Pengusaha Jatim Ingin Percepatan Pemulihan Ekonomi
Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha di Jawa Timur cukup yakin situasi Covid-19 yang melandai bisa didorong untuk pemulihan ekonomi lebih cepat meski pertumbuhan selama tahun ini belum akan sebesar 2019.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 yang melandai menumbuhkan keyakinan akan pemulihan ekonomi tahun ini. Di Jawa Timur, Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha atau Forkas berharap pemulihan dapat terwujud dengan percepatan.
”Meski optimistis bisa pulih, belum sampai seperti sebelum pandemi atau 2019,” kata Sekretaris Jenderal Forkas Winyoto Gunawan di sela media gathering jelang buka puasa di Surabaya, Jatim, Rabu (20/4/2022).
Sepanjang 2019, ekonomi Jatim tumbuh 5,52 persen. Setahun kemudian, ekonomi anjlok jadi minus 2,39 persen. Tahun lalu, ekonomi Jatim mulai bangkit dengan pertumbuhan 3,57 persen. Dari situasi itulah, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Jatim tahun ini akan lebih baik ke angka 5 persen.
Winyoto mengatakan, prediksi itu perlu diletakkan di bawah situasi 2019 karena dampak pandemi 2020-2021 masih terasa sampai triwulan pertama 2022. Dalam dua tahun, pandemi memukul ekonomi, termasuk menghentikan banyak sektor usaha dan pengusaha. Bangkit setelah kelumpuhan dua tahun tidak mudah. ”Ada kendala permodalan, situasi bisnis masih merangkak, dan perubahan kebijakan pemerintah terutama kenaikan pajak,” ucapnya.
Untuk itu, pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih rasional jika ditargetkan menembus 5 persen, tetapi masih di bawah situasi 2019. Jika ternyata pertumbuhan melebihi situasi sebelum pandemi, itu merupakan hal yang luar biasa.
Winyoto yang merupakan anggota Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencontohkan, untuk bisnis sepatu, jika ada peningkatan, itu juga belum kembali ke situasi normal sebelum pandemi. Industri sepatu dalam skala mikro sampai besar tetap berkarakter mobilitas dan kontak yang tinggi.
Sementara pandemi memaksa ada pembatasan sosial sehingga industri mengurangi mobilitas manufaktur demi menekan risiko penularan. Berbagai pembatasan memang ada yang sampai ”mematikan” industri, tetapi sebagian tetap berjalan.
Sebagai catatan, semester pertama 2021, industri alas kaki nasional tumbuh 2,4 persen. Padahal, semester pertama 2020, industri sepatu minus 4,5 persen. Ada pertumbuhan yang signifikan, termasuk terhadap produk domestik bruto nasional.
Menurut Winyoto, industri sepatu belum sepenuhnya dipenuhi oleh pasokan bahan baku dalam negeri meski tingkat kandungan sudah di atas 70 persen. ”Artinya, sebagian (bahan baku) masih impor,” ujarnya.
Padahal, sejak awal tahun ini, situasi global belum menentu. Itu imbas agresi Rusia terhadap Ukraina, potensi resesi ekonomi Amerika Serikat, dan kebijakan ekonomi negara lain termasuk pemasok bahan baku bagi industri Indonesia. Pasokan bahan baku dari China, misalnya, amat bergantung pada kebijakan politik ekonomi negeri itu. Jika mereka melindungi pasar domestik, berarti ada penurunan ekspor bahan baku, termasuk ke Indonesia.
Semoga tidak sampai mengerek kenaikan harga di dalam negeri sampai menggila.
Hal senada diutarakan Ketua Klaster Baja Lapis Aluminium Seng Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Henry Setiawan. Tahun ini ada tren ekspor untuk produk besi dan baja karena harga di luar negeri sedang bagus. Padahal, 40 persen kebutuhan bahan baku baja produksi dalam negeri masih impor.
Henry melanjutkan, China sedang menempuh kebijakan penguncian karena sedang ada peningkatan kasus penularan Covid-19 di sana. Produksi bahan baku untuk baja di China akhirnya dipakai untuk kebutuhan domestik daripada ekspor. Padahal, pasar baja menggiurkan ialah AS dan Eropa sehingga harganya naik. Harga naik inilah yang mendorong pengusaha baja nasional turut ekspor.
Herry mengatakan, jika ekspor tidak dikendalikan, akan berdampak terhadap ketahanan kebutuhan baja dalam negeri. Kendala akan tetap muncul karena industri baja nasional masih menggantungkan bahan baku dari impor. Jika impor bahan baku sulit, hal itu akan linier dengan produksi. ”Semoga tidak sampai mengerek kenaikan harga di dalam negeri sampai menggila,” ujarnya.
Secara terpisah, sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik Jatim Dadang Hardiwan mengatakan, kinerja ekspor provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini naik. Pada Maret 2022, ekspor non-migas senilai 2,09 miliar dollar AS atau naik dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 1,84 miliar dollar AS. Kinerja ekspor bulan lalu itu juga naik dibandingkan dengan Februari yang sebesar 1,77 miliar dollar AS.