Kompetisi Vs Kolaborasi Agen Perjalanan Wisata
Perusahaan teknologi perjalanan atau ”Online Travel Agent” nasional, seperti Tiket.com dan Traveloka, dikabarkan akan melantai di bursa saham. Rencana ini diperkirakan menambah semarak kompetisi di industri pariwisata.
Sekitar tahun 2010 industri pariwisata di Indonesia dikejutkan dengan kehadiran perusahaan rintisan bidang teknologi yang mendigitalisasi proses pemesanan tiket perjalanan hingga beragam keperluan akomodasi lainnya.
Keberadaan mereka sempat menerbitkan kekhawatiran di kalangan agen perjalanan konvensional. Namun, belakangan malah terbentuk kolaborasi dalam penawaran berbagai kebutuhan wisatawan. Sejak tahun lalu berkembang kabar bahwa di antara perusahaan rintisan bidang ini yang berskala besar, seperti Tiket.com dan Traveloka, akan melantai di bursa saham.
Bloombergmelalui artikel Indonesia’s Tiket Weighs Blibli Merger Before $1 Billion IPO (Jumat, 8/4/2022) menyebutkan, perusahaan teknologi di bidang pemesanan kebutuhan perjalanan (online travel agent/OTA) Tiket.com akan merger dengan perusahaan e-dagang Blibli.com sebelum penawaran umum saham perdana (IPO). Rencana merger ini mencuat diduga karena rencana Tiket.com IPO menggunakan perusahaan akuisisi tujuan khusus atau SPAC gagal.
Tiket.com kini tengah mengumpulkan dana hingga 1 miliar dollar AS untuk kebutuhan IPO. Perundingan dengan Blibli.com dilaporkan masih berlangsung. Blibli.com mengakuisisi Tiket.com pada tahun 2017, tetapi keduanya masih menjadi entitas terpisah.
Public Relations Manager Tiket.com Sandra Ayu Darmosumarto saat dikonfirmasi menyatakan, pihaknya masih terus mempertimbangkan berbagai langkah terbaik dan paling bijak dalam menjalankan rencana IPO.
Perusahaan OTA asal Indonesia lainnya, Traveloka, juga dikabarkan akan IPO. Dalam wawancara dengan Nikkei Asia, awal November 2021, President Traveloka Caesar Indra mengatakan, pihaknya sedang mengoptimalkan layanan teknologi finansial (tekfin) untuk persiapan IPO.
Tekfin adalah salah satu dari tiga pilar bisnis penting bagi Traveloka. Dua pilar lainnya adalah layanan perjalanan dan gaya hidup, termasuk aktivitas pemesanan dan pengiriman makanan, yang memiliki peluang tumbuh besar.
Layanan tekfin Traveloka, yaitu ”beli sekarang, bayar nanti (paylater)”, telah tumbuh 7,5 kali lipat sejak diluncurkan pada 2018 dan telah memfasilitasi hampir 7 juta pinjaman. Tekfin adalah salah satu dari tiga pilar bisnis penting bagi Traveloka. Dua pilar lainnya ialah layanan perjalanan dan gaya hidup, termasuk aktivitas pemesanan dan pengiriman makanan, yang memiliki peluang tumbuh besar.
Traveloka mulanya berencana untuk IPO di AS melalui merger dengan Bridgetown Holdings, SPAC yang didukung oleh miliarder Richard Li dan Peter Thiel, tetapi perundingannya dilaporkan gagal. Traveloka kini dikabarkan akan melakukan IPO dengan cara konvensional.
Menanggapi fenomena itu, analis pasar modal dari Sucor Sekuritas, Paulus Jimmy, berpendapat, perekonomian Indonesia sekarang sedang masuk fase pemulihan dari pandemi Covid-19. Prospek IPO perusahaan teknologi tergantung keadaan sektor industri masing-masing selama masa pemulihan ekonomi dan narasi yang ditawarkan perusahaan bersangkutan saat akan melantai di bursa efek.
