Tarif PPN Naik, Insentif Diberikan untuk Jaga Daya Beli
Kenaikan tarif PPN 11 persen untuk sejumlah obyek pajak membuat masyarakat ekonomi menengah bawah semakin sulit menjangkau barang dan jasa tersier yang selama ini dinikmati masyarakat ekonomi menengah atas.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terhitung sejak 1 April 2022, pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Kenaikan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kendati tarif PPN naik, sejumlah insentif diberikan untuk melindungi daya beli masyarakat.
Secara umum, tarif PPN 11 persen dikenakan pada barang atau jasa yang dijual pengusaha kena pajak, antara lain pakaian, tas, sepatu, kendaraan roda dua, rumah, dan layanan streaming video. Sementara barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, daging, telur, emas, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan, diberikan fasilitas bebas PPN.
Dalam acara pemaparan kepada media, akhir pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, setidaknya terdapat empat fasilitas dan insentif utama untuk menjaga daya beli masyarakat tetap stabil di tengah tren inflasi dan kenaikan tarif PPN. Pertama, penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi atas penghasilan kena pajak Rp 50 juta-Rp 60 juta dari semula 15 persen menjadi 5 persen.
Kedua, pembebasan pajak untuk wajib pajak orang pribadi pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta. Selanjutnya, fasilitas PPN final dengan besaran tertentu yang lebih kecil, yaitu 1 persen, 2 persen, atau 3 persen, atas jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu, yang akan diatur dengan peraturan menteri keuangan. Adapun yang terakhir, layanan restitusi atau pengembalian kelebihan PPN untuk pengusaha kena pajak dipercepat.
Kesenjangan konsumsi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Minggu (3/4/2022), mengatakan, kendati kenaikan tarif PPN tidak signifikan dampaknya terhadap konsumsi, kenaikan itu akan membuat masyarakat ekonomi menengah bawah makin sulit menjangkau barang dan jasa yang selama ini dinikmati masyarakat menengah atas. Kondisi ini diperparah inflasi yang telah terjadi pada bahan pokok, seperti minyak goreng, gula, bawang merah, dan cabai.
”Sebelum kenaikan tarif PPN, harga kebutuhan pokok ini sudah naik lebih dulu sehingga kenaikan tarif pajak barang dan jasa yang lain di luar bahan pokok malah akan memperjelas kesenjangan konsumsi antara masyarakat ekonomi menengah atas dan menengah bawah,” ujar Faisal.
Kendati kenaikan tarif PPN tidak signifikan dampaknya terhadap konsumsi, kenaikan itu akan membuat masyarakat ekonomi menengah bawah makin sulit menjangkau barang dan jasa yang selama ini dinikmati masyarakat menengah atas.
Sementara itu, ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Faisal Rachman, memproyeksi percepatan pemulihan ekonomi bisa tertekan inflasi yang terus meningkat seiring kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi, minyak goreng, dan kenaikan tarif PPN.
Tekanan dari sisi penawaran, kata Faisal, juga cenderung naik karena inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sudah berada di atas Indeks Harga Konsumen sejak tahun lalu. Badan Pusat Statistik melansir IHPB nasional pada Maret 2022 mencapai 108,46 atau naik 0,75 persen dari Februari 2022. Sementara pada periode yang sama, Indeks Harga Konsumen mengalami inflasi 0,66 persen. ”Hal ini menunjukkan risiko inflasi sisi penawaran berlanjut ke inflasi sisi permintaan,” ucapnya.
Sementara itu, dalam siaran pers, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey meminta pemerintah memastikan tidak akan mengenakan tarif PPN secara berkelanjutan kepada bahan pokok penting. Kepastian ini bisa ditetapkan melalui penerbitan petunjuk pelaksanaan teknis dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Roy menambahkan, meski saat ini 11 bahan pokok, seperti beras atau gabah, gula, sayur, buah-buahan, kedelai, cabai, garam, susu, telur, dan jagung, tetap diberikan fasilitas bebas pungutan PPN, dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sejumlah bahan pokok tersebut telah masuk dalam golongan obyek yang dikenai PPN.
”Hingga saat ini, Aprindo masih menantikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk mendefinisikan secara detail atas penambahan jenis barang kebutuhan pokok dan penting yang saat ini tidak atau belum dikenai PPN 11 persen,” katanya.