Beratnya Menjadi Nelayan Kecil di Negeri Maritim
Risiko kecelakaan laut, alat tangkap tidak ramah lingkungan, hingga perubahan iklim menjadi kendala yang dihadapi nelayan kecil. Kebijakan pemerintah yang berpihak dibutuhkan untuk meringankan beban mereka.
Setiap 6 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Namun, bagi Amran Mahfudzin (15), awal April menjadi pengingat sukarnya mencari sesuap nasi di laut. Anak nelayan asal Eretan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ini nyaris mati ditelan ganasnya lautan.
”Bulan April nanti, kejadiannya sudah setahun,” kata Amran saat ditemui di Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, Kamis (24/3/2022). Perlahan, Amran menuturkan peristiwa menyeramkan yang terjadi di perairan Indramayu pada Sabtu, 4 April 2021.
Saat itu, Amran sedang menyeduh kopi di dek Kapal Motor Barokah Jaya. Sekitar lima temannya yang masih remaja juga mengisi perut. Awak kapal lainnya, yang sudah dewasa, tengah berbaring dan tertidur. Tiba-tiba, sore yang tenang tersebut menjelma histeris.
Baca juga: Pencarian 13 Nelayan di Indramayu Diperluas, Kapal Ditambah
Kapal nelayan berukuran 29 gros ton (GT) itu terlibat tabrakan dengan kapal kargo berukuran 17.979 GT. Sontak, kapal berisi 32 nelayan tersebut terbalik dan tenggelam. Amran bertahan di jeriken dan barang lainnya yang terapung. Ia berhasil menyelamatkan ayahnya, Asep.
Akibat petaka itu, 4 nelayan meninggal dunia, 13 hilang, dan 15 orang selamat, termasuk Amran dan Asep. Tim SAR gabungan telah berupaya maksimal mencari korban hilang. Namun, hingga operasi tuntas di hari kesembilan, korban belum ditemukan. Kejadian itu menyisakan trauma.
”Rasa takut sih ada, tapi dijalani saja. Kata bapak, enggak usah dipikirin,” kata siswa sekolah menengah pertama itu. Kata Amran, ia melaut tanpa paksaan orangtua, seperti anak nelayan lainnya.
Sejak lulus sekolah dasar, anak kedua dari tiga bersaudara ini mahir berenang. Ia ingin mencari uang sendiri di laut dan tak lagi merepotkan orangtuanya. Sekali melaut selama 10 atau 11 hari, ia bisa membawa pulang Rp 750.000. Makan, minum, dan lainnya tersedia gratis di kapal.
”Saya bisa bantu kredit motor dan beli HP (telepon genggam) dari melaut,” ujarnya. Ia semakin aktif melaut bersama teman-teman dan keluarganya ketika pandemi Covid-19 mendera sejak 2020. Waktu itu, sekolahnya menerapkan pembelajaran jarak jauh, bahkan kerap libur.
Kecelakaan kapal lalu menyadarkannya akan besarnya risiko menjadi nelayan. ”Cuma, mau bagaimana lagi? Pekerjaan paling gampang itu ya nelayan,” ucap Amran yang kembali melaut tiga bulan setelah kejadian itu. Bahkan, ayahnya sudah berlayar sebulan setelah kecelakaan.
Menurut dia, ayahnya bisa meraup hingga Rp 2,5 juta jika melaut 10 hari saat hasil tangkapan melimpah. Angka itu lebih besar dibandingkan upah minimum Kabupaten Indramayu sekitar Rp 2,3 juta per bulan. Hasil keringat ayahnya telah menyekolahkan Amran dan dua saudaranya.
Kini, keluarga melarang Amran melaut. Selain harus menyelesaikan pendidikan SMP, ia juga bekerja di tempat pencucian sepeda motor. Penghasilannya ini lebih kecil dibandingkan jadi nelayan. ”Kalau ramai bisa dapat Rp 50.000 per hari. Kalau sepi, Rp 5.000 per hari,” katanya.
Meski demikian, ia bertekad melanjutkan pendidikan di tingkat menengah kejuruan, kemudian bekerja. ”Dulu, waktu SD, saya mau jadi polisi. Tapi, sekarang enggak tahu. Penginnya jangan sampai kayak orangtua lagi, jadi nelayan,” katanya dalam bahasa Indramayu.
Mamud (30), paman Amran, menuturkan, keponakannya masih trauma akibat tabrakan kapal tersebut. ”Kalau lihat akuarium, dia melamun terus cerita kejadian waktu itu. Sekarang, anak-anak enggak boleh melaut. Yang mau, harus serahkan KTP (kartu tanda penduduk),” katanya.
Amsori, Ketua RT 001 RW 003, Desa Eretan Wetan, mengatakan, kecelakaan kapal setahun silam masih membekas dalam benak warga setempat. ”Ada salah satu istri korban kalau ditanya suaminya mana, dia jawab masih di laut. Padahal, suaminya sudah hilang,” ungkapnya.