”OTA berkecimpung di sektor industri pariwisata. Sektor industri ini terdampak parah selama pandemi Covid-19. Namun, kini, mobilitas warga dan animo plesir sudah pelan-pelan membaik sehingga outlook industri pariwisata akan kembali positif,” ujarnya.
Prospek IPO perusahaan teknologi tergantung keadaan sektor industri masing-masing selama masa pemulihan ekonomi dan narasi yang ditawarkan perusahaan bersangkutan saat akan melantai di bursa efek.
Selain mencermati pelonggaran mobilitas warga dan arus masuk wisatawan mancanegara, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpendapat, investor akan mencermati prospektus kinerja laporan keuangan perusahaan OTA. Terkait isu merger Tiket.com dan Blibli.com, dia berpendapat, jika jadi dilakukan, aksi korporasi itu akan menjadi strategi menaikkan valuasi menuju perusahaan aplikasi super.
”Investor tetap akan rasional menilai bagaimana kinerja dan peta persaingan ke depan. Menjadi perusahaan aplikasi super belum tentu mendorong jumlah pengguna langsung meningkat signifikan. Banyak faktor lain akan memengaruhi, antara lain tim manajemen yang kokoh dan rencana bisnis yang rasional,” tuturnya.
Bhima menambahkan, kinerja IHSG sejauh ini masih positif, yakni 8,74 persen secara year to date. Perusahaan pada tier 1 atau lima besar di sektor industri tertentu mestinya percaya diri bahwa peminat investor retail ataupun institusi akan tetap tinggi. Traveloka pun bisa cukup percaya diri untuk segera IPO karena masuk kategori dominan di segmen OTA.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan di bidang biro perjalanan konvensional yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Misalnya PT Panorama Sentrawisata Tbk yang tercatat di papan utama BEI sejak tahun 2001 dan PT Bayu Buana Tbk sejak 1989. Kemudian PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (Pigijo), perusahaan teknologi di bidang penyedia jasa perjalanan, tercatat di papan akselerasi BEI sejak 2020.
Baca juga: Belum Ada Target Kunjungan, Pariwisata di Jateng Utamakan Kenyamanan
Tidak terganti
Sekretaris Perusahaan PT Panorama Sentrawisata Tbk AB Sadewa saat dihubungi, Senin (18/4/2022), di Jakarta, menceritakan, sebagai perusahaan keluarga, tujuan IPO perusahaan tersebut saat itu adalah dorongan bertransformasi menjadi perusahaan publik dan mencari permodalan. Kala itu, Panorama Sentrawisata melapor sebagai perusahaan konsultan pariwisata yang di dalamnya terdapat bisnis agen perjalanan dan operator tur wisata.
”Awal 2000-an, bisnis agen perjalanan masih sangat konvensional walaupun sudah lahir dotcom (internet). Kelas menengah atas belum tumbuh sebesar sekarang dan bepergian masih jadi kebutuhan tersier. Banyak orang cari tiket pesawat melalui agen perjalanan sehingga pangsa pasar kami besar,” ujarnya.
Panorama Sentrawisata kemudian memiliki pilar bisnis perjalanan wisata ke Indonesia (inbound), keluar Indonesia (outbond), pertemuan, kegiatan insentif, konvensi, serta ekshibisi (MICE) dan transportasi.
Ketika berkembang OTA, perusahaan sempat memandang mereka sebagai kompetitor, terutama di penjualan tiket pesawat. Namun, belakangan, Panorama Sentrawisata malah berkolaborasi dengan sejumlah OTA nasional, seperti Tiket.com dan Traveloka. Bentuk kolaborasinya berupa suplai paket tur perjalanan, hotel, dan transportasi yang dibutuhkan wisatawan.
Pandemi Covid-19 sempat membuat harga jual saham Panorama Sentrawisata anjlok di bawah Rp 100 per lembar. Investor sangat sensitif terhadap kebijakan industri pariwisata yang dikeluarkan pemerintah.
