Nelayan kecil, khususnya 0-10 gros ton, mengalami sejumlah kesulitan, mulai dari minimnya alat tangkap, armada, hingga gangguan dari penangkapan destruktif.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Sore telah jatuh, dan Anto (47) bersiap kembali ke kapal di Teluk Kendari yang menjadi rumahnya dua tahun terakhir. Nelayan asal Sulawesi Selatan ini mati-matian berhemat agar bisa mengirim uang ke keluarga. Dengan penghasilan tidak seberapa, ia menjadi tumpuan keluarga.
Sebuah kantong keresek hitam tergeletak di depannya. Kantong tersebut berisi sabun dan sampo, yang akan dipakainya hingga sebulan ke depan. ”Soalnya saya sendiri di kapal. Teman-teman yang lain sudah pulang kampung semua,” kata ayah empat anak ini, Selasa (29/3/2022). Ia sedang menikmati sore di tepian Teluk Kendari.
Anto sengaja memilih tinggal dan memilih melewati Ramadhan di kampung orang. Sebab, dengan menjaga kapal ia mendapatkan upah Rp 2 juta. Total ada dua kapal yang ia jaga selama satu bulan ke depan.
Uang yang ia peroleh telah ia kirim ke keluarga di Makassar. Sebelumnya, hasil melaut seminggu lalu juga telah ia kirimkan.
”Totalnya kemarin kirim Rp 6 jutaan. Cukup besar karena ada kerjaan jaga kapal, kalau bulan lain sekitar Rp 2 jutaan (kirimnya),” katanya.
Di dompetnya, Anto kini memegang uang kurang dari Rp 1 juta. Uang tersebut akan menjadi pegangannya selama lebih dari satu bulan. Semua pekerjaan melaut berhenti total selama Ramadhan. Artinya, ia tidak akan memiliki penghasilan baru hingga kembali melaut setelah lebaran mendatang.
Dengan penghasilan tidak menentu, ia selalu memilih berhemat. Jika rekan-rekannya menetap di kamar kontrakan, ia tinggal di kapal. Mandi, tidur, makan, dan kegiatan rutin lainnya ia lakukan di atas kapal. Menyewa kamar berarti mengeluarkan Rp 500.000 dalam sebulan.
Kapal berukuran 6 gros ton tersebut terparkir rapi di tengah teluk. Kapal berwarna putih itu adalah tempatnya menetap juga mencari ikan selama lebih dari dua tahun terakhir.
Tidak hanya itu, ia juga menahan diri tidak sering pulang kampung. Lebih dari dua tahun, ia baru sempat sekali pulang ke keluarga. Itu pun setelah lebaran Idul Fitri tahun lalu. Dalam sekali pulang, membutuhkan ongkos sekitar Rp 1 juta.
”Kita malu juga kalau pulang cuma bawa uang sedikit. Mending ditahan-tahan, tapi ada yang dikirim untuk keluarga, mana anak juga sekolah semua,” urainya.
Anto memang baru beberapa tahun di Kendari. Namun, kultur nelayan mengalir deras di darahnya. Ayah, kakek, dan buyutnya adalah nelayan dari pulau kecil di Kabupaten Pangkajene. Ia telah menjadi nelayan sejak kecil.
Setelah menikah, nelayan juga masih menjadi tumpuannya. Namun, sekitar sepuluh tahun lalu, ikan mulai susah di perairan Makassar dan sekitarnya. Penghasilan jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian.
Ia beralih menjadi pengemudi becak motor di Makassar. Kerjaan baru itu hanya bertahan lebih kurang tiga tahun. Ojek daring yang muncul membuatnya kehilangan pendapatan. Jalan cepat meraih cuan adalah hal yang ditekuninya sejak kecil, yaitu nelayan.
Diajak oleh seorang keluarga, ia memutuskan ikut kapal ke wilayah Kendari dan sekitarnya. Ia berusaha bertahan dengan pekerjaan ini agar bisa menghidupi keluarga. Ia merasa pekerjaan ini tidak ramah dengan fisik dan usianya yang tidak lagi muda.
Dalam sebulan, ia dan rekan-rekannya memiliki hari kerja sekitar 20 hari sesuai kondisi bulan. Mereka menangkap ikan permukaan di sekitar perairan Kendari, Konawe, dan Konawe Selatan. Jaraknya sekitar lima mil laut dari pesisir.
”Mau bagaimana lagi, cuma ini yang kita tahu. Yang penting penghasilan ada yang bisa dikirim, keluarga bisa makan, dan anak-anak bisa sekolah. Mau berharap kaya dari nelayan itu susah,” katanya.
Arif (38), nelayan lainnya, berpendapat serupa. Puluhan tahun menjadi nelayan, ia merasa tidak banyak mengalami peningkatan secara ekonomi. Selama mencari ikan di wilayah Sultra, ia memilih tinggal di kapal, serupa dengan Anto.
Pendapatannya lebih banyak ia kirimkan untuk istri dan empat anaknya. Kebutuhan harian semakin tinggi, terlebih menjelang bulan Ramadhan.
”Jadi nelayan itu sekarang susah. Harus mengurus ini itu dan menangkap di kawasan yang ditentukan. Belum konflik dengan nelayan lain di laut. Untung saja laut di sini masih cukup baik, dan ikannya masih banyak. Kalau seperti di Sulsel, sudah susah dapat ikan banyak,” katanya.
Sebagai anak buah kapal, ia mengaku tidak begitu tahu aturan penangkapan ikan saat ini. Namun, semua kapal di atas 5 gros ton tidak boleh menangkap ikan di bawah dua mil laut.
Kepala Seksi Pengelolaan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra Iman Botji menjelaskan, selama ini, nelayan kecil, khususnya 0-10 gros ton, mengalami sejumlah kesulitan, mulai dari minimnya alat tangkap, armada, hingga gangguan dari penangkapan destruktif.
Kondisi ini merupakan permasalahan kompleks yang terjadi sejak dulu. Sejumlah upaya terus dilakukan agar permasalahan bisa terselesaikan, dan memberi dampak baik bagi nelayan secara luas.
”Saat ini pemerintah telah mengeluarkan aturan pembatasan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan 714, yang meliputi semua perairan Sultra, terkecuali Teluk Bone. Jadi, selain Teluk Bone, kapal dengan berat 30 gros ton dilarang menangkap ikan di wilayah ini, juga mereka yang termasuk nelayan andong,” katanya.
Pelarangan ini diharapkan berdampak lebih bagi nelayan kecil. Sebab, WPP 714 merupakan lokasi pemijahan dan berkembangnya ikan. Nelayan kecil, baik di bawah 5 GT maupun di bawah 10 GT, diupayakan bisa mereguk manfaat lebih ke depannya.
Dalam aturannya, nelayan kecil adalah mereka yang menangkap ikan dengan kapal 0-10 gros ton. Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah yang menangkap ikan dengan kapal 0-5 GT. Sementara itu, di UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, nelayan kecil adalah yang menangkap ikan dengan kapal maksimal 10 GT.