Konsumsi Solar Subsidi Naik 15 Persen di Jawa Timur
Solar subsidi masih langka di Jawa Timur yang antara lain dipicu peningkatan konsumsi. Kelangkaan menghambat kelancaran distribusi barang dan jasa yang bisa memicu masalah sosial.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Harga solar subsidi dan tak subsidi selisih Rp 7.800-Rp 9.150 per liter. Perbedaan yang lebar memicu peningkatan konsumsi solar subsidi di Jawa Timur sebanyak 15 persen. Selain itu, solar subsidi langka atau sulit diakses sehingga masih terjadi antrean truk di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
Deny Djukardi, Executive General Manager Pertamina Patra Niaga Jawa Timur Bali Nusa Tenggara, Rabu (6/4/2022), menyatakan, konsumsi solar subsidi di Jatim sekitar 170.000 kiloliter (KL) per bulan.
Namun, sejak Maret atau bulan lalu, konsumsi solar meningkat 15 persen atau menjadi 195.500 KL. Peningkatan konsumsi solar subsidi amat mungkin terkait perubahan harga solar tak subsidi yang sudah terjadi sejak awal tahun.
Saat ini, harga jual solar/biodiesel subsidi senilai Rp 5.150 per liter. Harga solar tak subsidi, yakni dexlite (CN51) Rp 12.950-Rp 13.550 per liter. Untuk produk pertamina dex (CN 53) dijual Rp 13.700-Rp 14.300 per liter. Di SPBU bukan dalam pengelolaan jaringan Pertamina, harga solar tak subsidi bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
“Sejak Maret telah terjadi peningkatan konsumsi solar yang cukup signifikan,” kata Deny. Pasokan solar di terminal bahan bakar minyak (BBM), klaim Pertamina Patra Niaga, aman.
Namun, penyaluran dari terminal ke SPBU menggunakan truk atau mobil tangki memerlukan waktu. Padahal, konsumsi solar sedang meningkat sehingga stok yang ada di SPBU cepat terserap atau habis. Inilah yang memicu antrean truk dan kendaraan untuk solar subsidi di SPBU.
Deny melanjutkan, konsumen dapat mengadu melalui Pertamina Contact Center 135 jika menemukan kendala ketersediaan produk BBM di SPBU. Pertamina Patra Niaga juga memohon maaf karena kendala ketersediaan produk di seluruh SPBU.
”Kami berusaha memastikan kendala segera diantisipasi dengan optimalisasi armada mobil tangki dalam menyalurkan BBM ke seluruh SPBU,” ujarnya.
Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) Mulyono saat meninjau ketersediaan stok BBM di Jatim menyatakan berupaya mempercepat penyaluran pasokan, terutama solar subsidi, untuk mencegah kelangkaan. Penyaluran pasokan baru perlu dipercepat karena peningkatan konsumsi oleh masyarakat.
”Kami ingin memastikan secara langsung di lapangan mengingat adanya informasi kesulitan konsumen untuk mendapatkan solar,” kata Mulyono. Namun, masyarakat juga diingatkan bahwa ketersediaan solar subsidi amat bergantung pada kuota sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Solar bahan bakar tertentu, disubsidi, dan penyaluran ke suatu daerah melalui penetapan kuota.
Kalangan masyarakat dengan ekonomi mampu dan berkendaraan tak berhak subsidi amat diminta untuk memakai solar tak subsidi, misalnya dexlite atau pertamina dex.
Kami berusaha memastikan kendala segera diantisipasi dengan optimalisasi armada mobil tangki dalam menyalurkan BBM ke seluruh SPBU. (Deny Djukardi)
Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan, kesulitan mendapatkan solar amat mungkin terkait dengan kebutuhan yang melebihi kuota. Di Jatim, kuota solar subsidi 2.281.581 kiloliter untuk tahun ini. Itu turun daripada tahun lalu yang 2.352.388 kiloliter.
Pergerakan barang
Menurut Adik, pemerintah menetapkan kuota 2022 berdasarkan penyaluran tahun sebelumnya atau 2021. Padahal, pergerakan barang, jasa, manusia sepanjang tahun lalu masih terganggu pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019).
”Jika solar subsidi terus langka akan menghambat kelancaran distribusi logistik. Sumbatan bisa memicu gejolak harga, bahkan ke tingkat sosial,” kata Adik.
Guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, kenaikan harga BBM tak subsidi belum akan memicu gejolak sosial. Konsumen BBM tak subsidi terbatas pada kelompok ekonomi menengah ke atas atau kaya yang diperkirakan hanya 5 persen dari populasi. Mereka memakai kendaraan yang mengharuskan pemakaian BBM tak subsidi.
”Konsumen BBM subsidi adalah mayoritas termasuk kelas menengah yang rentan masuk kategori miskin ketika terkena gejolak harga,” kata Bagong. Saat ini, BBM subsidi tidak naik, tetapi pemerintah dianggap berancang-ancang menaikkan harga Pertalite dan solar subsidi.
Pemerintah juga dipersepsikan bersiap menaikkan harga elpiji 3 kilogram dan tarif dasar listrik. Jika anggapan itu benar, masyarakat akan terkena gejolak harga. Jika gejolak harga tidak terkendali, bisa memicu masalah sosial, misalnya masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan protes melalui unjuk rasa.