Terlepas dari tantangan karena keberadaan OTA dan pandemi Covid-19, Panorama Sentrawisata tetap memperhatikan tata kelola perusahaan yang baik. Bagaimanapun, lanjut Sadewa, saat perusahaan tercatat di bursa saham, investor akan fokus memperhatikan kinerja keuangan. Jika perusahaan tercatat meluncurkan produk baru, investor cenderung hanya melihat ada tidaknya prospek untung jangka panjang.
Panorama Sentrawisata pun akhirnya terjun ke ekosistem desa wisata sebagai pendamping dan membuatkan paket kunjungan. Cara ini dinilai relevan dengan tren gerakan lingkungan berkelanjutan.
”Kami masih optimistis bahwa pasar pariwisata akan selalu terdiri atas dua jenis. Ada wisatawan yang menyukai cara memenuhi kebutuhan perjalanan secara mandiri sehingga OTA akan lebih cocok untuknya. Ada juga pelaku perjalanan yang kebutuhannya kompleks, seperti korporasi, dan mereka akan selalu butuh agen perjalanan konvensional untuk memenuhi segala keperluannya,” tutur Sadewa.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno berpendapat, kemunculan OTA ataupun lokapasar yang menjual tiket perjalanan adalah disrupsi bagi agen perjalanan konvensional. Pangsa pasar mereka khususnya di tiket perjalanan telah mencapai 40 persen.
”Digitalisasi membuat orang semakin mudah bepergian. OTA ataupun lokapasar menawarkan promo tiket murah yang selalu berhasil memikat calon wisatawan. Akan tetapi, penawaran harga tiket selalu murah tidak berarti tidak ada isu,” ujarnya.
Pauline lantas memberikan ilustrasi kondisi saat pandemi Covid-19. Agen perjalanan konvensional mempunyai kelebihan. Mereka mempunyai sumber daya manusia yang bisa dilatih secara maksimal untuk memberikan informasi lengkap dan konsultasi kepada wisatawan yang akan bepergian di tengah pembatasan mobilitas. Apabila hanya mengejar harga beli tiket murah, wisatawan tidak dapat jasa konsultasi seperti itu.
Digitalisasi membuat orang semakin mudah bepergian. OTA ataupun lokapasar menawarkan promo tiket murah yang selalu berhasil memikat calon wisatawan. Akan tetapi, penawaran harga tiket selalu murah tidak berarti tidak ada isu.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran bahkan secara tegas mengatakan, hal nomor satu di industri pariwisata adalah pelayanan. Digitalisasi hanya akan memudahkan pemasaran produk pariwisata, tetap tidak akan mampu menggantikan interaksi luring pelayanan kepada wisatawan.
Layanan Traveloka Eats, misalnya. Dia menilai layanan itu membantu promosi dan meningkatkan penjualan restoran. Pengelola restoran kemudian terpacu meningkatkan profesionalitas layanan, mulai dari interaksi luring sampai pengembangan menu kepada wisatawan.
”Kejadian Gunung Agung di Bali meletus beberapa waktu lalu juga merupakan contoh menarik. Agen perjalanan konvensional bertindak cepat membantu wisatawan yang kesulitan mengurus perpanjangan masa tinggal dan mediasi ke pihak hotel,” kata Maulana.
Oleh karena itu, agen perjalanan konvensional akan tetap mendapat pangsa pasar, terutama dari pelaku perjalanan yang memiliki kebutuhan kompleks. Sementara OTA memperoleh konsumen yang suka menangani mandiri keperluan perjalanannya.
”OTA dengan besarnya inventori hotel dan jasa usaha pariwisata lain yang mereka miliki merupakan kekuatan. Dengan inventori itu, OTA yang akan IPO bisa membantu meningkatkan citra pariwisata Indonesia ke investor internasional. Kami— pemilik hotel dan restoran nasional— akan mendapat keuntungan, semisal kunjungan naik,” tutur Maulana.
Baca juga: Kelabu Masih Membayangi Industri Pariwisata