Sejumlah indikator menunjukkan penurunan kesejahteraan petani tanaman pangan di tengah lonjakan harga barang kebutuhan pokok dalam beberapa bulan terakhir. Petani ketinggalan harga.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Ketika indeks harga pangan global mencapai level tertinggi sepanjang masa, pada Februari 2022, para petani padi di Tanah Air justru mengalami situasi sebaliknya. Harga gabah terus turun seiring meluasnya area panen musim rendeng empat bulan terakhir. Jumlah kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah pun bertambah. Siapa peduli?
Badan Pusat Statistik mencatat, harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di tingkat petani terus turun dari Rp 4.773 per kilogram pada Desember 2021 menjadi Rp 4.569 per kg GKP pada Maret 2022. Situasi itu sejalan dengan jumlah kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang justru bergerak sebaliknya, yakni cenderung meningkat, dari 4,47 persen kasus pada Januari 2022 menjadi 18,73 persen kasus pada Maret 2022.
Di tingkat penggilingan, jumlah kasus harga gabah kering giling (GKG) di bawah HPP tercatat lebih besar, yakni mencapai 43,3 persen kasus dari 1.559 titik observasi pada Maret 2022 atau naik dibandingkan dengan jumlah kasus harga di bawah HPP pada dua bulan sebelumnya yang tercatat 32,3 persen. Data itu menambah panjang kasus harga gabah di bawah HPP, tercatat 24 bulan berturut-turut sejak April 2020, sejak terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan HPP Gabah atau Beras.
Penurunan harga gabah dan penambahan kasus harga di bawah HPP sejalan dengan data nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan. BPS mencatat, NTP tanaman pangan pada Maret 2022 mencapai 99,23, turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 100,43. Penurunan indeks mencerminkan kesejahteraan petani yang turun. Sebab, indeks harga yang harus dibayar petani (Ib) lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang diterima petani (It).
Padahal, regulasi tentang HPP sejatinya diterbitkan guna melindungi harga gabah/beras di tingkat petani. Permendag No 24/2020 merupakan produk hukum turunan dari Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
Selain menjaga ketersediaan pangan, regulasi itu dimaksudkan untuk menstabilkan harga gabah/beras di tingkat petani. Namun, alih-alih terwujud, situasinya masih jauh dari harapan. Bagaimana tidak, Bulog yang mendapat tugas menyerap hasil panen petani, terutama ketika harga turun di bawah HPP, justru masih dibelit masalah terkait pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP).
Hingga kini, Bulog mesti mengelola CBP yang turun mutu dan sebagian kondisinya sudah rusak. Sampai bulan lalu, menurut catatan Ombudsman RI, ada sekitar 134.000 ton beras sisa impor tahun 2018 yang masih menumpuk di gudang Bulog. Namun, selain keterbatasan anggaran, problem menjadi pelik karena ketidakjelasan penyalurannya. Dampaknya, tak hanya menyulitkan Bulog sebagai operator, tugas penyerapan gabah/beras petani pun jadi tidak optimal.
Tuntut kenaikan
Jika petani padi bergulat tentang implementasi kebijakan HPP, petani tebu tengah memperjuangkan kenaikan harga patokan gula petani menjelang musim giling tahun ini. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai, ketentuan tentang harga patokan petani (HPP) gula kristal putih yang berlaku sejak enam tahun lalu kian tidak relevan di tengah kenaikan ongkos produksi dan inflasi.
APTRI meminta pemerintah menaikkan HPP gula dari Rp 9.100 per kg menjadi Rp 12.000 per kg. Sebab, HPP gula yang berlaku selama ini semakin tertinggal oleh biaya pokok produksi yang kini diperkirakan telah mencapai Rp 11.000 per kg. Kenaikan ongkos produksi antara lain didorong oleh naiknya ongkos pengolahan lahan, upah tenaga kerja, biaya angkut, serta harga pestisida dan pupuk.
Selain kenaikan harga patokan, para petani tebu rakyat juga berharap pemerintah mencabut ketentuan tentang harga eceran tertinggi (HET) gula. Selama ini ketentuan itu dinilai justru menekan harga pembelian gula petani. Selain itu, petani berharap pemerintah menugaskan importir gula untuk menyerap gula petani pada musim giling yang akan dimulai pada Mei 2022.
Target pemerintah mendongkrak produksi dalam negeri dan meningkatkan kemandirian pangan bakal sia-sia jika usaha petani terbukti tidak menguntungkan secara ekonomi.
Seperti harga pembelian pemerintah pada komoditas gabah/beras, ketentuan tentang harga patokan gula merupakan instrumen perlindungan bagi usaha petani. Sebab, tanpa insentif yang menguntungkan, usaha petani bakal mandek. Target pemerintah mendongkrak produksi dalam negeri dan meningkatkan kemandirian pangan juga bakal sia-sia jika usaha petani terbukti tidak menguntungkan secara ekonomi.
Kini, ketika harga barang-barang kebutuhan pokok serba naik, beban petani berlipat. Tak hanya ongkos produksi yang naik, pengeluaran sehari-hari mereka dan keluarga juga naik sebab petani umumnya merupakan konsumen bersih (net consumer). Oleh karena itu, jika hasil usahanya tidak terjamin, kehidupan petani bakal semakin tertekan. Jika hidup petani tertekan, masa depan pangan terancam.