Dugaan kasus pencurian data pribadi melalui aplikasi terus bermunculan. Hal ini menambah deretan praktik bisnis ekonomi digital yang tidak ramah terhadap hak atas privasi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengimbau masyarakat agar selalu memutakhirkan sistem keamanan perangkat dan melakukan instalasi ulang atas aplikasi yang diduga mengambil data pribadi tanpa hak. Imbauan ini keluar menyusul temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kepolisian Daerah Metro Jaya atas sejumlah aplikasi yang diduga mencuri data pribadi.
Sebelumnya, akun Instagram resmi Subdirektorat IV Tindak Pidana Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, yakni @siberpoldametrojaya, mengunggah informasi berupa 11 aplikasi di Google Play Store, diunduh sampai puluhan juta kali, dan diduga telah mengumpulkan data sensitif pengguna. Aplikasi tersebut diduga telah mencuri, antara lain, data GPS, nomor telepon, dan kata sandi. Contoh aplikasi yang dimaksud adalah Speed Camera Radar, Al-Moazin Lite, dan QR and Barcode Scanner.
”Kami tengah mempelajari dugaan pemrosesan data pribadi secara tanpa hak yang dilakukan oleh beberapa aplikasi di Google Play Store. Koordinasi lebih lanjut dengan pihak Polda Metro Jaya,” ujar Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi, Kamis (21/4/2022), di Jakarta.
Dedy menyebutkan bahwa temuan itu telah dilaporkan kepada Google dan Google telah mengambil sikap. Aplikasi tersebut diwajibkan untuk menghapus fitur pengambilan data pengguna jika ingin dapat kembali diakses oleh penggunanya di Google Play Store.
Kepada masyarakat luas, Dedy mengatakan, Kementerian Kominfo mengimbau agar mereka rutin memeriksa daftar aplikasi yang diduga mengambil dan memproses data pribadi tanpa hak. Masyarakat juga harus lebih mawas dan tidak mudah memberikan data pribadi kepada pihak yang tidak berkepentingan.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Alia Yovira berpendapat, pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia belum sejalan dengan praktik bisnis yang ramah kepada hak asasi manusia, terutama hak atas privasi. Realitas ini hampir terjadi di semua subsektor ekonomi digital, mulai dari perdagangan secara elektronik atau e-dagang hingga pemanfaatan blockchain.
Sebagai gambaran, di subsektor e-dagang masih kerap terjadi pelanggaran hak privasi, seperti kebocoran data pribadi dan peredaran bebas iklan penjualan spycam (kamera pengintai) di lokapasar. Situasi ini bisa terjadi karena regulasi e-dagang yang ada, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, sudah mengatur perlindungan data pribadi, tetapi belum memadai.
Ranah teknologi finansial, Alia menilai, tidak lepas dari tantangan pengabaian hak atas privasi. Misalnya, masih ada sejumlah warga yang pernah menjadi korban pengabaian data pribadi oleh perusahaan aplikasi pinjam-meminjam uang ilegal belum memperoleh pemulihan. Mekanisme pemulihan yang tersedia di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya mencakup aplikasi legal.
”Padahal, di ranah kesehatan, pengambilan dan penjualan data genetik dengan menggunakan sistem blockchain memiliki persoalan juga. Sebab, menurut kami, data genetik merupakan data pribadi yang sensitif. Dasar hukum perlindungannya belum ada, sementara praktik pengambilan dan penjualan telah mulai berkembang,” ujar Alia.
Adapun kepada perusahaan teknologi raksasa, Pemerintah Indonesia kerap meminta mereka menurunkan (take down) konten yang dianggap meresahkan masyarakat. Frasa ”meresahkan masyarakat” masih multitafsir. Kendati demikian, Alia mengatakan, Google pernah menyebut Indonesia merupakan negara yang paling banyak memohon take down kepada perusahaan itu.
Pemerintah melalui Kementerian Kominfo dikabarkan akan mengenakan penerimaan negara bukan pajak atas sanksi denda yang ditujukan kepada perusahaan teknologi yang tidak mau mengikuti permintaan take down konten. Namun, kebijakan seperti itu cenderung akan dianggap sensor berlebihan.
”Implementasi bisnis digital yang ramah terhadap hak asasi manusia harus disadari oleh pengusaha. Namun, hal tidak kalah penting adalah instrumen hukum. Sejauh mana pemerintah sadar dengan regulasi yang ada ataupun akan dibuat mendukung hak asasi manusia atau tidak,” imbuh Alia.
Direktur Kerja Sama Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Hajerati menambahkan, korporasi merupakan pelanggar hak asasi manusia kedua terbanyak. Hal ini sesuai data temuan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2017, dia mengemukakan, pemerintah telah merencanakan strategi nasional bisnis yang ramah hak asasi manusia. Harapannya, strategi ini bisa mengakomodasi perkembangan industri dan teknologi terkini.
”Ada pedoman dan kebijakan praktis yang wajib diikuti oleh pengusaha. Mungkin, bentuk keluaran strategi nasional itu adalah peraturan presiden,” ujar Hajerati.