Literasi Ekonomi Syariah di Indonesia Masih Sangat Rendah
Meski memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, baru 9 dari 100 orang Indonesia yang memahami soal instrumen keuangan syariah. Padahal, potensi yang besar ini bisa menjadi motor penggerak baru ekonomi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instrumen ekonomi dan keuangan syariah perlu terus menerus diperluas edukasinya. Sebab, baru sembilan dari 100 orang Indonesia yang memahami cara kerja dan manfaat dari instrumen ekonomi keuangan syariah. Ekonomi dan keuangan syariah bisa terus dioptimalkan potensinya mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tirta Segara menjelaskan, berdasarkan data Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia Tahun 2019, tingkat literasi keungan syariah hanya 8,9 persen.
”Dengan kata lain, baru sembilan dari 100 orang dewasa di Indonesia yang memahami soal instrumen keuangan syariah. Nilai ini lebih kecil dari angka literasi keuangan nasional secara keseluruhan yang sebesar 29,7 persen,” ujar Tirta pada acara webinar bertajuk ”Digitalization to Support the Growth of Islamic Finance”, Rabu (20/4/2022).
Tirta menjelaskan, masih rendahnya literasi soal industri keuangan syariah ini menyebabkan masih banyak kekeliruan pemahaman soal instrumen keuangan syariah. Banyak yang menganggap instrumen ini hanya untuk penduduk Muslim. Selain itu, banyak pula yang menganggap instrumen ini tidak berbeda dengan instrumen keuangan lain, tetapi menggunakan istilah bahasa Arab.
”Padahal, tidak seperti itu. Ada prinsip-prinsip, mekanisme, dan manfaat yang bisa diperoleh dari instrumen keuangan syariah, seperti prinsip keberlanjutan,” ujar Tirta.
Potensi
Tirta mengungkapkan, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, potensi ekonomi dan keuangan syariah Indonesia sangat besar. Hal ini diharapkan bisa menjadi motor baru penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
President & Chief Executive Officer (CEO) International Centre of Education in Islamic Finance (Inceif) Dato Mohd Azmi Omar menambahkan, berdasarkan riset Inceif 2021, Indonesia berada di dalam jajaran 10 besar negara-negara dengan ekonomi syariah terbesar bersama negara lain, seperti Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dan Turki.
Azmi mengatakan, kontribusi aset instrumen keuangan syariah yang baru 10 persen dari aset industri keuangan di Indonesia menunjukkan potensi industri ini belum dimaksimalkan sepenuhnya. Apalagi, masih ada 51 persen dari total populasi Indonesia yang tergolong unbank atau belum tersentuh layanan jasa keuangan bank.
”Dengan masih banyaknya UMKM yang belum tersentuh layanan jasa keuangan dan disertai semakin meluasnya penggunaan teknologi digital, menjadi potensi pengembangan industri keuangan syariah ke depan,” kata Azmi.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK Imansyah menjelaskan, kontribusi instrumen keuangan syariah terhadap industri keuangan secara keseluruhan masih bisa terus dikembangkan. Mengutip data OJK, aset industri keuangan syariah sampai dengan Juni 2022 mencapai Rp 1.137 triliun atau setara dengan 10 persen dari aset industri keuangan secara keseluruhan.
Pertumbuhan aset industri keuangan syariah mengalami perlambatan. Pada Juni 2022, pertumbuhan aset industri ini mencapai 5,05 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal, sebelumnya pertumbuhan aset industri keuangan syariah dari 2019 ke 2020 mencapai 22,79 persen, sedangkan pertumbuhan dari 2018 ke 2019 mencapai 13,84 persen.
Imansyah menambahkan, pihaknya terus mendorong perluasan edukasi dan literasi instrumen keuangan syariah dengan memanfaatkan teknologi digital. Sosialisasi dan edukasi melalui webinar, lanjutnya, bisa menjangkau lebih luas khalayak.
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadinindyah menjelaskan, instrumen keuangan syariah telah bertahun-tahun berkontribusi pada kebijakan fiskal dan pembentukan postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Hal ini melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Negara.
Sejak diterbitkan tahun 2009, SBSN Ritel mencapai nominal Rp 292,99 triliun. Ini berasal dari 581.374 investor.
”Dari sini kita bisa melihat bahwa instrumen keuangan syariah tidak hanya bisa memberikan kontribusi pada negara, tetapi juga kepada investor ritel,” ujar Dwi.