Konflik Rusia-Ukraina saat ini mendisrupsi rantai pasok global. Transmisi gejolak harga pangan dan energi global terhadap pasar domestik pun kian menguat. Hal ini tecermin dari inflasi yang beranjak meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan akibat konflik Rusia-Ukraina mengancam rantai pasok komoditas global yang sebelumnya sudah terdisrupsi oleh pandemi Covid-19. Kebijakan yang tepat perlu diambil untuk mengantisipasi agar dampak konflik ini tidak mengganggu pemulihan ekonomi nasional.
Hambatan rantai pasok global, antara lain, jelas terjadi pada komoditas pangan. Jika produksi Rusia dan Ukraina digabung, kedua negara ini menyumbang 30,1 persen pangsa pasar gandum dunia, 23,4 persen pangsa pupuk dunia, serta 14,5 persen pangsa jagung dunia.
Terkait dengan pasokan energi, pangsa ekspor batubara Rusia mencapai 15 persen pangsa pasar global. Sementara itu, pangsa ekspor minyak mentah Rusia 11,9 persen pangsa global. Adapun produksi gas alam Rusia selama ini berkisar 4,8 persen pangsa pasar global.
Terhambatnya rantai pasok berbagai komoditas, terutama pangan dan energi, otomatis menimbulkan gejolak harga yang merembet pada tren inflasi global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, kenaikan harga komoditas akan memperburuk tekanan inflasi di banyak negara. Berdasarkan kajian BKF, tingkat inflasi global tahun ini berpotensi melonjak dari semula 3,8 persen menjadi 4,6 persen, dan baru akan melandai pada 2023.
Tren kenaikan harga di tingkat global akan ikut menyeret harga di tingkat nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Maret 2022 dibandingkan Maret 2021 mencapai 2,64 persen. Inflasi tahun ke tahun pada Maret 2022 ini menjadi yang tertinggi sejak April 2020.
Kenaikan harga komoditas akan memperburuk tekanan inflasi di banyak negara. (Febrio Kacaribu)
Meski inflasi masih berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia (BI), yakni 2 persen hingga 4 persen, jika tidak disikapi dengan bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, Febrio khawatir tingginya laju inflasi akan berisiko pada pelemahan aktivitas ekonomi.
”Kami akan terus memantau dan memitigasi dampaknya. Nilai tukar rupiah masih sangat baik dikelola oleh Bank Indonesia. Kebijakan fiskal dan bansos (bantuan sosial) juga akan diprioritaskan untuk menjaga daya konsumsi,” kata Febrio awal pekan lalu.
Selain tak luput dari gejolak harga komoditas di pasar global, tekanan kenaikan inflasi di dalam negeri juga sudah mulai muncul karena naiknya permintaan di tengah pemulihan pascapandemi serta momen bulan Ramadhan.
Pangkas pertumbuhan
Ketidakpastian situasi karena ketegangan antara Rusia dan Ukraina membuat Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur-Pasifik tahun 2022, dari sebelumnya 5,4 persen menjadi 5 persen.
Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 dipangkas dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen, dengan skenario pertumbuhan ekonomi terburuk 4,6 persen. BKF memasang target pertumbuhan ekonomi tahun ini sedikit lebih tinggi, yakni di kisaran 4,8 persen-5,5 persen.
Selain tak luput dari gejolak harga komoditas di pasar global, tekanan kenaikan inflasi di dalam negeri juga sudah mulai muncul karena naiknya permintaan di tengah pemulihan pascapandemi serta momen bulan Ramadhan.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Abdurohman mengingatkan, kenaikan harga komoditas energi dan pangan berdampak mempercepat serapan belanja subsidi pemerintah. ”Daya beli masyarakat adalah hal utama yang harus dijaga di tengah transmisi peningkatan harga global ke inflasi dalam negeri,” ujarnya.
Pada APBN 2022, pemerintah mengalokasikan total anggaran subsidi sebesar Rp 206,96 triliun. Alokasi tersebut dibagi untuk subsidi energi sebesar Rp 134,03 triliun dan untuk subsidi nonenergi Rp 72,93 triliun. Selama periode Januari-Februari 2022, belanja subsidi energi Indonesia sudah mencapai Rp 21,7 triliun, setara 16,97 persen dari anggaran subsidi energi.
Di sisi lain, perang Rusia dan Ukraina juga menjadi ”durian runtuh” pada penerimaan Indonesia karena kenaikan harga komoditas ekspor. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara pada Februari 2022 naik 37,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu jadi Rp 302,4 triliun.
Peningkatan penerimaan negara tersebut memperluas fleksibilitas program perlindungan sosial yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 154,8 triliun.
Program perlindungan sosial ini menjangkau 37,9 juta pelanggan listrik tersubsidi, 8 juta metrik ton elpiji 3 kg, 7,5 juta keluarga penerima BLT di perdesaan, 10 juta keluarga penerima Program Keluarga Harapan, 18,8 juta keluarga penerima kartu sembilan kebutuhan pokok, 20,2 juta siswa penerima Kartu Indonesia Pintar, serta 96,8 juta keluarga penerima bantuan iuran dalam Jaminan Kesehatan.
Rantai perdagangan
Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono, Kamis (7/4), mengingatkan, meski neraca perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina tidak terlalu tinggi, perang antara keduanya tetap bisa memukul perekonomian Indonesia melalui transmisi rantai perdagangan.
Dikarenakan komposisi impor Indonesia didominasi oleh penggunaan bahan baku/penolong, dampak kenaikan harga sejumlah komoditas di level global akan memengaruhi pasokan dan harga bahan baku. Hal ini selanjutnya berdampak pada harga produk (output) industri akibat naiknya biaya produksi.
”Sektor riil akan terpukul, demikian juga masyarakat yang harus menghadapi kenaikan berbagai harga barang,” ujar Margo.
Dikarenakan komposisi impor Indonesia didominasi oleh penggunaan bahan baku/penolong, dampak kenaikan harga sejumlah komoditas di level global akan memengaruhi pasokan dan harga bahan baku.
Menurut Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan, dampak ketegangan geopolitik pascainvasi Rusia berpotensi menahan laju pemulihan ekonomi pascapandemi. Bagi pelaku industri, dampaknya terasa dalam bentuk disrupsi bertubi-tubi rantai pasok setelah sebelumnya terganggu oleh pandemi.
”Industri yang mengimpor bahan baku dari Rusia dan Ukraina harus dengan cepat memutar otak mencari pemasok lain untuk mencegah terjadi kelangkaan bahan baku yang dapat mengganggu produksi,” ucapnya.
Misalnya, industri makanan dan minuman yang mengimpor 3,07 juta ton kebutuhan gandum dari Ukraina pada 2021 serta industri besi dan baja yang mengimpor 486.000 ton ingot besi dan baja dari Rusia pada 2021. Kedua subsektor industri itu kini sedang mencari alternatif pasokan dari negara lain.
”Shifting seperti ini pasti tidak mudah karena harga (bahan baku) berubah, kalkulasi logistik ikut berubah,” kata Johnny.
Di sisi lain, memang ada dampak positif yang dirasakan Indonesia dalam bentuk kenaikan harga ekspor komoditas, seperti batubara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Namun, Johnny berpendapat, dampaknya tidak selalu menguntungkan bagi masyarakat secara umum.
”Contohnya, harga minyak goreng sawit yang sekarang naik di dalam negeri karena mengikuti harga pasar internasional,” ujarnya.