Benahi Tata Kelola Pangan Hulu-Hilir
Pembenahan tata kelola komoditas pangan strategis dari hulu ke hilir mendesak dilakukan sehingga tercapai kesejahteraan baik bagi produsen, pelaku bisnis, maupun konsumen.
JAKARTA, KOMPAS — Pembenahan tata kelola komoditas pangan strategis dari hulu ke hilir mendesak dilakukan sehingga tercapai kesejahteraan baik bagi produsen, pelaku bisnis, maupun konsumen. Badan Pangan Nasional diharapkan mengoptimalkan instrumennya sehingga mampu menyinergikan para pemangku kepentingan.
Harapan itu tak hanya pada komoditas yang membutuhkan pasokan impor, seperti kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula konsumsi, tetapi juga pangan strategis lainnya. Salah satunya beras, yang meski menjadi komoditas dengan surplus tertinggi, masih terbentur sejumlah kendala, seperti panjangnya mata rantai distribusi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (DPP Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, rantai pangan di Indonesia, termasuk beras, memang panjang. Di sisi lain, tidak mudah untuk memotong mata rantai itu karena banyak yang mencari penghasilan dari sistem mata rantai tersebut.
”(Untuk beras) mulai dari petani, penebas, pengepul, penggilingan, penggilingan besar, lalu untuk cadangan pangan dan sebagian distributor. Kemudian, ada subdistributor, pengecer, baik umum maupun modern, baru ke konsumen. Sangat panjang,” kata Sutarto dalam webinar ”Tata Kelola Pangan Nasional” yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Jumat (25/3/2022).
Sutarto menuturkan, penggilingan padi kecil harus lebih mendapat peran, salah satunya dengan revitalisasi. Dengan demikian, mereka mampu bersaing dengan penggilingan besar, termasuk dari aspek kualitas. Oleh karena itu, perlu dibangun ekosistem perberasan melalui manajemen korporasi kluster padi.
Masalah lain yang masih dihadapi, lanjutnya, yakni perbedaan harga antara beras medium dan premium. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017, untuk di Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi, misalnya, harga eceran tertinggi (HET) beras medium ialah Rp 9.450 per kg dan premium Rp 12.800 per kg.
”Dari awal kami sudah bicarakan ini. Selisih medium dan premium sekitar Rp 3.000. Dengan begini, yang besar makin besar, yang kecil makin kecil. Semestinya selisih Rp 1.500-Rp 2.000,” ucap Sutarto.
Menurut dia, meski sektor pertanian secara umum tumbuh positif pada masa pandemi Covid-19, tanaman pangan, seperti beras, cenderung lesu karena menurunnya permintaan pasar. Cepatnya perkembangan perdagangan digital mesti dijadikan momentum meningkatkan peran masyarakat, khususnya milenial, dalam pertanian.
Baca juga: Urgensi Menjawab Krisis Pangan Nasional
Pada akhirnya, ia berharap penanganan pangan, termasuk beras, dilakukan secara holistik dari hulu ke hilir. ”Perlu ditangani komprehensif, benar, dan tepat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat keseluruhan (produsen-pelaku bisnis-konsumen). Badan Pangan Nasional, yang didukung penuh instrumen yang memadai, serta Bulog diharapkan bisa menyinergikan itu,” kata Sutarto.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa menuturkan, menurut Global Food Security Index (GFSI) atau indeks ketahanan pangan, peringkat Indonesia terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Indonesia berada di peringkat ke-62 pada 2019, kemudian turun menjadi ke-65 pada 2020, dan menjadi ke-69 pada 2021.
Dalam GFSI 2021, bahkan Indonesia menempati peringkat ke-113 atau terakhir pada indikator Natural Resource and Resilience. ”Ini perlu menjadi catatan kita bersama,” kata Andreas.
Andreas, yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, menyoroti melonjaknya impor komoditas pangan Indonesia, yakni dari 8 juta ton pada 2008 menjadi 27,6 juta ton pada 2018. Sempat menurun pada 2019, lalu naik lagi pada 2021 menjadi 27,7 juta ton.
