Masyarakat Belum Siap, Pengembangan Industri Mobil Listrik Butuh Waktu
Permintaan atas kendaraan listrik diperkirakan baru akan naik pada 2030 ketika biaya komponen baterai listrik bisa ditekan. Saat ini, masyarakat masih lebih memilih kendaraan konvensional yang harganya terjangkau.
Oleh
AGNES THEODORA,
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati memiliki cadangan bahan baku yang besar, pengembangan industri mobil listrik di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah. Mobil berbahan bakar bensin masih menawarkan harga yang lebih ekonomis sehingga masyarakat belum siap beralih ke mobil listrik. Transisi elektrifikasi kendaraan diperkirakan membutuhkan waktu dan mesti dilakukan bertahap.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan berbagai regulasi dan kebijakan seputar kendaraan listrik, faktor terpenting yang akan menentukan pengembangan industri mobil listrik di dalam negeri adalah kesiapan masyarakat untuk mengadopsinya.
Saat ini, daya beli masyarakat belum bisa menerima harga rata-rata mobil listrik yang berada di atas Rp 600 juta, bahkan melebihi Rp 1 miliar. Sementara, Gaikindo mencatat, 70 persen dari konsumen kendaraan roda empat memilih membeli jenis kendaraan yang harganya di bawah Rp 300 juta. Hal itu membuat industri, yang sebenarnya sudah siap untuk bertransisi memproduksi kendaraan listrik, memilih lebih berhati-hati dan mengulur waktu.
”Sebenarnya anggota kami sudah siap dengan produk-produknya, tetapi kembali lagi apakah masyarakat kita sudah bisa menerima? Sementara pasar yang siap untuk membeli mobil seharga Rp 600 juta ke atas itu dalam catatan kami hanya kurang dari 1 persen,” kata Kukuh dalam diskusi publik yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (20/4/2022) petang.
Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad. Ia mengatakan, kendaraan berbahan bakar bensin (internal combustion engine/ICE) masih menawarkan harga yang lebih ekonomis dan kompetitif dibandingkan dengan kendaraan listrik berbasis baterai. Kondisi pasar yang memilih menggunakan kendaraan ICE itu pun membuat ekosistem pengembangan mobil listrik terhambat.
Tauhid membandingkan, di negara-negara lain, permintaan kendaraan listrik tinggi karena pemerintah memberikan insentif dan ”memaksa” pasar untuk beralih meninggalkan kendaraan ICE. Bentuknya bermacam-macam, dari fasilitas kredit, penghapusan atau pengurangan perpajakan, pemberian subsidi, sampai kewajiban menjadikan mobil listrik sebagai kendaraan komersil dan kendaraan dinas.
”Tak hanya itu, di negara-negara lain, realisasi kebijakan mengurangi emisi menuju net zero emission juga sudah lebih jelas sehingga ikut memicu ekosistem kendaraan listrik berkembang lebih pesat,” ujar Tauhid.
Di negara-negara lain, realisasi kebijakan untuk mengurangi emisi menuju net zero emission juga sudah lebih jelas sehingga ikut memicu ekosistem kendaraan listrik berkembang lebih pesat.
Di sisi lain, mahalnya harga kendaraan listrik juga banyak disumbangkan oleh harga komponen baterai yang tinggi. Oleh karena itu, peta jalan kendaraan listrik di Indonesia yang dimulai dari pengembangan ekosistem baterai listrik menurut dia sudah tepat. Ketika industri baterai listrik nasional sudah bisa menyediakan harga baterai yang lebih kompetitif, pengembangan kendaraan listrik diyakini akan lebih kondusif.
”Separuh harga komponen mobil listrik ini disumbang oleh harga baterai yang mahal. Ini jadi tantangan karena baterai itu dalam setiap periode tertentu harus terus diganti,” katanya.
Bertahap
Menurut Kukuh, proses pengenalan kendaraan listrik harus dilakukan secara bertahap agar masyarakat tidak kaget dan industri otomotif tidak terdisrupsi. Ia mencontohkan transisi mobil manual menuju otomatis, serta peralihan kendaraan konvensional menuju kendaraan bermotor hemat energi (LCGC) yang pernah dijalankan pemerintah di tahun 2013 secara bertahap dan bisa mendorong peralihan yang alamiah.
Cara lain adalah dengan mendorong transisi untuk kendaraan bermotor roda dua, sebelum melakukan peralihan di kendaraan bermotor roda empat atau lebih. ”Kalau kita mau mengadopsi kendaraan listrik, ada banyak isu di mana masyarakat akan butuh waktu untuk beradaptasi. Bahwa kita akan beralih ke kendaraan listrik, itu sudah pasti, tetapi tidak bisa dalam waktu cepat,” katanya.
Koordinator Subdit Industri Alat Transportasi Darat Direktorat Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Dodiet Prasetyo mengatakan, peralihan menuju kendaraan listrik adalah keniscayaan. Untuk itu, saat ini sedang dicari instrumen kebijakan sebagai jembatan peralihan yang tepat untuk meninggalkan kendaraan berbasis bensin/ICE.
Antara lain, pemberian insentif yang lebih maksimal untuk kendaraan listrik, meningkatkan popularitas pengunaannya melalui pembelian/pengadaan kendaraan listrik oleh pemerintah, dan mendorong produksi compact car yang berukuran kecil dan sesuai dengan daya beli masyarakat di kisaran harga Rp 300-Rp 400 juta. ”Kalau itu berhasil, peluang popularisasi kendaraan listrik bisa lebih masif lagi,” kata Dodiet.
Ia memprediksi, kendaraan listrik baru akan mendapat pangsa pasar yang besar di Indonesia pada 2030. Saat itu, dengan pengembangan industri baterai listrik di dalam negeri yang lebih pesat dan permintaan global yang semakin tinggi, selisih antara biaya komponen penggerak kendaraan ICE dan biaya baterai listrik diperkirakan hanya sekitar 15 persen. Dengan biaya produksi yang lebih rendah, harga kendaraan listrik bisa lebih terjangkau.
Sebagai perbandingan, di tahun 2020, kajian Kemenperin menunjukkan, harga komponen baterai listrik masih lebih mahal 50 persen dibandingkan harga komponen penggerak kendaraan ICE. Itu yang menyebabkan harga kendaraan listrik saat ini masih jauh di atas daya beli masyarakat pada umumnya. ”Ketika selisih cost-nya semakin mengecil di tahun 2030 itu, saat itulah peluang sharepasar kendaraan listrik akan semakin besar,” kata Dodiet.