Dukungan Negara Maju Dibutuhkan dalam Transisi Energi
Indonesia berupaya mengejar pencapaian target 23 persen porsi energi baru terbarukan 2025 dan emisi nol 2060. Pemerintah berharap dukungan global, khususnya dari negara maju, guna mengejar target tersebut.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tantangan dihadapi Indonesia dalam transisi menuju nol emisi pada tahun 2060. Tantangan itu antara lain terkait pendanaan serta penguasaan teknologi. Oleh karena itu, pemerintah berharap ada dukungan global, khususnya dari negara-negara maju, agar transisi energi dapat berjalan sesuai target.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, perekonomian Indonesia akan kian ekspansif sehingga perlu peningkatan kapasitas energi untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Pemerintah Indonesia pun menargetkan proporsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Meski sudah diupayakan untuk diakselerasi, kata dia, Indonesia masih harus berjuang keras agar target itu tercapai. Oleh karena tidak bisa memenuhi sendiri, Indonesia menanti dukungan dari negara-negara maju terkait pengembangan energi terbarukan.
”Ini butuh dukungan, tidak hanya dari sektor swasta domestik, tetapi juga komunitas global, termasuk pendanaan dan terknologi transfer dari negara-negara maju seperti Korea Selatan,” kata Airlangga dalam webinar ”South Korea RE-Invest Indonesia 2022” yang digelar Kedutaan Besar Indonesia di Korea Selatan dan Tenggara Strategics, Kamis (7/4/2022).
Dalam rangka mewujudkan target dalam transisi energi, Pemerintah Indonesia akan mengimplementasikan kebijakan harga karbon dalam bentuk carbon cap and trade. Pemerintah juga akan menerapkan skema pajak karbon di tahun 2023.
”Kebijakan ini akan menentukan batas atas dalam emisi karbon di beberapa sektor tertentu dan memperkenalkan perdagangan, juga skema pajak karbon. Kami harap kebijakan ini dapat memberikan keuntungan bagi industri untuk mengubah energinya menjadi sumber terbarukan,” tambahnya.
Dari segi regulasi, kata Airlangga, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang tujuan utamanya adalah menciptakan ekosistem bisnis yang mudah, tetapi tetap tidak melupakan standar, nilai keselamatan, dan keamanan. Pemerintah juga sudah membentuk Indonesia Investment Authority (INA) yang dapat menjadi menyediakan alternatif fasilitas investasi untuk pengembangan ekonomi hijau.
Ia berharap berbagai kegiatan, termasuk forum virtual tentang energi terbarukan, akan menjadi jembatan bagi Indonesia dan Korea Selatan dalam mengembangkan energi baru terbarukan. ”(Sehingga) dapat mendukung pencapaian target 23 persen kontribusi energi baru terbarukan tersebut,” kata Airlangga.
Indonesia dan Korea Selatan memiliki ketertarikan yang sama dalam sektor energi.
Duta Besar RI untuk Korea Selatan Gandi Sulistiyanto mengemukakan, Indonesia dan Korea Selatan memiliki ketertarikan yang sama dalam sektor energi. Saat ini, negara itu juga maju dalam transisi energi dan sedang bersiap untuk secara bertahap meninggalkan batubara dan nuklir, termasuk dengan energi campuran dalam rangka efisiensi.
”Saya yakin Indonesia dan Korea Selatan akan meningkatkan kerja sama. Sebelumnya, Hyundai telah meluncurkan IONIQ 5 (di pabrik Indonesia) yang menjadi bagian dari ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Berikutnya adalah konsorsium LG-Hyundai yang membangun pabrik (baterai kendaraan listrik) di Indonesia. Juga nantinya Lg-LX joint project yang mengembangkan nikel,” kata Gandi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menuturkan, dengan target 23 persen porsi energi terbarukan pada tahun 2025, Indonesia masih memiliki pekerjaan. Pasalnya hingga 2021, realisasinya baru 11,7 persen. Dengan terbuka pada investasi serta campuran energi, porsi energi terbarukan diharapkan terus meningkat.
Indonesia, lanjut Dadan, memiliki kekayaan sumber daya alam yang tersebar di sejumlah wilayah. Hal tersebut mendukung pengembangan energi terbarukan, baik terkait tenaga angin, panas bumi, surya, maupun hidro. Salah satunya ada di Kalimantan Utara dengan pengembangan kawasan industri pembangkit hidro untuk keperluan industri.
”Target pada tahun 2030 adalah pengurangan emisi karbon 314 juta metrik ton. Dengan teknologi yang tepat beserta pengembangannya, kami mencoba untuk mencapai target tersebut,” kata Dadan.
Sementara itu, General Manager Korea Midland Power Co, Ltd, Minho Kim, mengatakan, saat ini, pihaknya mengoperasikan 158,1 megawatt dan ditargetkan mencapai 3,7 gigawatt pada tahun 2030. ”Kami terbuka untuk bekerja sama dalam pengembangan energi terbarukan dengan Indonesia,” katanya.