak terpenuhi,” tutur Febrie.
Memeriksa barang bukti
Tim jaksa penyidik melakukan penggeledahan di 10 lokasi dalam dua waktu berbeda, yakni pada 5 April 2022 dan 7 April 2022. Pada 5 April 2022, misalnya, sejumlah lokasi yang digeledah adalah kantor Kemendag, rumah Indrasari, dan kantor PT Mikie Oleo Nabati Industri di Bekasi.
Selanjutnya, pada 7 April 2022, penggeledahan dilakukan di kantor Permata Hijau Group di Medan, kantor Wilmar di Medan, kantor Musim Mas di Medan, kantor PT Incasi Raya di Padang, kantor Synergy Oil Nusantara di Batam, kantor Karyaindah Alam Sejahtera di Surabaya, dan kantor Sinar Alam Permai di Palembang.
Dari penggeledahan itu, tim telah mengamankan sejumlah barang bukti yang kemudian disita, yaitu 650 dokumen, serta barang bukti elektronik. Febrie menjelaskan, kini, penyidik masih melakukan pendalaman terhadap barang bukti yang telah disita tersebut.
“Barang bukti ini akan memperkuat bagaimana kerja sama antara para tersangka, yang tentunya ini masih dalam penelitian penyidik sehingga tidak saya sebut apa bentuk-bentuk percakapan mereka di barang bukti,” tutur Febrie.
Pemberatan hukuman
Sejauh ini, para tersangka disangkakan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun, menurut Febrie, bukan tidak mungkin, pengenaan pasal terhadap para tersangka ini akan diperluas setelah penyidik menemukan alat bukti yang cukup, seperti suap dan penerimaan gratifikasi, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Semua tidak tertutup kemungkinan akan kami kembangkan,” ujar Febrie.
Kejagung, lanjut Febrie, juga membuka peluang untuk memperberat hukuman para tersangka, bahkan dengan pengenaan ketentuan Pasal 2 Ayat 2, di mana hukumannya sampai pada pidana hukuman mati. Pemberatan hukuman ini menjadi pertimbangan karena Kejagung menaruh konsentrasi terhadap kebijakan-kebijakan strategis pemerintah serta penting bagi kelangsungan pembangunan.
Selain itu, pemberatan hukuman patut dipertimbangkan karena Kejagung melihat korupsi ini telah memicu kelangkaan minyak goreng di tengah kesulitan rakyat menghadapi pandemi Covid-19.
“Saya rasa pemberatan ini akan menjadi pertimbangan penting bagi kami. Apalagi, kebijakan Pidsus Kejagung ke depan adalah akan melakukan penegakan hukum di tipikor dengan konsep baru. Termasuk, salah satu kebijakan itu nanti, akan melakukan hukuman yang berat terhadap pelaku-pelaku yang kami lihat dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang akan kami tentukan kriterianya, termasuk salah satunya dalam kondisi-kondisi negara sulit,” kata Febrie.
Mengejar calon tersangka lain
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, pada Maret 2022, pihaknya telah melapor kepada Kejagung persoalan mafia minyak goreng. Saat itu, ia melaporkan sejumlah perusahaan yang mengekspor minyak goreng serta produk turunannya.
Kemudian, ia menyebut, dari tiga perusahaan yang personelnya telah ditetapkan oleh Kejagung, dua di antaranya termasuk perusahaan yang telah ia laporkan. “Tetapi, yang jelas, tiga perusahaan yang personelnya telah menjadi tersangka, itu salah satu radar yang masuk ‘liga’ besar semua,” ujar Boyamin.
Boyamin berharap, Kejagung tidak berhenti pada tiga perusahaan itu. Sebab, dalam catatan MAKI, setidaknya ada sembilan perusahaan besar yang terlibat kasus mafia minyak goreng. Sembilan perusahaan itu dianggap mempunyai kendali, mulai dari perkebunan sawit, pabrik minyak sawit, pabrik minyak goreng, perusahaan distribusi, hingga diduga mempunyai perusahaan di luar negeri yang menjadi grupnya sendiri.
Selain itu, ia juga mendorong Kejagung agar tidak hanya berhenti pada Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari. Ia meyakini, kasus ini juga melibatkan kementerian lain karena berkaitan dengan hal-hal, seperti pengenaan pajak yang tidak terpungut.
”Jadi, itu yang sebenarnya bisa dicari lebih luas dan pihak-pihak lain yang terkait, bukan hanya Dirjen Perdagangan Luar Negeri, melainkan juga ada pihak lain bahkan dari kementerian yang lain karena ini menyangkut juga, misalnya hak negara dalam bidang pajak,” ucap Boyamin.