Pemulihan ekonomi di wilayah Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, menghadapi berbagai risiko eksternal. Kondisi ini membuat Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam setahun penuh.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Gedung-gedung bertingkat terutama untuk perkantoran terus bertambah di Jakarta, Rabu (15/8/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari semula 5,2 persen menjadi 5,1 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dibayangi oleh berbagai situasi global, mulai dari pengetatan moneter Amerika Serikat hingga penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina yang belum menemukan titik terang.
Pemangkasan prospek pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1 persen yang dialami Indonesia dinilai masih lebih baik dibandingkan Malaysia yang dipangkas turun 0,3 persen oleh Bank Dunia, lalu Thailand 0,7 persen, dan Vietnam dipangkas 1,2 persen.
Dalam pemaparan media yang digelar secara daring, Selasa (5/4/2022), Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia Aaditya Mattoo mengatakan, risiko penurunan terhadap proyeksi pertumbuhan berasal dari pengetatan keuangan global yang lebih cepat dari perkiraan.
”Invasi Rusia ke Ukraina mengancam pemulihan ekonomi yang tidak merata di negara-negara berkembang Asia Timur dan Pasifik. Ditambah dengan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, pengetatan keuangan di AS, dan perlambatan ekonomi di China,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengapresiasi pemerintah yang berani melakukan reformasi kebijakan fiskal dan keuangan di tengah kondisi krisis. ”Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang menggunakan pengurangan dengan mendistorsi subsidi dan juga untuk mendanai investasi yang lain,” ujarnya.
Salah satu wujud reformasi fiskal yang telah dilakukan pemerintah adalah implementasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen sejak 1 April 2022. Namun, meski tidak terlalu signifikan, kebijakan fiskal yang dibarengi dengan kenaikan harga di dalam negeri dinilai akan cukup menekan daya beli masyarakat. ”Dasar-dasar makro yang sehat sebelum pandemi memungkinkan Indonesia membangun penyangga keuangan dan fiskal untuk merespons krisis,” ujarnya.
Bank Dunia juga telah menurunkan perkiraan pertumbuhannya untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik dari perkiraan 5,4 persen pada Oktober 2021 menjadi 5 persen. Mattoo pun memperingatkan pertumbuhan dapat melambat menjadi 4 persen jika kondisi semakin melemah.
Mattoo menilai perusahaan regional yang telah melaporkan tunggakan pembayaran akan terkena guncangan penawaran dan permintaan baru. Pada saat yang sama, pendapatan riil rumah tangga akan menyusut karena inflasi melonjak dan utang pemerintah akan dibatasi. ”Kenaikan harga juga akan membatasi ruang bagi bank sentral di kawasan ini untuk melakukan pelonggaran,” ujarnya.
Mobilitas mencair
Sebelumnya, dalam kesempatan Indonesia Macroeconomic Updates 2022, Senin (4/4/2022), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu menyatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 akan lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya.
”Ini disebabkan oleh pemulihan di berbagai sektor. Indikator-indikator konsisten dengan penilaian kita. Salah satu indikatornya adalah mobilitas masyarakat yang terus meningkat sehingga semakin menggencarkan roda perekonomian,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kendaraan memadati ruas Jalan Tol Jakarta-Tangerang, Sabtu (19/3/2022). Mobilitas masyarakat yang semakin meningkat seiring pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat mulai berdampak pada peningkatan volume lalu lintas kendaraan termasuk di jalan tol. PT Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat realisasi volume lalu lintas Jasa Marga Group pada Januari-Februari 2022 sebanyak 179 juta kendaraan. Jumlah tersebut meningkat 11,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Google Mobility Index mencatat, mobilitas masyarakat meningkat hingga 6,7 persen pada triwulan I-2022 atau lebih baik dibandingkan triwulan I-2021 yang terkontraksi 6,13 persen maupun triwulan II-2021 yakni negatif 6,13 persen. Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 terkontraksi 0,74 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2021 tumbuh 5,02 persen.
Febrio memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2022 tidak akan mencapai angka setinggi periode yang sama tahun lalu, yakni 7,07 persen. ”Meskipun begitu, pertumbuhan ekonomi tetap akan tinggi, ditopang Ramadhan dan hari raya Idul Fitri ada di triwulan II-2022,” ujarnya.
Dari sisi likuiditas perekonomian, Febrio mengatakan, kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) menjadi nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan nilai ekspor CPO dan batubara akan mengalir ke sektor perbankan dan mengalir ke konsumsi masyarakat.
”Nilai ekspor CPO dan komoditas lainnya menjadi sumber tambahan likuiditas perekonomian, khususnya petani yang menikmati kenaikan harga tersebut,” katanya.
Namun, di sisi lain, kenaikan harga minyak mentah malah menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri naik. Hal itu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui subsidi energi. ”APBN harus hadir menjamin tidak terjadi kenaikan harga fluktuatif untuk kepentingan rakyat sehingga APBN harus siap untuk hadapi risiko dan mengatasi risiko ke masyarakat seminimal mungkin,” ujar Febrio.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menyampaikan, sektor konsumsi dan ekspor menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II-2022. Konsumsi akan meningkat ditopang momentum Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Dari sisi ekspor, David menjelaskan, net ekspor Indonesia saat ini cukup seiring peningkatan harga komoditas seperti batubara, CPO, serta mineral, seperti nikel dan tembaga, yang akan menopang ekspor.