Diskursus berkembang di masyarakat terkait rencana pemerintah memungut pajak atas transaksi perdagangan aset kripto mulai 1 Mei 2022. Bagaimanakah dampak kebijakan itu bagi industri kripto yang baru seumur ”bayi” ini?
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·5 menit baca
REUTERS/BENOIT TESSIER/ILUSTRASI
Koleksi bitcoin
Terhitung mulai 1 Mei 2022, pemerintah akan mengenakan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Bagaimanakah dampaknya terhadap industri yang masih seumur ”bayi” ini?
Ketentuan itu menimbang bahwa aset kripto, sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka sesuai dengan ketentuan perundangan bidang perdagangan, telah berkembang luas di masyarakat. Guna memberikan kepastian hukum, pemerintah menilai perlu mengatur ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Regulasi yang diundangkan pada 30 Maret 2022 itu menetapkan tarif PPN sebesar 0,11 persen jika transaksi diselenggarakan oleh pedagang aset kripto (exchanger) yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan PPN 0,22 persen jika transaksi dilakukan melalui pedagang yang tidak terdaftar di Bappebti. Sementara tarif PPh Pasal 22 final ditetapkan 0,1 persen jika transaksi melalui pedagang yang terdaftar di Bappebti dan 0,2 persen jika transaksi dilakukan oleh pedagang yang tak terdaftar di Bappebti.
Peraturan itu juga menetapkan jasa penambangan (mining) aset kripto sebagai jasa kena pajak. Tarif PPN-nya 10 persen dari tarif PPN umum atau 1,1 persen dikali dengan nilai berupa uang yang diterima penambang (miner). Penambang aset kripto juga dikenakan PPh final sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi.
Diskursus berkembang di masyarakat terkait terbitnya peraturan tersebut. Sebagian kalangan menilai pengaturan itu sejalan dengan agenda pemerintah menciptakan sistem pajak yang adil bagi pelaku industri tradisional dan digital. Pembedaan tarif PPN dan PPh antara transaksi di pedagang yang terdaftar dan yang tidak terdaftar juga dinilai mendorong pedagang aset kripto untuk mendaftar ke Bappebti.
Pengenaan pajak juga dinilai menjadi wujud ”pengakuan ” negara atas legalitas perdagangan aset kripto di Tanah Air.
ARSIP INDO NFT FESTIVERSE
Seorang pengunjung melintas di depan karya seni kripto non-fungible token (NFT) yang dipamerkan di Indo NFT Festiverse, 9-17 April 2022, di Galeri Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebanyak 238 kreator terlibat dalam kegiatan ini.
Pengenaan pajak juga dinilai menjadi wujud ”pengakuan” negara atas legalitas perdagangan aset kripto di Tanah Air. Ketika sejumlah negara melarang penambangan dan perdagangan aset kripto, pengaturan tata cara perdagangan melalui Bappebti serta pengenaan PPN dan PPh melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 dianggap positif karena memberikan kepastian bagi investor dan pelaku industri aset kripto di dalam negeri.
Awasi risiko
Akan tetapi, pemajakan atas transaksi aset kripto bukan tanpa risiko. Sebagian pelaku menilai, pengenaan pajak akan menambah beban bagi investor di dalam negeri. Sebelumnya, Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengusulkan tarif PPh final 0,05 persen, tanpa PPN. Asosiasi juga menilai industri aset kripto di Indonesia masih relatif baru. Kebijakan yang tak tepat berpotensi menekan pertumbuhannya.
Bappebti mencatat, sepanjang tahun lalu, nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp 859,4 triliun. Angka itu melonjak 1.222,84 persen jika dibandingkan dengan nilai transaksi tahun 2020 yang tercatat Rp 64,9 triliun. Sementara hingga Februari 2022, transaksi aset kripto telah mencapai Rp 83,8 triliun, tumbuh 14,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.
Jumlah pedagang aset kripto juga terus tumbuh. Sampai Maret 2022, jumlah calon pedagang fisik aset kripto di Indonesia yang telah memiliki tanda daftar dari Bappebti tercatat 18 pedagang. Angka itu bertambah jika dibandingkan dengan akhir 2021 yang tercatat 11 pedagang.
Sementara jumlah pelanggan pedagang-pedagang aset kripto di Tanah Air telah mencapai 12,4 juta investor per Februari 2022. Angka itu sekitar tiga kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Selain mendongkrak adopsi teknologi digital, pandemi Covid-19 juga dinilai turut mendorong pertumbuhan pasar kripto di Indonesia.
Riset dari Gemini, platform perdagangan aset kripto global, bertajuk ”2022 Global State of Crypto Report” menyebut Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan kepemilikan aset kripto tertinggi di dunia. Riset itu menemukan bahwa 41 persen orang Indonesia, berusia 18-75 tahun dengan pendapatan lebih dari 14.000 dollar AS (setara Rp 200 juta) per tahun, memiliki aset kripto. Masyarakat melihat kripto sebagai aset pelindung kekayaan terhadap inflasi di masa depan.
Akan tetapi, perkembangan itu rentan terdampak kebijakan pemerintah. Situasi di India, meski negara ini mematok tarif pajak yang jauh lebih tinggi, bisa jadi cermin. Cointelegraph yang mengutip data dari perusahaan riset kripto Crebaco, pada Selasa (12/4/2022) melaporkan, volume perdagangan kripto di bursa yang berbasis di India turun ke level terendah beberapa tahun terakhir setelah aturan pajak kripto baru negara itu berlaku pada 1 April 2022. India mengenakan pajak 30 persen atas keuntungan dari transaksi kripto.
Laporan data penelitian yang dibagikan Crebaco ke Cointelegraph menunjukkan, volume perdagangan di bursa kripto India teratas telah menurun hingga 70 persen dalam 10 hari penerapan pajak. Volume perdagangan di WazirX, salah satu tempat pertukaran kripto di India, misalnya, turun dari 47,8 juta dollar AS pada 1 April menjadi 13,2 juta dollar AS pada Minggu (10/4/2022). Sementara volume perdagangan di CoinDCX turun dari 12,16 juta dollar AS menjadi 5,76 juta dollar AS, diikuti oleh Bitbns dengan penurunan keseluruhan 41,29 persen.
Situasi serupa bisa terjadi di Tanah Air meski dengan kadar berbeda. Para investor lokal bisa ”migrasi” massal ke pedagang-pedagang kripto yang berbasis di luar negeri guna menghindari pajak. Apalagi, mereka bisa dengan mudah menjangkau bursa-bursa kripto luar hanya dengan menginstal aplikasi di gawainya, sementara pemerintah belum dapat memastikan dapat mengontrol pedagang-pedagang aset kripto di luar negeri.
Regulasi memang mematok tarif PPN dan PPh lebih tinggi untuk transaksi yang dilakukan melalui pedagang yang belum terdaftar di Bappebti. Namun, apakah pemerintah bisa mengontrolnya? Apalagi, menurut data Coinmarketcap, jumlah pedagang (exchanges) kripto global mencapai 509 bursa dengan total lebih dari 19.000 aset kripto.
Siasat bisa jadi tengah disusun oleh para investor. Namun, pemerintah perlu selangkah lebih maju. Harapannya, industri ini tetap tumbuh dan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri.