Setelah Enam Tahun Digodok, Indonesia-Malaysia Sepakat Tingkatkan Perlindungan Pekerja Migran
Sejumlah aspek perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia sektor domestik yang diatur dalam nota kesepahaman adalah standar besaran upah minimum, jaminan sosial ganda, dan batasan beban kerja per rumah tangga.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dan Malaysia akhirnya merampungkan penyusunan nota kesepahaman terkait pekerja migran Indonesia sektor domestik yang sudah digodok sejak tahun 2016. Kesepakatan tersebut menyepakati perbaikan kualitas perlindungan bagi pekerja migran Indonesia, dari standar upah sampai jaminan sosial.
Dokumen nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia itu dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/4/2022), dengan disaksikan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakub.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Jumat (1/4/2022), mengatakan, ada beberapa poin penting yang telah disepakati antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang tertuang dalam dokumen MOU tersebut. Salah satu yang mengemuka adalah penetapan besaran upah minimum bagi pekerja migran Indonesia sebesar 1.500 ringgit dan standar pendapatan minimum bagi calon pemberi kerja sebesar 7.000 ringgit. Penetapan pendapatan minimum bagi calon pemberi kerja ini diperlukan untuk memastikan gaji pekerja migran Indonesia benar-benar terbayar.
”Gaji PMI minimal 1.500 ringgit atau Rp 5,2 juta bersih tanpa potongan. Lebih besar dari UMP DKI Jakarta. Ini sudah naik dari yang sebelumnya sekitar 1.200 ringgit,” kata Ida dalam konferensi pers mengenai penandatanganan MOU dengan Malaysia di Jakarta.
Selain persoalan upah, MOU tersebut juga mengatur tentang jaminan sosial ganda bagi pekerja migran Indonesia, baik BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan yang ada di Indonesia maupun sistem jaminan sosial yang dimiliki Malaysia.
Untuk memastikan pekerja migran Indonesia tidak dipekerjakan terlalu keras melebihi kapasitas, MOU juga mengatur tentang batas jumlah anggota keluarga maksimum sebanyak enam orang dalam satu rumah untuk satu orang pekerja. MOU tersebut juga mengatur bahwa pekerja migran Indonesia Hanya boleh bekerja di satu rumah saja.
”Ini capaian sangat positif bagi kedua negara untuk memperbaiki tata kelola penempatan dan pelindungan PMI di Malaysia. Proses penempatan PMI domestik di bawah skema one channel system ini akan dimonitor dan dievaluasi berkala oleh kedua pemerintah,” kata Ida.
Sebagai informasi, nota kesepahaman penempatan dan perlindungan pekerja migran antara Indonesia dan Malaysia sudah berakhir sejak 2016. Saat ini, selain dengan Malaysia, Indonesia juga tengah menggodok perjanjian penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia dengan sejumlah negara penempatan lainnya, seperti Arab Saudi, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan.
Sebagai informasi, nota kesepahaman penempatan dan perlindungan pekerja migran antara Indonesia dan Malaysia sudah berakhir sejak 2016.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, masih ada beberapa hal yang ’bolong’ dari nota kesepahaman dengan Malaysia tersebut. ”Misalnya, jaminan berorganisasi, jaminan untuk memegang dokumen sendiri, itu belum pasti. Soal upah seharusnya juga distandarkan dengan upah layak atau upah minimum di sana, bukan berdasarkan pasar,” ujar Wahyu.
Pekerjaan rumah lain
Ia berharap setelah MOU dengan Malaysia, pemerintah bisa segera merampungkan perjanjian kesepakatan serupa dengan negara lain untuk melindungi pekerja migran Indonesia di sejumlah negara tujuan penempatan. ”Ada sekitar 12 MOU dengan negara penempatan yang sudah expired. Ini seharusnya bisa diperbaiki selama masa jeda akibat pandemi ini,” katanya.
Lebih lanjut, selain merampungkan MOU lain yang tersisa, hal lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk melindungi pekerja migran Indonesia adalah merealisasikan implementasi pembebasan biaya penempatan bagi pekerja migran Indonesia. Ini merupakan mandat dari Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, yang melarang pekerja migran Indonesia dikenai beban biaya penempatan.
Biaya penempatan yang dimaksud terdiri dari biaya pelatihan dan pendidikan (termasuk sertifikat kompetensi), pembuatan paspor, pengurusan visa, pemeriksaan medis, tes psikologi, tiket, serta kebutuhan tambahan di masa pandemi berupa biaya tes usap (swab) dan karantina. Menurut kalkulasi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, kebutuhan biaya penempatan adalah Rp 30 juta per orang.
”Harus ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah untuk membagi tanggung jawab membebaskan biaya penempatan. Hal ini belum terwujud, malah sekarang untuk PMI dibuatkan skema kredit usaha rakyat (KUR) yang menjadi jerat utang baru,” kata Wahyu.