Janji berulang pemerintah pusat untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional belum diwujudkan. Pemerintah pusat terkesan gamang menangani sumber daya perikanan di daerah penghasil ikan itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Perahu motor nelayan di Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Minggu (28/7/2019), berlabuh di pesisir pantai desa tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono belum selesai berbicara, anggota DPR asal Maluku Saadiyah Uluputty menginterupsi dalam sidang komisi di Komisi IV DPR pada Kamis (24/3/2022). Nada bicara Saadiyah meninggi menahan tangis. Diminta berhenti bicara oleh pimpinan sidang, Saadiyah terus menumpahkan kekecewaannya.
”Tidak boleh ada alasan tidak ada duit, tidak ada uang. Ini soal janji Presiden (Joko Widodo) yang ke sana wara-wiri dengan beberapa menteri ke sana. Saya tidak bisa ambil terima kaya begini. Presiden menyampaikan sejak 2016,” kata Saadiyah.
Wahyu menyimak sambil mengelus dagu dan dahinya, sebagaimana yang ditayangkan TV Parlemen. Saadiyah kecewa lantaran janji pemerintah pusat untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional kembali tidak jelas. Hingga kini, tidak ada payung hukum sebagai landasannya. Dan, dalam kesempatan itu, Wahyu mengatakan, negara tidak memiliki anggaran untuk program tersebut.
Saadiyah pun menyinggung sejumlah proyek nasional, seperti pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa dan pembangunan ibu kota negara di Kalimantan. Dengan suara bergetar, perempuan politisi yang merintis kariernya dari anggota DPRD Provinsi Maluku itu kembali memohon agar pemerintah pusat bisa menganggarkan kembali tahun berikutnya.
Wacana lumbung ikan nasional pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka acara Sail Banda di Ambon pada 10 Agustus 2010. Presiden kelima RI itu menyatakan, Maluku sebagai daerah yang kaya akan hasil laut dapat dijadikan lumbung ikan nasional. Lewat program ini, potensi perikanan dapat dikelola secara terpusat di Maluku.
Wilayah Maluku masuk dalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) dari total 11 WPPRI secara nasional. WPPRI 714 meliputi Laut Banda dan sekitarnya, WPPRI 715 meliputi Laut Seram dan sekitarnya, serta WPPRI 718 yang di dalamnya ada Laut Aru, Laut Arafura, dan sekitarnya. Setiap WPPRI meliputi lebih dari satu wilayah provinsi. Sebagaimana data terbaru dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis KKP Tahun 2020-2024, sumber daya ikan nasional sebanyak 12,5 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, tiga WPPRI, yang termasuk di dalamnya Maluku, menyumbang 4,6 juta ton per tahun atau setara dengan 37 persen.
Sementara rata-rata produksi perikanan di Maluku dalam lima tahun terakhir tercatat sekitar 500.000 ton per tahun setara dengan 12-14 persen dari produksi ikan nasional. Dari sejumlah persyaratan untuk penetapan lumbung ikan, boleh dikatakan, Maluku sudah memenuhinya. Potensi dan produksi menjadi syarat utama.
Tinggi potensi perikanan di tiga WPPRI itu disebabkan tingkat kesuburan perairan yang tinggi. Setiap tahun, antara bulan Mei dan Agustus, terjadi pengadukan massa air di sana. Massa air dari Samudra Pasifik yang bergerak ke Samudra Hindia melewati perairan Maluku.
Di Laut Banda, misalnya, menjadi areal tuna dan paus mencari makan. Dengan alasan itulah, sejak 2010, pemerintah daerah dan masyarakat Maluku terus berusaha menagih janji pemerintah pusat. Setiap kali kunjungan presiden dan pejabat dari pusat ke Maluku, dalam sambutan selama datang, gubernur Maluku selalu menyentil tentang lumbung ikan nasional. Narasi itu selalu diulang dari zaman Gubernur Maluku Karel A Ralahalu, Siad Assagaff, hingga Murad Ismail.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Beberapa jenis ikan dipamerkan di tempat kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Maluku yang berlangsung di Gedung Islamic Center, Kota Ambon, Maluku, Selasa (9/4/2019).
Alasannya, jika Maluku dijadikan lumbung ikan nasional, perhatian pemerintah pusat untuk pengelolaan sumber daya perikanan di Maluku semakin tinggi dan terkonsentrasi. Nelayan lokal diberdayakan, pusat industri perikanan dibangun, hingga pada akhirnya perekonomian Maluku semakin tumbuh dengan kekuatan pada sektor perikanan.
Selama ini, potensi perikanan di Maluku belum banyak dimanfaatkan nelayan lokal. Laut luas dan kaya akan ikan, tetapi nelayannya miskin. Lebih kurang 115.000 rumah tangga nelayan Maluku, hampir semua mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Lumbung ikan nasional diharapkan dapat mengangkat derajat hidup mereka.
Utang pemerintah pusat
Harapan yang mulai sirna itu kembali menguat ketika kunjungan Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, ke Ambon pada Minggu (30/8/2020). Edhy secara tegas menyatakan bahwa Maluku segera diterapkan sebagai lumbung ikan nasional. Sejumlah program pengelolaan perikanan akan dikembangkan di Maluku.
”Pemerintah pusat di bawah pimpinan Bapak Presiden Joko Widodo ingin menuntaskan utang-utang pemerintah pusat dengan Provinsi Maluku. Kami tidak hanya ingin lumbung ikan nasional sekadar simbol, tetapi kami langsung mengimplementasikan lumbung ikan nasional ini menjadi kenyataan,” kata Edhy disambut tepuk tangan.
Tak berhenti di situ, Edhy kembali meyakinkan para nelayan dan pejabat daerah yang hadir. ”Kami serius. Kami siap bekerja sama untuk mendorong, membuktikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional secara nyata. Bukan sekadar jargon ataupun hanya aturan, baik perpres maupun undang-undang. Yang paling penting implementasinya. Ini yang diperintahkan Bapak Presiden ke kami,” katanya.
Setelah bermasalah hukum, Edhy tak lagi menjabat menteri, dan diganti oleh Sakti Wahyu Trenggono, pembicara mengenai lumbung ikan nasional kembali surut. Belakangan pemerintah menyatakan tidak bisa mengimplementasikan kebijakan tersebut. Wacana lumbung ikan antiklimaks.
Kini, pemerintah pusat datang lagi dengan wacana penangkapan terukur, dengan menjadikan WPP RI 718 sebagai zona percontohan. Penangkapan terukur lewat kontrak kerja sama antara pemerintah pusat dan investor perikanan skala besar. Sesuai rancangan, kontrak kuota penangkapan itu dalam waktu 15 tahun dan dapat diperpanjang lagi.
Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, mengatakan, lumbung ikan nasional adalah pilihan yang tepat. Lewat program itu, penataan sektor perikanan akan terintegrasi mulai dari penangkapan hingga pengolahan. Tak hanya perikanan tangkap, tetapi juga budidaya. Lumbung nasional juga seperti perjuangan harga diri orang Maluku. Dijanjikan sejak 2010, kemudian surut, lalu dijanjikan lagi tahun 2020. Kini, lumbung ikan nasional kembali tidak jelas. Sama seperti nelayan yang terombang-ambing di tengah laut. Masyarakat Maluku kecewa.
Ruslan mengaku bingung dengan jalan pikiran pemerintah pusat dalam mengelola sumber daya perikanan di Maluku, sebagai daerah penghasil. Lumbung ikan gagal dilaksanakan, kemudian datang lagi dengan penangkapan terukur. Kebijakan ini tak bedanya dengan prank atau lelucon semata.