Di tengah inflasi yang melonjak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang akan diambil diharapkan tetap bisa mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi sepanjang tahun ini akan didorong dari dua arah sekaligus, yakni meningkatnya permintaan masyarakat (demand pull inflation) dan kenaikan harga barang (cost push inflation). Di tengah inflasi yang melonjak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang akan diambil diharapkan tetap bisa mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Dihubungi pada Jumat (1/4/2022), Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, konsumsi rumah tangga yang meningkat (demand pull inflation) merupakan buah dari semakin melonggarnya pembatasan aktivitas masyarakat seiring dengan terkendalinya jumlah kasus Covid-19.
Kenaikan permintaan masyarakat ini tecermin dari inflasi inti Maret 2022 yang sebesar 0,3 persen. Secara tahun kalender, inflasi inti Januari-Maret 1,03 persen dan secara tahunan sebesar 2,37 persen.
Kenaikan harga barang (cost push inflation) didorong sejumlah faktor, antara lain, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen dan harga bahan bakar minyak (BBM) RON 92 atau Pertamax sebesar Rp 3.500 per liter. Kenaikan PPN dan BBM itu akan memberi andil inflasi pada bulan-bulan berikutnya.
Selain itu, ada juga ancaman kenaikan harga barang impor (imported inflation). Harga barang ini sudah naik di negara asalnya sebelum diimpor oleh Indonesia. Barang-barang impor yang mengalami inflasi, antara lain, komoditas pangan dan energi. Hal ini dipicu oleh ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina yang menyebabkan disrupsi rantai pasok global yang mengganggu pasokan barang dan jasa sehingga harga barang dan jasa pun meningkat.
”Kedua faktor ini yang akan mendorong inflasi sampai akhir tahun. Tapi rasanya cost push inflation yang akan sedikit lebih banyak mengerek inflasi,” ujar Faisal.
Dengan faktor-faktor itu, Faisal memperkirakan inflasi sampai akhir tahun akan 3,5 persen. Angka itu masih berada dalam target inflasi Bank Indonesia (BI) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, yakni sebesar 3 persen dengan plus dan minus 1 persen.
Inflasi Maret 2022 sebesar 0,66 persen merupakan yang tertinggi sejak Mei 2019 yang saat itu sebesar 0,68 persen. Inflasi menurut tahun kalender atau selama Januari-Maret 2022 sebesar 1,2 persen dan inflasi tahun ke tahun (Maret 2022 dibandingkan dengan Maret 2021) sebesar 2,64 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono pada konferensi pers secara daring, Jumat (1/4/2022), menjelaskan, inflasi itu bersumber dari kenaikan harga cabai merah, bahan bakar rumah tangga, emas, dan minyak goreng.
Kenaikan harga komoditas cabai merah memberi andil inflasi sebesar 0,1 persen. Kenaikan harga komoditas ini dipicu keterbatasan pasokan akibat pergeseran musim seharusnya kemarau tetapi masih banyak curah hujan.
Selain cabai, komoditas penyumbang inflasi di kelompok makanan adalah minyak goreng dengan andil 0,04 persen. Kenaikan harga minyak goreng didorong pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah mulai 16 Maret 2022. Melalui peraturan itu, pemerintah membatalkan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang HET Minyak Goreng. Pengembalian harga minyak goreng ke mekanisme pasar menyebabkan harganya naik.
Sementara elpiji memberi andil inflasi 0,07 persen. Kenaikan harga elpiji dipicu penetapan kenaikan harga oleh Pertamina pada akhir Februari 2022, yakni dari Rp 13.500 per kilogram menjadi Rp 15.500 per kilogram.
Komoditas emas juga memberi andil inflasi pada Maret 2022, yakni 0,04 persen. Kenaikan ini dipicu meningkatnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang menimbulkan ketidakpastian yang membuat investor berburu emas.
Moneter dan fiskal
Merespons kenaikan inflasi, Faisal berpendapat kebijakan moneter dan fiskal yang akan diambil sebaiknya tidak terburu-buru dan tetap akomodatif sehingga pemulihan ekonomi tidak terganggu.
Bank Indonesia (BI) diharapkan tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi. Sebab, lanjut Faisal, perekonomian nasional yang tengah dalam tahap pemulihan masih membutuhkan stimulus suku bunga rendah.
Selain itu, BI masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk menjaga kestabilan nilai tukar dari ancaman arus keluar modal asing (capital outflow).
Belum ada urgensi bagi BI untuk cepat-cepat menaikkan suku bunga. Maka sebaiknya tetap dijaga tetap rendah dahulu saja untuk mendorong pemulihan ekonomi, ujar Faisal.
Faisal menambahkan, inflasi tentu akan mengurangi daya beli masyarakat kelas bawah. Di sisi lain, saat ini Indonesia mendapatkan tambahan penerimaan dari kenaikan harga komoditas sehingga memperluas ruang fiskal. Ini bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menambah subsidi sehingga daya beli masyarakat bawah tidak tergerus inflasi.
Analis Makroekonomi Bank Danamon, Irman Faiz, memperkirakan inflasi akan terus meningkat pada bulan-bulan mendatang. Apalagi per awal April 2022 pemerintah baru saja menaikkan harga bahan bakar minyak RON 92 sebesar Rp 3.500-Rp 3.550 per liter. Kenaikan ini bisa memberi andil sebesar 0,49 persen pada inflasi.
Kesimpulannya, inflasi akan secara bertahap mendekati batas atas target inflasi Bank Indonesia, yakni 3 persen plus 1 persen. ”Ini akan diikuti dengan penyesuaian kebijakan moneter pada triwulan III-2022,” ujar Irman.