Setidaknya, enam warga di lingkungannya masih dinyatakan hilang setelah kejadian itu. Salah satunya Alfa, yang akan tamat di SMK (sekolah menengah kejuruan) setempat dan siap kerja. ”Ibunya ke luar negeri (sebagai pekerja migran Indonesia). Dari dulu dititipkan dan diurus neneknya,” ujarnya.
Amsori menuturkan, anak-anak di Eretan yang lulus SD atau SMP sudah lazim melaut. ”Kalau kerja daratan sulit. Kalau ke laut gampang, asal niat. Kadang mereka lihat orangtuanya, mampu enggak biayai sekolah? Anak muda melaut karena pengin mandiri dari orangtuanya,” paparnya.
Persoalan nelayan
Try Utomo, tokoh pemuda di Eretan, mengatakan, anak nelayan di daerahnya terpaksa putus sekolah karena orangtuanya tidak lagi bisa sepenuhnya mengandalkan laut. Kondisi itu tampak dari kampung nelayan yang selama puluhan tahun kumuh. Air hitam berbau membasahi jalan setapak. Sampah plastik berserakan.
”Salah satu masalah yang belum selesai di sini itu banjir rob akibat perubahan iklim. Kalau sepeda motor orang Eretan dijual pasti murah karena karatan kena rob,” katanya. Banjir yang bisa mencapai lebih dari 50 sentimeter itu merusak pagar warga hingga menghambat nelayan.
Nelayan tak bisa melaut karena harus membersihkan bekas banjir. Warga juga mengeluarkan uang untuk meninggikan bagian depan rumahnya atau memasang pembatas agar air rob tak masuk. Akhir 2021, pihaknya melaporkan kondisi menahun itu ke DPRD setempat.
Di Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jabar, Ribut Bachtiar (50) merasa sedikit tenang. ”Anak saya diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (University). Sudah dua semester. Alhamdulillah, biayanya dibantu Bu Mega (Megawati Soekarnoputri),” ujarnya saat ditemui, Senin (28/3/2022).
Ribut yang tak lulus SD tidak ingin anaknya menjadi nelayan kecil sepertinya. Masalah klasik nelayan, misalnya, anjloknya harga jual rajungan. Saat ini, harganya Rp 110.000 per kilogram. Namun, ketika komoditas ekspor ini melimpah, harganya bisa Rp 26.000 per kg.
”Kalau harganya jatuh, biaya perbekalan sekitar Rp 8 juta selama sepekan saja enggak dapat,” ucap Ribut yang melaut dengan perahu ukuran 6 GT. Belum lagi cuaca buruk yang memaksa nelayan menganggur hingga empat bulan. Nelayan kerap menyebutnya sebagai paceklik.
Area tangkapan nelayan juga kian jauh. Laut di pantura, katanya, sudah tercemar limbah industri dan sampah. Baling-baling perahu nelayan kerap macet, tersangkut sampah plastik. ”Saya melaut ke Lampung, dapat 2 kuintal rajungan per minggu. Di Cirebon, paling banyak 1 kuintal,” ujarnya.
Belum usai problem menahun itu, Ribut dan nelayan lainnya dihadapkan rencana pemerintah menetapkan kuota penangkapan. ”Kami diminta membatasi alat tangkap bubu 300 unit per kapal. Padahal, kalau enggak musim, 1.500 bubu saja dapatnya cuma 10 ekor rajungan,” katanya.
Bubu merupakan alat tangkap rajungan yang ramah lingkungan. Ironisnya, nelayan diminta membatasi jumlah bubu, sedangkan alat tangkap tidak ramah lingkungan jamak ditemui. Di salah satu dermaga Lampung, katanya, terdapat sekitar 500 kapal pengguna alat tak ramah lingkungan.
Konflik nelayan bubu dengan kapal cantrang, trawl (pukat harimau), dan arad juga masih kerap terjadi. Tahun 2020, Ribut kehilangan sekitar 200 bubu karena terlilit kapal trawl di perairan Karawang. Dengan harga Rp 27.500 per unit, ia merugi Rp 5,5 juta.
Hingga kini, nelayan masih kerap kehilangan bubu meskipun dalam jumlah kecil, seperti 10 unit. ”Kadang saya berpikir, apa saya ganti alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, ya? Tapi, masak kita rusak lingkungan?” kata Ketua Serikat Nelayan Indonesia Kabupaten Cirebon ini.
Baca juga: Jadi Menteri Saja, Jangan Nelayan
Pihaknya juga mempertanyakan rencana pemerintah menetapkan penangkapan terukur dengan pembagian zona dan pemberian kontrak untuk korporasi perikanan, termasuk asing. Ia khawatir, nelayan kecil terdampak karena harus bersaing dengan kapal besar dan alat tangkapnya.
Nelayan kecil, ucapnya, tidak seperti taksi yang menunggu penumpang di satu tempat. Nelayan, harus berpindah tempat sesuai lokasi ikan. ”Kami menolak pembatasan kuota dan lokasi penangkapan untuk nelayan kecil. Ini nyekik masyarakat nelayan pelan-pelan,” katanya.