Surplus produksi dan status produsen terbesar minyak sawit dunia nyatanya belum membuat Indonesia berdaulat atas minyak goreng, Warganya masih mengantre hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak goreng.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga berdesakan saat antre membeli minyak goreng di salah satu penyalur di Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (21/3/2022). Pembelian minyak goreng seharga Rp 15.500 per kilogram di tempat itu dibatasi sebanyak 16 kilogram per orang. Menurut warga, minyak goreng dengan harga murah terus diburu karena semakin susah diperoleh.
Gejolak minyak goreng sawit di negeri penghasil kelapa sawit terbesar dunia adalah sesuatu yang absurd. Dengan kebutuhan domestik yang tak sampai 20 persen dari total produksi minyak sawit mentah atau CPO, kekosongan stok minyak goreng di pasar tentu sulit diterima akal sehat. Situasi beberapa bulan terakhir menunjukkan, surplus produksi dan status produsen sawit terbesar belum menjamin Indonesia berdaulat atas salah satu kebutuhan pokok penduduknya, yakni minyak goreng.
Peraturan demi peraturan diterbitkan pemerintah tiga bulan terakhir guna mengendalikan harga sekaligus menjamin pasokan minyak goreng. Namun, ibarat jurus silat, tak satu pun di antaranya yang terbukti berhasil menekuk lawan. Harganya masih bertahan tinggi, sementara pasokannya belum stabil, terutama minyak goreng curah yang harganya disubsidi dan ditujukan bagi masyarakat menengah bawah.
Sampai pekan lalu, warga di sejumlah daerah masih harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan beberapa liter minyak goreng curah. Volume pembelian pun dibatasi karena pasokannya terbatas. Tak hanya derita mengantre, warga juga harus merogoh kantong lebih dalam karena harga minyak goreng kembali naik setelah pemerintah mencabut ketentuan harga eceran tertinggi (HET) pada 16 Maret 2022.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga minyak goreng curah naik dari Rp 15.900 per liter pada 15 Maret jadi Rp 17.700 per liter pada 21 Maret atau setelah ketentuan HET dicabut pemerintah. Sementara harga minyak goreng kemasan sederhana naik dari Rp 16.300 per liter jadi Rp 21.400 per liter dan kemasan premium naik dari Rp 18.300 per liter jadi Rp 24.800 per liter selama kurun waktu tersebut.
Upaya mengendalikan harga dengan mematok HET memang sering sia-sia. Apalagi jika ditempuh dengan memaksa distributor atau pedagang menjual barang dagangan dengan harga di bawah ongkos pembeliannya. Hal ini menjawab situasi kenapa minyak goreng mendadak ”hilang” dari pasaran sesaat setelah ketentuan HET berlaku.
Intervensi harga juga gagal karena pemerintah tak punya stok minyak goreng dengan harga lebih murah untuk ”mengguyur” pasar. Berkaca pada komoditas beras, intervensi harga melalui operasi pasar akan efektif ketika pemerintah menguasai stok yang cukup. Sebab, sekali lagi, pasar tidak bisa diperintah hanya dengan aturan di atas kertas.
Setelah sekian jurus gagal mengatasi problem minyak goreng, pemerintah akhirnya mencabut ketentuan tentang kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri.
Setelah sekian jurus gagal mengatasi problem minyak goreng, pemerintah akhirnya mencabut ketentuan tentang kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) serta meningkatkan tarif pungutan ekspor kelapa sawit dan turunannya. Dalihnya demi menambah dana kelolaan sawit yang akan digunakan untuk menyubsidi minyak goreng.
Selama ini dana hasil pungutan ekspor sawit sebenarnya tidak kecil. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan dalam rapat dengan Komisi XI DPR pekan lalu melaporkan, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengumpulkan Rp 144,7 triliun sepanjang 2015-2021. Sebanyak Rp 119,05 triliun di antaranya telah disalurkan. Namun, Rp 110,03 triliun atau 76 persen di antaranya untuk insentif biodiesel, sementara untuk peremajaan kelapa sawit rakyat ”hanya” Rp 6,59 triliun. Tahun ini, penyaluran dana hasil pungutan ekspor sawit dan turunannya dialokasikan Rp 5,73 triliun, sebanyak 71,6 persen atau Rp 4,1 triliun di antaranya untuk subsidi biodiesel.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kesibukan pekerja di salah satu toko grosir sembako di kawasan Pasar Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, saat melayani pembelian minyak goreng curah, Kamis (24/3/2022). Permasalahan minyak goreng di pasaran hingga kini masih membuat masyarakat terbebani, baik konsumen maupun penjual grosir dan eceran.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit sebenarnya mengatur penggunaan dana itu untuk kebutuhan pangan. Namun, kenapa pemerintah tak segera menggunakannya untuk menyubsidi harga minyak goreng? Sementara masyarakat harus menanggung imbas lonjakan harga CPO dunia.
Terlepas dari struktur pasar minyak goreng yang oligopolistik, sejumlah kalangan menggugat keadilan terkait tata kelola industri kelapa sawit. Sebelumnya, demi mendongkrak harga CPO yang tertekan di pasar global, pemerintah menjalankan program biodiesel. Pemerintah juga gencar melobi negara-negara di luar guna mendorong ekspansi sawit di tengah kampanye negatif terkait lingkungan hidup.
Kini, ketika harga CPO melonjak tinggi, masyarakat harus menanggung dampaknya. Subsidi harga minyak goreng yang direncanakan belum signifikan dirasakan manfaatnya. Minyak goreng curah masih terbatas pasokannya, sementara harganya masih banyak yang di atas ketentuan HET, yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram.
Kiranya pemerintah perlu memperbaiki administrasi industri sawit agar lebih adil. Lonjakan harga CPO di pasar internasional semestinya bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya. Rasanya miris menyaksikan warga berdesakan dan mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak goreng dengan harga layak.