Salah satu kendala ialah ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Untuk modul surya nilai TKDN minimal 60 persen, tetapi menurut IESR, hal itu tidak didukung kesiapan industri dalam negeri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
RIZA FATHONI
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan akhir instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). Sebanyak 506 panel surya dengan kapasitas dengan total daya sebesar 150.000 watt dipergunakan untuk pencahayaan area masjid. Pemanfaatan panel surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah ketentuan dan implementasi masih menghambat pengembangan energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap. Hambatan itu diharapkan teratasi karena Indonesia butuh tambahan 3-5 gigawatt per tahun hingga 2030 untuk mencapai target bauran energi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam lokakarya ”Indonesia Solar Summit 2022”, Rabu (20/4/2022), mengatakan, untuk mencapai orde gigawatt, pengembangan energi surya perlu dilakukan dalam skala besar. Kendati ada kenaikan jumlah proyek PLTS pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, implementasinya belum optimal. Skema lelang belum diterapkan sehingga sejumlah proyek menjadi sulit mendapat dukungan pembiayaan.
Persoalan lainnya adalah ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017. Disebutkan nilai TKDN modul surya minimal 40 persen. Lalu menjadi minimal 50 persen sejak 1 Januari 2018 dan menjadi minimal 60 persen sejak 1 Januari 2019.
”Ini tidak didukung oleh kesiapan industri dalam negeri. Pendanaan proyek relatif mahal dari dalam negeri. Kalau dari luar, berbunga tinggi karena mereka melihat masih ada risiko yang dipakai pada perangkat surya itu,” ujar Fabby.
Dari sisi regulasi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, menuturkan, saat ini pihaknya sedang mengevaluasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Dalam beleid itu diatur kapasitas PLTS atap dibatasi paling tinggi (maksimum) sesuai kapasitas terpasangnya. Adanya kata ”maksimum" menjadi dipahami bahwa boleh jika di bawah angka maksimal kapasitas terpasangnya.
Tenaga surya memiliki potensi besar karena bisa dibangun cepat dan harganya pun kian kompetitif. Esensi PLTS ialah gotong royong.
Gotong royong
Terlepas dari sejumlah kendala tersebut, Fabby menuturkan, tenaga surya memiliki potensi besar karena bisa dibangun cepat dan harganya pun kian kompetitif. Esensi PLTS ialah gotong royong. Artinya, setiap rumah atau industri bisa memasangnya. Jadi, jika ada kebutuhan investasi besar, dapat ditanggung masyarakat.
”Masyarakat tidak minta subsidi. Yang diminta adalah agar dipermudah untuk mendapat izin pemasangan PLTS. Political will sebenarnya sudah ditunjukkan dan disampaikan Presiden, seperti target dekarbonisasi. Hanya tinggal masalah kebijakan, insentif, dan dukungan pembiayaan,” katanya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto udara PLTS Messah di pulau Messah, kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (2/10/2021). Kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) terus meningkat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada tahun 2020 sebesar 153,5 Mega Watt (MW) dari sebelumnya tahun 2019 sebesar 136,6 MW.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti, mengemukakan, perihal transisi energi, tahun 2022 menjadi momentum tepat karena ada ajang G20 Presidensi Indonesia. Topik itu pun menjadi satu dari tiga topik utama G20 Presidensi Indonesia. Selain itu, target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 juga mesti direalisasikan.
”Saya memahami bahwa tantangannya tidak mudah karena faktor feasibility (kelayakan) dan lainnya. Kami di DPR sepakat untuk mendorong transisi energi,” ujar Dyah.
Sementara itu, menurut Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priadi, dalam transisi energi, pelaksanaannya mengutamakan konsep berkeadilan. Sebab, bakal ada perubahan lapangan kerja dan kebutuhan sumber daya yang tepat di sektor transisi energi.