Investasi pembangunan hotel baru masih terbatas. Hal ini seiring dengan industri pariwisata Indonesia yang belum sepenuhnya pulih. Namun, permintaan pergudangan dan rumah tapak masih tinggi.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi baru di bidang properti hotel masih terbatas. Kendati demikian, industri pariwisata Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan seiring dengan dibukanya kembali perjalanan internasional disertai berbagai pelonggaran bepergian di dalam negeri.
Dilihat dari sisi hotel mewah (luxurious), misalnya. Berdasarkan studi konsultan properti JLL, tidak ada pasokan baru di Jakarta dan Bali sampai triwulan I-2022. Total pasokan kamar hotel mewah yang sudah ada di Jakarta mencapai 61.986 kamar, sedangkan di Bali terdapat 44.756 kamar. Sampai Februari 2022, tingkat okupansi hotel mewah di Jakarta sebesar 48,2 persen dan di Bali 12,1 persen.
Pembukaan hotel baru melambat sejak pandemi Covid-19. Pasokan yang akan masuk diperkirakan mulai terjadi pada tahun 2022. Itu pun merupakan pembukaan yang tertunda. JLL memperkirakan, total pasokan kamar hotel mewah khususnya di Jakarta pada kurun waktu 2022–2024 mencapai sekitar 3.400 kamar, sedangkan di Bali sekitar 1.700 kamar.
Vice President of Investment Sales Hotels and Hospitality Group JLL untuk Asia Pasifik Julien Naouri berpendapat, dibukanya kembali perjalanan internasional disertai pencabutan syarat karantina di Indonesia sebenarnya akan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi kepada investor, operator, dan pemilik hotel.
Pengumuman Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa semua wisatawan asing yang divaksinasi dengan tes usap negatif dapat mempercepat pemulihan industri pariwisata. Namun, dalam waktu dekat, pendorong utama pemulihan industri pariwisata datang dari wisatawan Nusantara (wisnus) dan korporasi domestik yang melakukan perjalanan bisnis di dalam negeri.
”Bali baru-baru ini membuka kembali perbatasan internasional dan mulai melanjutkan penerbangan internasional langsung untuk pertama kalinya yang sempat dua tahun tutup. Namun, ini butuh waktu untuk pulih sepenuhnya. Jadi, wisnus masih akan terus mendominasi dan perilaku staycation berlanjut sehingga kami rasa situasi seperti itu yang akan mendorong permintaan hotel baru,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (20/4/2022), di Jakarta.
Sampai Februari 2022, tingkat okupansi hotel mewah di Jakarta sebesar 48,2 persen dan di Bali 12,1 persen.
Menurut Julian, destinasi utama di Indonesia, seperti Jakarta dan Bali, akan jadi penggerak pemulihan industri pariwisata. Oleh karena itu, dia memperkirakan, keduanya akan menerima sebagian besar investasi hotel baru.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B Sukamdani saat dihubungi terpisah mengatakan, investasi pembangunan baru hotel masih ada. Akan tetapi, hal itu umumnya dilakukan oleh segelintir grup pemilik hotel yang mempunyai neraca keuangan kuat.
”Pihak perbankan saat ini masih memandang industri perhotelan sebagai sektor yang berisiko. Akibatnya, rata-rata perbankan enggan memberikan pinjaman kepada pengusaha hotel,” ujarnya.
Hotel baru yang berdiri ketika pandemi Covid-19 masih berjalan, menurut Hariyadi, merupakan proyek yang telah lama direncanakan. Pemiliknya sudah mempunyai rencana membangun sebelum pandemi Covid-19. Di industri properti, perhotelan biasanya proyek yang sudah direncanakan, bahkan mulai dibangun, akan tetap dilanjutkan supaya pemilik tidak rugi.
Terkait kinerja keseluruhan subsektor properti pada triwulan I-2022, Head of Research JLL Indonesia Yunus Karim menyebut ada perbedaan, tidak bisa disamakan semuanya dengan kondisi properti perhotelan. Permintaan subsektor properti perkantoran saat ini masih terbatas.
Tahun 2022 diawali dengan perkembangan tingkat hunian perkantoran yang relatif stabil, yaitu di angka 73 persen untuk kawasan bisnis dan 74 persen untuk kawasan nonbisnis. Permintaan kondominium di Jakarta juga masih lesu seperti tahun sebelumnya. Calon pembeli, khususnya investor, masih berhati-hati dalam melakukan pembelian kondominium.
Lain ceritanya dengan permintaan gudang, fasilitas pusat data, dan rumah tapak yang masih tetap tinggi. Saat ini, investor asing dan lokal terlihat aktif dalam mencari peluang di ketiga subsektor tersebut. Pengembangan infrastruktur yang dinantikan tahun 2022 dan diharapkan akan berdampak positif pada sektor properti, antara lain, adalah LRT Jabodebek dan pembangunan beberapa ruas jalan tol baru.
Lain ceritanya dengan permintaan gudang, fasilitas pusat data, dan rumah tapak yang masih tetap tinggi. Saat ini, investor asing dan lokal terlihat aktif dalam mencari peluang di ketiga subsektor tersebut.
Lebih jauh, kata Hariyadi, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), di luar properti perhotelan, industri properti secara makro saat ini belum bisa berekspansi. Di sektor perkantoran, misalnya, dia sependapat dengan temuan riset JLL. Pasokan kantor masih susah dipasarkan walaupun pemilik gedung perkantoran sampai menurunkan harga sewa/jual sebesar 30–40 persen.
Dengan situasi ini, penambahan pasokan baru akan semakin sulit dipasarkan. Pengguna properti perkantoran dari sisi usaha rintisan bidang teknologi (start up) yang pernah disebut sebagai konsumen properti perkantoran yang potensial ternyata tidak memerlukan luasan yang besar. Kecuali start up berstatus unicorn atau perusahaan bervaluasi 1 miliar dollar AS.
”Juga, bisa dilihat sektor industri yang digeluti oleh start up, apakah tumbuh pesat selama pandemi atau tidak. Intinya, pemerintah memang telah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial demi mendorong pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, tetapi pengusaha properti masih wait and see. Suasana tahun 2022 bisa dikatakan transisi dan kami menduga pemulihan baru benar-benar terjadi tahun depan,” imbuhnya.
Sementara itu, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini, berpendapat, permintaan properti perkantoran masih lesu karena pengusaha cenderung mempertahankan opsi metode bekerja hibrida atau bekerja dari kantor dan bekerja dari mana saja. Dari sisi properti perhotelan, perkembangannya amat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah mengenai mobilitas sosial.
Permintaan properti perkantoran masih lesu karena pengusaha cenderung mempertahankan opsi metode bekerja hibrida atau bekerja dari kantor dan bekerja dari mana saja.
”Untuk properti pergudangan, saya rasa prospek (investasi dan pembangunan baru) amat cerah. Sebab, selama pandemi Covid-19, aktivitas belanja daring jadi pilihan utama sehingga perdagangan secara elektronik atau e-dagang tumbuh pesat. E-dagang akan selalu butuh sistem logistik dan pergudangan,” kata Eisha.