Pada sejumlah komoditas, ketergantungan impor relatif tinggi, yakni bawang putih yang hampir 100 persen, kedelai 97 persen, dan gandum 100 persen. ”Penandatanganan letter of intent (dengan IMF pada 1998) menjadi awal mengapa impor pangan kita melonjak. Sebab, ada empat pokok yakni tarif impor pangan 0 persen, dicabutnya monopoli impor pangan oleh Bulog, peran Bulog dalam mengelola pangan dibatasi, dan pelarangan pemberian kredit likuiditas pada Bulog,” katanya.
Andreas menuturkan, yang penting saat ini ialah bagaimana reorientasi ekonomi politik terkait kedaulatan pangan bisa dilakukan. ”Apa pun, jika kita lihat data dari subsektor usaha yang ada, paling rendah pendapatannya itu petani dan buruh tani,” ucap Andreas.
Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan, sebagai negara kepulauan, tidak semua daerah memiliki sentra pangan. Artinya, ada surplus dan defisit. Karena itu, pihaknya mengupayakan adanya diversifikasi pangan, baik konsumsi maupun produksi.
Mengenai beras, Suwandi menjelaskan dan menglarifikasi bahwa sejak 2019 tidak dilakukan impor beras umum yang biasa dilakukan Bulog. Yang disebut di BPS ada impor beras itu adalah beras khusus dan beras menir untuk industri. Hal sama juga pada jagung (tidak impor).
Suwandi menuturkan, pihaknya juga berupaya membangkitkan kedelai lokal. Saat ini, dengan kenaikan harga kedelai impor, kedelai lokal dapat bersaing, dengan harga berkisar Rp 9.000-Rp 10.000 per kg yang membuat petani bersemangat. Kedelai lokal pun bakal terus didorong memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk bahan baku tahu.
Sejumlah komoditas pangan lokal, lanjutnya, juga tengah menggeliat. Salah satunya singkong. ”Ekspor singkong dan olahannya pada 2021 meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan 2020. Apabila harga bagus, para petani bergairah,” kata Suwandi.
Komoditas strategis
Menurut data prognosis neraca pangan nasional 2022 yang dipaparkan Badan Pangan Nasional, beras menjadi komoditas dengan surplus tertinggi, yakni 7,54 juta ton. Total produksi pada 2022 diperkirakan mencapai 37 juta ton, sedangkan kebutuhan sepanjang tahun ialah 29,54 juta ton.
Beras, bersama sejumlah komoditas lain, yakni jagung, bawang merah, cabai merah keriting, cabai rawit merah, daging ayam ras, telur ayam ras, dan minyak goreng, sepenuhnya dipenuhi dari dalam negeri. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula konsumsi, diperlukan pasokan impor.
Kebutuhan impor tertinggi ada pada kedelai. Total ketersediaan kedelai lokal pada 2022 diperkirakan 391.285 ton, sedangkan kebutuhan sepanjang tahun mencapai 3 juta ton. Dengan demikian, terjadi defisit 2,6 juta ton.
Fungsional Badan Pangan Nasional Rachmi menuturkan, secara umum stok hingga Lebaran 2022 ataupun akhir 2022 aman. ”Hanya ada beberapa warning karena perlu juga dipenuhi impor, yakni kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula konsumsi. Yang jelas, kuncinya adalah ketepatan waktu dan jumlah impor serta di titik mana barang tersebut akan diedarkan,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Muhammad Firdaus, dalam FGD ”Kebijakan Mengantisipasi Krisis Pangan” yang digelar daring oleh Dewan Guru Besar IPB, Jumat, mengatakan, kenaikan harga pangan yang diproduksi di luar negeri, seperti harga jagung dan kedelai, dominannya akibat kenaikan harga pupuk.
Menurut dia, di Indonesia, dari data BPS, 65 persen biaya produksi adalah pada tenaga kerja dan penyewaan lahan. Namun, di negara maju, dengan produksi skala besar, biaya pupuk yang dominan. AS, misalnya, yang sekitar 60 persen. Selain itu, kenaikan harga pangan juga dipengaruhi biaya logistik, harga energi, dan kondisi iklim.
”Pangan adalah salah satu penyumbang inflasi. Karena itu, (yang utama) bagaimana pengendalian inflasi dilakukan, tetapi tetap menjaga kesejahteraan petani,” katanya.
Baca juga: Pandemi Melandai, Peluang Ekspor Produk Pertanian Lampung Kian Terbuka